Kemerdekaan dan Perubahan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa saat gema perayaan ulang tahun kemerdekaan sayup-sayup mulai menjauh. Hampir semua kita kemarin larut didalamnya bersukacita untuk menyambut setiap tahun. Namun kali ini ada yang berbeda dari perayaan-perayaan sebelumnya, baik secara nasional maupun lokal. Secara nasional perayaan dipusatkan di Ibu Kota Negara yang baru; sementara yang lokal dipusatkan di Kota Baru yang sudah lama.

Perubahan adalah keniscayaan, itu kata para sosiolog; bahkan Selo Sumardjan bapak sosiologi Indonesia mengatakan “tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan”. Namun esensi perubahan-lah yang membedakan antarperubahan itu terjadi. Hampir semua kita paham betul bahwa kemerdekaan yang membawa perubahan di negeri ini, tidak diperoleh dengan cuma-cuma; tetapi dengan perjuangan berdarah-darah dari para pendiri negeri ini dengan durasi waktu yang sangat panjang dan lama.

Berdasarkan penelusuran digital kata “merdeka” itu memiliki tautan sejarah panjang, diantaranya informasi tersebut adalah: secara umum, kata ini berasal dari bahasa Sanskerta “mahārdhika,” yang berarti “makmur” atau “kaya.” Namun, dalam konteks bahasa Melayu dan Indonesia, makna kata ini berkembang menjadi “bebas” atau “independen.”

Kata “merdeka” sudah digunakan dalam literatur melayu klasik sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara. Pada masa itu, kata ini lebih merujuk pada status seseorang yang bebas dari perbudakan atau penjajahan. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki kebebasan pribadi dan tidak terikat oleh tuan atau majikan.

Perkembangan makna selanjutnya pada era kolonialisme: selama era ini disebut juga masa penjajahan oleh kekuatan Eropa di Asia Tenggara, kata “merdeka” mulai memperoleh makna politik yang lebih luas. Kata ini kemudian menjadi simbol perjuangan melawan penjajahan dan kekuasaan asing. Di Indonesia, kata “merdeka” menjadi sangat identik dengan perjuangan melawan penjajahan Belanda dan kemudian Jepang.

Pada era Proklamasi Kemerdekaan: Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno, presiden pertama Indonesia, mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam proklamasi tersebut, kata “merdeka” menjadi simbol utama kebebasan dan kedaulatan negara Indonesia yang baru merdeka. Setelah proklamasi, kata ini menjadi bagian dari identitas nasional Indonesia.

Pada era kontemporer saat ini, kata “merdeka” tidak hanya merujuk pada kemerdekaan politik, tetapi juga sering digunakan dalam konteks kebebasan individu, hak asasi manusia, dan ekspresi kebebasan dalam berbagai aspek kehidupan. Kata ini juga sering muncul dalam semboyan dan slogan, seperti “Merdeka atau Mati!” yang digunakan selama perjuangan kemerdekaan.

Kata “merdeka” memiliki makna yang mendalam dan penuh dengan perjuangan, serta menjadi simbol penting dalam sejarah dan identitas bangsa Indonesia.

Perubahan adalah sesuatu yang bersifat dinamis dan selalu terjadi dalam kehidupan, baik dalam konteks individu, sosial, ekonomi, maupun budaya. Hakekat perubahan melibatkan proses transformasi dari keadaan atau kondisi yang lama ke kondisi yang baru.

Perubahan dapat terjadi secara involusi (sangat lambat sekali tetapi terus dan berkelanjutan), evolusioner (bertahap) atau revolusioner (cepat dan signifikan). Beberapa aspek penting dari hakekat perubahan meliputi: Pertama, Konstansi Perubahan: Perubahan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Tidak ada yang tetap, segala sesuatu selalu bergerak dan berubah.

Kedua, Perubahan Sosial: Dalam konteks sosial, perubahan sering kali terjadi karena pengaruh berbagai faktor seperti teknologi, politik, ekonomi, dan budaya. Perubahan sosial bisa mencakup perubahan dalam pola pikir, nilai-nilai, kebiasaan, dan struktur sosial.

Ketiga, Adaptasi dan Inovasi: Perubahan menuntut adaptasi dan inovasi. Kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan sering kali menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi tantangan yang muncul.

Keempat, Perubahan sebagai Kesempatan: Perubahan sering kali dipandang sebagai peluang untuk memperbaiki atau mengembangkan hal-hal baru. Ini bisa melibatkan inovasi dalam produk, layanan, atau cara berpikir.

Sedangkan hakekat kemerdekaan: adalah kondisi bebas dari kontrol, dominasi, atau penindasan oleh pihak lain. Hakekat kemerdekaan sering kali dikaitkan dengan kebebasan individu, politik, dan sosial. Beberapa aspek penting dari hakekat kemerdekaan meliputi: Pertama, Kebebasan untuk Memilih: Kemerdekaan memberikan individu atau bangsa kebebasan untuk membuat keputusan dan pilihan sendiri tanpa paksaan dari pihak luar.

Kedua, Kedaulatan: Dalam konteks negara, kemerdekaan berarti memiliki kedaulatan penuh untuk mengatur urusan dalam negeri dan luar negeri tanpa campur tangan asing.

Ketiga, Hak Asasi Manusia: Kemerdekaan juga terkait erat dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Setiap individu memiliki hak untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan tanpa diskriminasi atau penindasan.

Keempat, Tanggung Jawab: Kemerdekaan membawa tanggung jawab. Baik individu maupun negara yang merdeka harus bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan mereka.

Kelima, Kemerdekaan Spiritual dan Mental: Selain kemerdekaan fisik dan politik, ada juga kemerdekaan spiritual dan mental, yaitu kebebasan dari belenggu pemikiran atau perasaan yang menghambat perkembangan diri.

Secara keseluruhan, perubahan dan kemerdekaan adalah dua konsep yang saling terkait. Perubahan sering kali diperlukan untuk mencapai atau mempertahankan kemerdekaan, dan kemerdekaan memberikan ruang bagi perubahan untuk terjadi. Keduanya seolah dua sisi mata uang yang satu sama lain saling meneguhkan; oleh sebab itu jika ada perubahan itu adalah konsekwensi dari adanya kemerdekaan, dan kemerdekaan akan menjadi begitu bermakna manakala ada perubahan didalamnya.

Oleh sebab itu, mari kita isi hari-hari mendatang negeri ini dengan berfikir positif terhadap perubahan apapun yang terjadi dinegeri ini. Sebab, kita tidak mungkin akan menghentikan perubahan, tinggal pertanyaan tersisa “andil” apa yang kita dapat berikan kepada negeri ini, sehingga keberlanjutan dan kelestariannya akan terjamin sampai kapan-pun. Sekalipun itu tidak mudah karena dalam perjalanannya negeri ini justru sering dirusak oleh anak negerinya sendiri yang gelap mata akan kekuasaan dan kemaruk harta.

Kursi disusun untuk anak dan istri, korupsi dipelihara untuk dijadikan penjara. Nepotism dipertontonkan bagai artis, orang jujur dibuat hancur, orang culas dibuat waras. Semua seolah berjalan tanpa batas. Namun, Ibu kota boleh berpindah, ideology tidak boleh berubah. Presiden boleh berganti, namun negeri ini tetap harus berdiri. Benar apa yang dipesankan oleh salah seorang presiden negara terbesar dunia yang berkata: “jangan bertanya apa yang akan kau dapatkan dari negeri ini, tetapi bertanyalah apa yang sudah dan akan kau berikan kepada negeri ini”. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman