Horor Guru Honor

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada 15 Juli 2024  lalu semua sekolah di seantero negeri ini mulai kembali dengan kegiatannya. Di sana banyak tawa ria, tingkah lucu anak-anak bangsa dalam menjalani kehidupan baru di sekolah. Mereka bergembira ria, berwajah ceria. Semua mereka lakoni dengan penuh semangat. Saking semangatnya sampai emak-emak yang mengantarkan generasi penerus bangsa ini rela berdiri di pinggir pagar atau pintu gerbang sekolah berjam-jam. Mereka juga ikut larut akan kegembiraan putra-putrinya. Serasa baru kemarin si kecil digendong-gendong,  hari ini mereka harus “dilepaskan” ke pantai harapan masa depan dengan penuh hikmat.

Di pojok sana, ada beberapa orang “pahlawan tanpa tanda jasa” berlinang air mata menatap anak-anak bangsa. Mereka haru sedih karena harus berpisah dengan semua yang ada. Mereka terdepak dari muka kelas akibat datangnya tenaga baru yang berbaju P3K.

Baru saja mereka menerima Surat Keputusan “Pemecatan” dan mereka harus menerima nasib sebagai guru honor yang sudah tidak diperlukan lagi. Bertahun-tahun mereka menanti dengan penuh harap menunggu datangnya asa, sekalipun menerima upah tidak seberapa, mereka berjuang penuh dedikasi. Namun, harapan itu kini musnah akibat dari satu kebijakan yang “membunuh” harapan mereka.

Langkah gontai dengan linangan air mata. Mereka melepaskan baju seragam kebesaran yang mereka beli sendiri. Dengan mata nanar entah harus ke mana meniti nasib mengais rezeki. Sementara kemampuan hanya bisa mengajar, kemampuan lain entah apa yang bisa mereka perbuat karena mereka sendiri tidak tahu.

Program P3K yang semula diplesetkan dengan istilah “pertolongan pertama pada kecelakaan”, benar-benar membuat celaka bagi sebagian orang yang telah berjuang tanpa pamrih dengan upah seadanya. Sekarang betul-betul sudah tidak ada apa-apanya. Ibarat peribahasa “habis manis sepah dibuang” yang selama ini menjadi materi pembelajaran di muka kelas, sekarang justru menimpa diri mereka.

Mereka tidak lebih dari ban serep pada kendaraan, setelah pemiliknya bisa membeli ban baru, maka ban serep harus diganti, dan dibuang ketempat sampah. Terbayang dimuka sana gelapnya kehidupan ini, yang semula dilalui dengan routinitas dan semangat tinggi, sekarang terhempas bagai ombak memecah pantai.

Mata nanar menatap masa depan yang entah apa yang akan terjadi untuk diri dan keluarganya. Terbayang si kecil yang harus membeli susu tiap minggu, abangnya harus sekolah Taman Kanak-Kanak, dan anak tertua baru masuk Sekolah Dasar. Bumi terasa bergoyang, alam menjadi gelap. Entah apa yang harus dibuat untuk menyelamatkan mereka semua.

Tidak jauh dari sana ada ibu muda yang terdiam membisu. Hanya air mata yang mengalir deras di pipinya. Awal tahun lalu baru saja melangsungkan pernikahan dan sekarang sedang hamil mud. Terpaan tiba-tiba melanda, ekonomi yang belum tersusun karena suamipun juga guru honor; mereka berdua harus menerima pemecatan di tempat sekolah yang berbeda. Langit serasa runtuh harus ke mana nasib mengadu. Gelombang raksasa kehidupan melanda mereka sebagai pasangan muda. Ongkos untuk pulang pun hari itu tidak punya. Untuk makan siang hari ini pun belum terbayang. Hanya bisa berharap dari kasih Tuhan kepada diri mereka. Semoga ada malaikat penolong segera didatangkan. Tetapi entah kapan dan di mana.

Korban kebijakan yang tidak bijak ini seolah melanggengkan teori kapitalisme dalam pendidikan. Sumberdaya manusia tidak lebih sebagai mesin yang bisa diganti kapan saja sesuai selera dan kemauan global. Hak-hak dasar yang tercermin dalam “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”; hanya tinggal di uang hampa saat anak kelas lima harus menghafalnya dimuka kelas.

Organisasi profesi guru sudah lama mengingatkan agar pemerintah memprioritaskan mengangkat mereka dengan status yang lebih baik. Para ahli sudah menyuarakan di ruang-ruang seminar dan pertemuan, para cerdik pandai sudah mengingatkan lewat tulisan dari yang halus sampai yang kasar. Namun, semua hanya dianggap angin lalu.

Bisa dibayangkan terhuyung-huyungnya rumah tangga mereka, karena topangan selama ini ada walau tidak seberapa. Ternyata hari ini dan entah sampai kapan, mereka harus memulai hidup lagi dari nol. Ibarat orang tenggelam yang hanya bisa menggapai apa saja agar dirinya bisa hidup. Rumah tangga mereka terjerembab luluh lantak karena saka guru ekonomi mereka dirobohkan.

Tak ada lagi tawa, tak ada lagi gembira. Semua musnah bagai ditelan bumi. Tak satu pun petinggi negeri ini peduli dengan nasibnya. Jika ditanyakan, mereka hanya bisa angkat bahu dan membuka kedua telapak tangan pertanda tak berdaya. Saat kampanye mereka berharap kepada honorer, dengan alasan tidak ada aturan yang dilanggar. Begitu kemenangan didapat, lupa sudah akan janji, semua mereka mantan honorer harus mencari sendiri demi sesuap nasi. Menembus badai kehidupan menjalani horornya keadaan yang sering tidak bersahabat dengan mereka. Apakah ini akibat dari mengangkat menteri pendidikan yang tidak paham akan profesinya, entahlah itu bukan urusan mereka. Satu kata yang mereka harapkan ada jawaban adalah “bagaimana nasib mereka”.

Sekadar berandai-andai, bagaimana kalau pemerintah daerah membangun sekolah swasta milik Pemda dari TK sampai SLTA? Gurunya bisa diambil semua mantan honorer ini. Pengelolaannya menggunakan pola BUMD. Untuk jangka pendek memang masih memerlukan investasi. Namun, untuk jangka panjang sekolah ini diharapkan menjadi semacam sekolah unggulan milik Pemda yang jika ada margin keuntungan kelak di kemudian hari menjadi milik pendapatan asli daerah (PAD). Uang yang dihamburkan untuk kegiatan sosial yang tidak terukur dan tidak jelas kemanfaatannya, akan lebih baik jika dijadikan investasi peningkatan sumberdaya manusia, dengan memprioritaskan siswanya adalah anak-anak pegawai pemerintah daerah.

Bisa juga mendistribusikan mereka ke sekolah swasta yang membutuhkan. Sisanya bisa dipekerjakan pada Dinas Pendidikan setempat sambil menunggu waktu untuk peluang yang akan datang. Caranya, mereka dibuatkan pusat data sesuai keahlian. Kemudian diperbantukan kepada unit yang ada. Semua ini untuk menghargai mereka sebagai warga bangsa yang telah berjasa di dunia pendidikan. Penghargaan itu diberikan tidak harus menunggu matinya yang diberi, tetapi justru saat mereka masih hidup itu manfaatnya akan lebih besar.

Selanjutnya, organisasi profesi guru terbesar seperti PGRI dan  lainnya harus terus berjuang menyuarakan nasib mereka. Jangan kasih kendor agar pemerintah tidak salah dalam mengambil kebijakan. Sebab, selama ini kebijakan sering tidak dikaji terlebih dahulu dampaknya sampai di bawah. Yang ada hanya ingin cepat selesai masalahnya. Padahal, kebijakan yang diambil “menyelesaikan masalah dengan membuat masalah”.

Tentu pola seperti ini jika tidak ada pihak  untuk selalu cawe-cawe dikhawatirkan akan terus berulang. Sebagai contoh kebijakan sekolah gratis dengan memaksakan kapasitas daya tampung dan sistem zonasi yang kurang melibatkan sekolah swasta. Karena tidak dikaji dengan benar, justru banyak mematikan sekolah milik PGRI dan swasta lainnya.  Satu sisi sekolah negeri dipaksa siswanya berdesak-desakan, sementara sekolah swasta mati secara perlahan.

Tampaknya kita mulai menjadi orang asing di negeri sendiri, karena dari ideologi, kebijakan, bahkan kebijaksanaan semua sudah tergerus dari negeri ini. Sampai-sampai ruang kelas dianggap demplot tanaman. Baik guru maupun siswa bisa dicabut kapan saja dengan cara apa saja. Mereka yang menolak akan ditinggalkan di pinggir jalan untuk selanjutnya menikmati kematiannya.

Sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab,  entah sudah pergi ke mana. Guru honor tidak perlu dikasihani, tetapi mereka perlu dicarikan solusi. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply