Republik Kethoprak

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu saya sedang “gupek” mendekati panik karena ada dokumen yang diperlukan “ketlingsut” entah di mana. Padahal, dokumen tersebut siangnya akan diperlukan. Saat sedang gupek, mendadak gawai piranti sosial berdenting pertanda ada berita masuk. Setelah dibaca ternyata sohib lama seorang doktor alumni universitas ternama dari negeri jiran mengirim berita yang membuat mata terbelalak.

Dalam berita itu disebutkan ada seorang tokoh politik terkenal yang juga tajir melintir kekayaannya sedang sibuk mengurus untuk mendapatkan gelar guru besar, walaupun tidak ditemukan jejaknya beliau menjadi tenaga pengajar di perguruan tinggi mana, dan atau calon doktor mana yang beliau bimbing. Sementara itu diakui oleh yang bersangkutan bahwa pendidikannya seperti sungsang, karena gelar akademik diperoleh S2 terlebih dahulu baru S1, kemudian S3.

Sampai batas ini saja penulis membacanya geleng-geleng kepala. Entah bagaimana di negeri ini ada orang masuk S2 atau Pascasarjana, tanpa harus S1 atau Sarjana. Padahal itu merupakan syarat utama pada perguruan tinggi yang membuka program pascasarjana.

Terbayang bagaimana susahnya teman-teman dosen baik negeri apalagi swasta untuk mendapatkan gelar doktor harus bertungkuslumus. Bahkan ada diantara mereka yang harus bolak-balik dari kampus tempat bekerja ke kampus penyelenggara program doktor yang jaraknya cukup jauh dan itu ataas biaya sendiri. Sementara untuk mencapai derajar Guru Besar harus berjuang berdarah-darah karena persyaratan yang ribet dan aturan yang berubah-ubah. Mereka bagai masuk taman labirin yang entah kapan keluarnya. Tidak jarang mereka harus menunggu mukjizat atau meminjam istilah WS.Rendra almarhum, seolah “menunggu datangnya godot”. Bahkan ada yunior penulis yang sudah lebih dari satu tahun ini berjuang untuk mencapai derajat Guru Besar berucap bagaimana beliau harus menyingkirkan untuk sementara perhatian akan keluarga dan lainnya, termasuk dana, guna mengejar waktu karena dikejar usia dan segalanya.

Bisa dibayangkan untuk menerbitkan artikel yang bereputasi memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit, dan itu merupakan persyaratan utama. Mereka harus kencangkan ikat pinggang untuk puasa kenginan, lebih memenuhi kebutuhan; demi mengejar Doktor apalagi Guru Besar. Itu baru mempersiapkan materinya, belum berhadapan dengan sistemnya yang terkadang membuat kepala berdenyut ditambah kantong bergoyang. Jadi, jika ada yang mendapatkan level akademik tertinggi itu dengan mudah hanya dengan pangkat dan jabatan serta pengaruh politik. Rasanya kita berada dalam pertunjukan kethoprak yang enak ditonton sesaat guna menghibur diri mengocok perut.

Sebelum lebih jauh kita bicara tentang kethoprak, kita telusuri terlebih dahulu apa makna hakikinya; karena ada dua versi pemaknaan, satu versi produk kesenian, dan versi yang lain adalah makanan khas dari daerah Cirebon yang lezat dan nikmat.

Kethoprak adalah salah satu bentuk seni pertunjukan tradisional khas dari Jawa Tengah yang menggabungkan unsur drama, musik, tari, dan dialog. Kesenian ini memiliki sejarah panjang dan telah menjadi bagian penting dari kebudayaan Jawa.

Kethoprak diperkirakan berasal dari tradisi rakyat di pedesaan Jawa Tengah pada akhir abad ke-19. Nama “kethoprak” diyakini berasal dari suara alat musik tradisional kentongan yang digunakan dalam pertunjukan awalnya. Awalnya, kethoprak mungkin dipengaruhi oleh bentuk-bentuk seni pertunjukan lain seperti wayang kulit, wayang orang, dan ludruk. Cerita yang dibawakan dalam kethoprak sering diambil dari sejarah dan legenda Jawa, seperti cerita kerajaan-kerajaan Mataram dan Majapahit.

Sedangkan kethoprak dalam konteks makanan informasi yang diperoleh sebagai berikut. Kethoprak adalah makanan tradisional Indonesia yang dikenal dengan cita rasa khasnya, dan merupakan salah satu makanan yang populer di daerah Cirebon. Makanan ini terdiri dari berbagai bahan yang disajikan dengan bumbu kacang yang kaya akan rempah. Dalam perkembangannya kemudian, kethoprak juga populer di daerah lain dengan unsur bahan yang sedikit berbeda.

Ternyata untuk mendapatkan jenjang akademik tertinggi di negeri ini bisa menggunakan jalur yang benar secara akademik, tetapi juga tidak menutup kemungkinan dengan cara kethoprak. Terserah pilihannya apakah kethoprak dalam bentuk kesenian yang bergenre “dagelan” atau memilih kethoprak dalam bentuk makanan, dengan mencampur segalanya agar mendapatkan kelezatan untuk dinikmati sendiri.

Bisa dibayangkan sekolah pascasarjana tanpa sarjana, kemudian lompat menjadi doktor. Karena nanti sang doktor bisa menyandang guru besar yang tugasnya membimbing calon doktor, maka mari kita lihat bersama apakah doktornya menjadi doktor kethoprak. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply