Dikenang untuk Dilupakan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu mendapat telfon dari teman lama yang tinggal di Kota Empek-Empek; beliau bertanya dengan aksen Plembang yang intinya apakah mendapatkan undangan dari organisasi besar yang pernah digagas saat di tepi Pantai Kuta Bali beberapa tahun lalu, dan kemudian didirikan dan atau dideklarasikan di Kota Bengawan. Tentu saja jawabanya “Tidak” karena memang kenyataannya demikian. Beliau kemudian mengeluarkan isi hati dengan aksen Plembang yang ringkasnya “…….sampe ati nian wong-wong itu dengan kito tuwo ini….”. terjemahan bebasnya kira kira “sampai hati betul orang-orang itu dengan kita yang tua ini”. Ternyata setelah di cek dalam undangan yang di posting di group, memang sejumlah nama selain penulis, seperti dari Banjarmasin, Jember, dan salah seeorang dari Solo juga tidak ditemukan; padahal beliau beliau itu penggagas utama organisasi waktu itu.

Sekilas kalimat bahasa Plembang itu membangkitkan kenangan lama perjalanan hidup manusia; ternyata ada peristiwa yang selalu dikenang untuk diingat, tetapi banyak juga kenangan untuk dan atau dilupakan. Sebelum lebih jauh kita membahas kedua diksi itu dalam konteks kekinian, mari kita jelajahi makna filosofi keduanya.

Ungkapan “dikenang untuk dilupakan” memiliki makna yang mendalam dan filosofis sekali, dengan beberapa interpretasi yang mungkin bergantung pada konteksnya. Berikut adalah beberapa penafsiran yang mungkin terkait dengan filosofi di balik ungkapan ini berdasarkan sumber literatur yang ada: Pertama, Siklus hidup dan peristiwa: Dalam hidup, kita mengalami berbagai peristiwa yang penting atau bermakna pada masanya, tetapi seiring waktu, hal-hal tersebut akan terlupakan, baik oleh kita maupun orang lain. Ini mencerminkan sifat sementara dari ingatan manusia dan bagaimana segala sesuatu pada akhirnya akan berlalu dan dilupakan, meskipun pada awalnya dianggap signifikan.

Kedua, Pelepasan emosi atau kenangan: Ada kenangan yang diingat bukan untuk dipegang selamanya, melainkan untuk dijadikan pelajaran, kemudian dilepaskan. Melalui proses mengingat, kita memberi penghormatan atau refleksi terhadap suatu hal, tetapi pada akhirnya, kenangan itu perlu dilepaskan agar kita bisa melanjutkan hidup tanpa terbebani masa lalu.

Ketiga, Ironi kehidupan: Bisa juga diartikan secara ironis, bahwa dalam beberapa aspek kehidupan, kita terus-menerus mengingat sesuatu yang kita tahu suatu saat harus dilupakan. Ini mungkin berbicara tentang paradoks bahwa kita terus mengenang masa lalu meskipun kita tahu bahwa melupakan adalah bagian dari proses penyembuhan atau perubahan.

Keempat, Pengingat akan kefanaan: Frasa ini bisa menjadi pengingat tentang kefanaan, bahwa segala sesuatu, termasuk keberadaan kita dan apa yang kita lakukan, pada akhirnya akan dilupakan oleh waktu. Filosofi ini menyoroti keterbatasan manusia dalam menghadapi waktu yang terus berjalan, serta ketidakmungkinan mengabadikan semua hal dalam ingatan.

Dalam keseluruhan, “dikenang untuk dilupakan” adalah refleksi mendalam tentang hubungan manusia dengan waktu, ingatan, dan bagaimana kita harus berdamai dengan siklus alami kehidupan yang membawa kita pada pengenangan dan pelupaan.

Dengan kata lain bahwa dalam perjalanan hidup manusia harus selalu siap untuk menjadi kenangan, dan juga siap untuk dilupakan; karena keduanya adalah hukum alam yang tidak dapat kita hindari; Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa “waktu itu adaalah pedang” yang siap akan mengeksekusi semua yang ada untuk menjadi “masa lalu”. Hal ini pernah dinukilkan oleh seorang ahli filsafat yang menceritakan bagaimana seorang Raja meminta nasehat kepada seorang Filusuf pada jamannya, karena permintaan Raja untuk tidak menceramahinya panjang lebar tetapi cukup satu kalimat yang berlaku kapan saja. Sang Filosof memberikan kalimat ingatlah selalu akan kalimat ini “…..Ini akan berlalu…”.

Ternyata apapun yang kita hadapi di dunia ini, senjata pamungkasnya adalah kalimat tadi, karena apapun peristiwanya, baik itu kenikmatan, kesedihan, kenestapaan, dan apapun itu: semua akan menjadi masa lalu, sebab memang semua akan berlalu pada waktunya. Maka aksioma yang mengatakan “setiap waktu ada orangnya, setiap orang punya waktunya” terbukti benar adanya.

Organisasi yang besar kita bangun, memperjuangkan lembaga berdarah-darah kita lakukan, mengejar harapan yang terus berjalan, dan sebagainya; pada waktunya semua itu akan menjadi masa lalu. Oleh sebab itu tidak salah jika orang bijak berpesan bahwa masa lalu adalah guru yang berharga, bukan beban yang harus kita pikul selamanya. Ambil pelajaran dari setiap luka, karena di sanalah letak kebijaksanaan untuk masa depan. Jangan biarkan penyesalan menghalangi untuk melangkah maju. Yang terpenting adalah bagaimana kita memilih untuk tumbuh dari apa yang telah terjadi, bukan apa yang tidak bisa kita ubah.

Pesan bijak yang perlu selalu kita ingat “Kenanglah hal-hal yang mengajarkan kita kekuatan, kebijaksanaan, dan cinta. Namun, lepaskanlah beban yang menyakiti hati kita dan menghentikan langkah kita”. Ada hal-hal yang lebih baik disimpan sebagai pelajaran, dan ada yang lebih baik dilupakan demi kedamaian jiwa. Tidak semua yang pernah ada harus selalu tinggal, karena terkadang melupakan adalah bentuk terbaik dari mencintai diri sendiri.” Berdamailah dengan segala hal yang tidak bisa kita ubah, karena ihlas akan menjadi ending terbaik dari semuanya. Sejarah adalah fakta yang ditulis dari berbagai sudut pandang dan kepentingan, oleh sebab itu biarkan peristiwa masa lalu menjadi jejak fakta yang menyejarah. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman