Waras dalam Memilih

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa minggu ke depan kita akan dihadapkan dengan “hajatan Demokrasi” yaitu dengan akan diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah, baik provinsi maupun kabupaten kota. Haru biru penyelenggaraan sudah mulai terasa dari beberapa waktu lalu, berawal dari pencalonan para mereka yang berminat, ramainya perebutan partai pendukung, sampai terakhir adanya daerah yang pasangan calonnya merasa dikerjain oleh komisi penyelenggara; belum lagi ditambah dengan hadirnya kotak kosong. Semua seolah menjadi bumbu-bumbu kepemilihan yang berlindung pada satu kata “demokrasi”. Untung era sekarang sudah berubah, dimana keterbukaan sudah menjadi sesuatu keharusan, dan pengawasan dilakukan oleh organisasi baru yang tanpa struktur tetapi berkekuatan dahsyat, yaitu bernama nitizen.

Namun dalam pilih-memilih kita serahkan kepada aturan formal yang ada. Sedangkan tulisan ini akan focus pada kondisi memilih secara filosofis. Dalam filsafat, konsep memilih memiliki makna yang mendalam dan sering kali terkait dengan kebebasan, tanggung jawab, serta eksistensi manusia. Berdasarkan sejumlah sumber digital ditemukan beberapa pandangan filosofis tentang memilih: Pertama, Eksistensialisme: Bagi filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre, memilih adalah bagian esensial dari eksistensi manusia. Sartre terkenal dengan pernyataannya bahwa “eksistensi mendahului esensi,” yang berarti manusia pertama-tama ada, dan kemudian menentukan dirinya sendiri melalui pilihan-pilihannya. Manusia dianggap sepenuhnya bebas, tetapi dengan kebebasan ini datang tanggung jawab penuh atas pilihan-pilihannya. Pilihan-pilihan kita menentukan siapa kita, dan kita tidak dapat menghindari tanggung jawab tersebut.

Kedua, Kebebasan dan Determinisme: Dalam filsafat, terdapat perdebatan antara kebebasan memilih dan determinisme. Determinisme menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk tindakan manusia, ditentukan oleh penyebab sebelumnya, sehingga pilihan bebas mungkin hanya ilusi. Sebaliknya, libertarianisme dalam filsafat berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan yang sejati untuk memilih, terlepas dari determinasi sebab-akibat.

Ketiga, Etika dan Pilihan Moral: Dalam etika, memilih sering kali dilihat sebagai tindakan moral yang melibatkan pengambilan keputusan antara tindakan yang benar dan salah. Filsuf seperti Immanuel Kant menekankan pentingnya pilihan berdasarkan prinsip moral yang universal, sementara utilitarianisme menilai pilihan berdasarkan hasil terbaik bagi kebahagiaan terbesar.

Keempat, Kebebasan Negatif dan Positif: Isaiah Berlin membedakan antara kebebasan negatif (kebebasan dari paksaan eksternal) dan kebebasan positif (kebebasan untuk menentukan nasib sendiri). Memilih dalam konteks ini dapat merujuk pada kebebasan untuk membuat keputusan tanpa paksaan eksternal, atau kemampuan untuk merealisasikan diri dan tujuan hidup seseorang.

Dalam konteks filsafat Pancasila, konsep memilih memiliki keterkaitan erat dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam lima sila Pancasila. Memilih dalam konteks ini tidak hanya dilihat sebagai tindakan individu yang bebas, tetapi juga sebagai tindakan yang harus dipandu oleh nilai-nilai kebajikan yang mengacu pada kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Dengan demikian, dalam filsafat Pancasila, memilih tidak hanya dipandang sebagai hak individu, tetapi juga sebagai tanggung jawab sosial dan moral yang harus didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Setiap pilihan harus mengarah pada terciptanya harmoni, kesejahteraan bersama, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa dalam filsafat, memilih bukan hanya tindakan sehari-hari, tetapi juga ekspresi kebebasan dan tanggung jawab manusia, serta refleksi mendalam tentang makna eksistensi manusia. Sayangnya eksistensi ini sering tergerus akan kepentingan pragmatis, sehingga akibat “rabun dunia” menjadikan tersiksa sepanjang masa. Hal seperti ini dalam tataran praksis saat ini sedang menggejala, dan lebih serunya selalu berkedok pada demokrasi. Padahal hakekat demokrasi itu sebenarnya mulia, akan tetapi begitu disalah posisikan, menjadi sangat nista.

Karena memilih adalah bukan tidak yang dapat dipaksakan atau ditekan-tekan; oleh sebab itu jika ada orang memilih untuk tidak memili, dan atau memilih kotak kosong; semua itu harus dihormati karena itu bukan termasuk kategori pelanggaran. Mari kita gunakan hal memilih itu pada waktunya nanti, karena menentukan pilihan itu adalah hak dasar yang dilindungan oleh undang-undang. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman