Baek Budi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Siang itu mendapat kiriman komentar dari sahabat lama dalam menyikapi situasi negara yang sedang tidak baik-baik saja, karena beliau ada di Palembang, maka tidak pelak lagi komennya dalam bahasa Palembang. Tulisan komen itu sebagai berikut “….kito tebudi samo wong yang pecaknyo baik budi….padahal tukang budike… akhirnyo kito tebudi…”. Terjemahan bebasnya “…kita tertipu dari orang yang sepertinya baik budi ..ternyata tukang menipu…akhirnya kita tertipu”. Terjemahan ini tidak tepat benar jika dibaca dengan bahasa rasa, karena rasa bahasa yang terkandung di dalam kalimat itu sering tidak jumbuh dengan terjemahannya.
Hasil penelusuran digital ditemukan konsep: Dalam bahasa Palembang, “baek budi” memiliki arti “baik hati” atau “berbudi baik.” Ungkapan ini menggambarkan seseorang yang memiliki sifat baik, penuh kebaikan, dan memiliki perilaku yang baik terhadap orang lain. Jadi, ketika seseorang mengatakan “baek budi” dalam bahasa Palembang, itu mengacu pada orang yang berperilaku dengan sopan, santun, dan penuh kebaikan hati. Sementara “tebudi” adalah asal katanya ter-budi dari ter-tipu; terjadi pemepetan (pemadatan..?) menjadi tebudi.
Ternyata teman tadi mengingatkan kita semua, semula kita terpesona bahkan terpana, dengan sikap seorang pemimpin yang sepertinya sangat memihak pada demokrasi, mementingkan negara di atas segala-galanya, merakyat dan sifat-sifat luhur lainnya. Ternyata dipenghujung sana baru terlihat aslinya, bahwa semua itu untuk menutupi kehendak tidak terpuji yang ada di dalam hatinya berupa syahwat ingin membangun dinasti.
Namun nanti dulu, ternyata ada komentar masuk dari seorang saudara juga dari Palembang yang berkata sebaliknya. Beliau mengatakan dengan bahasa khas plembang-nya “amen aku jujur bae, aku paham dengan sikap kawan mimpin cak itu, sebab wong tuo mano yang idak pengen anaknyo dan keluargonyo sukses. Kito bejuang pagi sore siang malam itu untuk anak bini…” terjemahan bebasnya kira kira “…saya paham dengan sikap pemimpin seperti itu, sebab orang tua mana yang tidak ingin melihat anaknya dan keluarganya sukses. Kita berjuang siang malam pagi sore itu ya untuk anak istri,”. Ternyata satu peristiwa, atas nama demokrasi, kita juga harus memahami ada pendapat yang berbeda.
Kedewasaan untuk melihat perbedaan ini ternyata juga tidak mudah, karena banyak diantara kita sangat ingin segala sesuatu itu harus sama, bahkan sama dan sebangun. Untuk melihat perbedaan cara pandang kemudian melakukan kompromi atas perbedaan itu juga merupakan sikap kedewasaan yang demokratis.
Oleh karena itulah, sangat diperlukan aturan yang mengatur dan aturan itu ditaati oleh semua, termasuk yang membuat aturan. Sehingga pihak pertama tidak merasa ditipu, juga pihak yang lain boleh sayang anak tetapi tidak dengan memaksakan kehendak, sehingga melanggar aturan yang telah menjadi kesepakatan bersama. Jika anaknya memang memenuhi syarat, ya silahkan. Namun, bukan aturannya yang dipaksa untuk memenuhi keinginan anak atau hasrat orang tua yang sayang anak jika anaknya ternyata tidak layak atau tidak memenuhi syarat.
Oleh karena itu dalam konteks inilah sering orang menyebut sebagai kepatutan; kepatutan sendiri adalah, suatu konsep yang menggambarkan kesesuaian atau kelayakan sesuatu berdasarkan norma-norma, aturan, atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kepatutan sering kali merujuk pada tindakan, keputusan, atau sikap yang dianggap tepat, pantas, dan tidak melanggar batas-batas etika atau kesusilaan.
Lebih tajam lagi jika dirumuskan dengan sudut pandang filsafat politik; dari penelusuran digital ditemukan bahwa hakikat kepatutan dalam berpolitik merujuk pada prinsip-prinsip etis dan moral yang harus diikuti oleh para pelaku politik dalam menjalankan aktivitas politik mereka. Kepatutan ini melibatkan tindakan yang adil, bertanggung jawab, transparan, dan mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau golongan.
Secara lebih rinci, hakikat kepatutan dalam berpolitik mencakup hal-hal berikut: Pertama, Kejujuran dan Transparansi: Para politisi diharapkan bertindak jujur dalam menyampaikan informasi dan transparan dalam pengambilan keputusan serta penggunaan kekuasaan.
Kedua, Keadilan: Politik yang patut adalah politik yang memperjuangkan keadilan bagi semua warga, tanpa diskriminasi atau favoritisme.
Ketiga, Akuntabilitas: Para pemimpin politik harus bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka, baik kepada konstituen maupun hukum yang berlaku.
Keempat, Kepentingan Umum: Kepatutan menuntut bahwa kebijakan dan tindakan politik harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas daripada keuntungan pribadi, kelompok, atau partai.
Kelima, Etika dan Kesantunan: Tindakan politisi harus selalu mencerminkan sikap yang etis, santun, dan menghormati norma-norma sosial dan hukum.
Keenam, Menghindari Penyalahgunaan Kekuasaan: Politisi yang bertindak dengan patut tidak akan menggunakan posisinya untuk memperoleh keuntungan pribadi yang tidak sah atau menindas orang lain.
Dengan mengikuti prinsip-prinsip kepatutan ini, politik dapat berjalan secara etis, efektif, dan berkelanjutan dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Inilah sebenarnya yang menyulut “rasa bernegara” yang dimiliki warga negara manakala melihat penyimpangan yang sudah diluar batas kewajaran, dengan ukuran etika kepatutan.
Sayangnya prinsip-prinsip di atas hanya ada pada ruang kelas kuliah, namun pada tataran praksis ternyata tidak seindah teorinya; sehingga muncul istilah “Baek budi, budi baek, tebudi” dan kata kiasan miring lainnya. Memang menjumbuhkan antara teori dan praktik diperlukan kepiawaian tersendiri, bahkan kelapangan hati, kedewasaan diri dan kebijaksanaan dalam bersikap. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman