Kotak Kosong, Siapa Takut

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menyimak tulisan HBM di media ini beberapa saat lalu, pertama saya ucapkan selamat ulang tahun, walau agak terlambat; kedua bagaimana HBM menganalisis peluang bakal terjadinya “lawan kotak kosong” pada Pilgub Lampung 2024 yang begitu tajam lewat opini Calon Tunggal vs Oligarki Pilgub Lampung.

Namun, ada sisi-sisi lain yang akan dilengkapi oleh tulisan ini, mengingat “suasana” atau “atmosfir” pemilihan kali ini agak sedikit berbeda dibandingkan dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya.

Perbedaan atmosfir ini tampaknya sedikit banyak akan berpengaruh kepada “perilaku” pemilih dipandang dari kacamata sosiologis, terutama aspek perilaku sosial dengan pisau analisis fenomenologis.

AYAM SAYUR

Pertama, pemilihan kali ini agaknya tidak ada “penyandang dana” seperti pemilihan sebelumnya yang jor-joran menggelontorkan dana untuk mendukung calonnya.

Tentu, konsekuensinya, nafas dari para calon agak terengah-engah. Namun, untuk jangka panjang, terasa mulai ada udara segar yang akan menyehatkan demokrasi daerah ini.

Persoalannya sekarang, siapapun pemenangnya kelak harus berani adu “nyali” berhadapan dengan gajah-gajah yang selama ini kemungkinan bimsalabim denga. kewajibannya kepada pemerintah, termasuk pemerintah daerah.

Jika di tengah jalan “masuk angin”, apalagi kalau itu “angin duduk” yang bisa membuat orang “terduduk”; maka apapun kalkulasi pemilihan dilakukan sangat tergantung kepada tipe kepemimpinan si pemenang.

Jika pemenangnya tipe “ayam sayur” akan percumah saja pemilihan dilakukan, karena tidak akan terjadi perubahan yang signifikan ke depan.

KOTAK KOSONG

Kedua, sangat mungkin terjadi kotak kosong yang menang. Penyebabnya, bukan akibat banyaknya pemilih menjatuhkan pilihan ke kotak kosong, tapi yang dikhawatirkan rendahnya tingkat partisipasi pemilih datang ke TPS.

Kenapa ada potensi rendahnya partisipasi pemilih. Secara fenomenologis, hal ini akibat terjadinya dua hal:

Pertama, pemilih merasa tidak mendapatkan apa-apa dari pemilihan itu. Hal ini disebabkan karena selama ini yang namanya pemilihan ada “tentengan” yang dibawa pulang atau paling tidak “amplop” sedekahnya.

Sementara saat ini, penyandang dana untuk menyediakan tentengan bakal tidak ada lagi. Akibatnya sikap sosial “berani berapa, dapat apa” yang selama ini terbentuk, menjadi ambyar. 

Kedua, sikap apatisme dari kalangan menengah yang berpersepsi “siapapun” yang terpilih, mereka tidak kerja, mereka tidak makan.

Sikap seperti ini melekat terutama bagi mereka yang di lampung ini “hanya numpang hidup” maksudnya bekerja di Lampung, namun keluarga ada di luar Lampung. Saat hari pemilihan, justru mereka manfaatkan untuk “pulang” menjumpai keluarga, tidak tertarik untuk berpartisipasi mendatangi lokasi pemilihan.

Oleh sebab itu, calon sekarang hanya memiliki alternatif jalan menuju kemenangan adalah mengandalkan hubungan primordial.

Termasuk, dalam hubungan pola ini adalah kekerabatan, baik dari pihak ayah/ibu, mertua, adik-kakak, saudara dari adik atau saudara dari kakak, teman main ayah/ibu/mertua, dan handai tolan. Itu yang bersifat primer

Yang sekunder, teman organisasi profesi, teman alumni, dan organisasi masa lainnya.

Sementara organisasi politik justru tidak bisa banyak diharap karena banyak sekali konflik kepentingan dan lain sebagainya, terutama negosiasi-negosiasi kepentingan.

Apapun kejadiannya Pilkada harus jalan, tinggal bagaimana “tim sukses” para calon bekerja. Jika mereka setengah hati, maka hasilnyapun seperempat harap.

Jika tidak bekerja, hanya menonton, maka hasilnya-pun sudah bisa diduga akan kedodoran. Sekalipun pemilihan ini tidak berada dipersimpangan jalan, namun tetap saja jalan terjal akan dijumpai oleh siapapun calonnya.

Kondisi partai pengusung yang carut-marut, juga sedikit banyak akan berpengaruh kepada persepsi pemilih dalam menentukan pilihannya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman