Tersangkut
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sedang asyik menjelajahi e-book ; tidak sengaja terbaca satu kisah yang sangat menyentuh hati;…. dikisahkan pada suatu saat Syayidina Ali.R.A kedatangan tamu seorang Kakek yang mengisahkan bahwa Kakek tadi teman Ayah Syayidina Ali berdagang; suatu waktu Kakek tadi kehabisan modal, kemudian beliau meminjam uang kepada Ayah Syayidina Ali dengan janji akan mengembalikan manakala beliau ada rejeki. Namun sayang belum sampai Kakek tadi mengembalikan pinjaman, ayah Syayidina Ali meninggal. Oleh sebab itu karena sekarang uang itu sudah ada, maka Kakek tadi akan mengembalikan uang tadi kepada Ali sebagai putra penerus sahabatnya tadi. Setelah uang diterima dan Kakek tadi kembali, Ali berpamitan kepada Syaida Fatimah untuk berbelanja kepasar, dan uang tadi dibawa semua. Sesampai di Pasar ada orang peminta-minta yang meminta uang kepada Ali. Peminta ini tidak mau diberi uang satu kepeng, tetapi ingin semuanya. Tidak berfikir panjang Syaidina Ali memberikan semua uang dari Kakek tadi kepada peminta-minta tadi. Saat beliau pulang dan ditanya Fatimah mana hasil kepasarnya, beliau menjawab apa adanya bahwa semua uangnya diberikan kepada peminta-minta yang menghendaki uang itu semua. Jawab Syaida Fatimah yang anak rasullulah itu dengan ucapan ..”alhamdullilah Alloh mengekalkan rejeki kita”…. Dinukilkan dalam cerita itu bagaimana dunia dan isinya ini tidak tersangkut dihati keluarga Syaidina Ali.R.A.
Ungkapan “tidak terangkut lagi dunia dan isinya pada hatinya” merupakan sebuah filosofi yang menggambarkan seseorang yang telah mencapai tingkat spiritual atau kesadaran batin yang sangat tinggi. Dalam konteks ini, ada beberapa makna yang dapat diambil: Pertama, Kelepasan dari Keinginan Duniawi: Orang yang tidak lagi “terangkut” oleh dunia dan isinya telah melepaskan dirinya dari keterikatan pada materi, harta benda, atau kesenangan duniawi. Hati mereka tidak lagi terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat sementara.
Kedua, Ketenangan Batin: Filosofi ini menunjukkan keadaan jiwa yang tenang, damai, dan tidak terguncang oleh godaan dunia. Orang tersebut telah menemukan keseimbangan batin yang tidak lagi dipengaruhi oleh gejolak emosi atau ambisi. Ketiga, Spiritualitas Tinggi: Orang yang hatinya tidak lagi terikat oleh dunia mungkin telah mencapai pencerahan atau kedekatan dengan aspek-aspek spiritual yang lebih tinggi. Mereka lebih fokus pada hal-hal yang bersifat abadi, seperti cinta, kebijaksanaan, dan kebaikan.
Keempat, Penerimaan: Ini juga dapat diartikan sebagai tanda penerimaan penuh terhadap kehidupan apa adanya, tanpa keinginan untuk mengubah atau menguasai dunia. Mereka menjalani hidup dengan penuh syukur dan kesadaran bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara.
Filosofi ini sering ditemukan dalam ajaran-ajaran spiritual atau agama yang mengajarkan tentang pentingnya melepaskan keterikatan pada hal-hal duniawi untuk mencapai kedamaian sejati. Atau dengan kata lain filosofi ini mengajarkan manusia untuk mencapai kebebasan sejati, di mana kebahagiaan dan kepuasan berasal dari dalam diri, bukan dari luar atau dari dunia material. Tujuan akhir dari ajaran ini biasanya adalah pencerahan, kebahagiaan abadi, atau kedamaian batin yang mendalam.
Pada dasarnya, melepaskan diri dari dunia dan isinya sering dipahami sebagai usaha untuk mencapai pencerahan atau kebijaksanaan tertinggi, baik dalam konteks agama, filsafat, maupun spiritualitas. Banyak ajaran dan tradisi keagamaan berbicara tentang kebutuhan untuk tidak terlalu terikat pada hal-hal materi dan ego, agar bisa hidup dengan lebih tenang, damai, dan selaras dengan alam semesta atau Tuhan.
Jika ditanya apakah “kita” sudah sampai pada tingkat tersebut, jawabannya sangat tergantung pada individu. Setiap orang berada pada tahap yang berbeda dalam perjalanan spiritualnya. Ada yang telah mencapai ketenangan batin dengan melepaskan keterikatan pada dunia, sementara yang lain masih bergulat dengan aspek-aspek material kehidupan. Dalam Islam, konsep ini sering dikaitkan dengan zuhud, yaitu hidup sederhana dan tidak berlebihan, sambil tetap memenuhi kebutuhan duniawi.
Namun, melepaskan diri dari dunia bukan berarti menjauhi atau menghindari tanggung jawab duniawi sepenuhnya, melainkan menempatkan dunia pada tempatnya yang tepat, di mana hal-hal materi tidak menjadi pusat atau tujuan hidup. Jadi, pencapaian itu adalah sebuah proses, dan setiap orang mungkin berada di jalur yang berbeda. Secara keseluruhan, filsafat ini mengajarkan tentang pentingnya memiliki pandangan hidup yang tidak terfokus pada pencapaian materi atau keinginan-keinginan duniawi, tetapi lebih pada mencari makna yang lebih mendalam dan spiritual dalam hidup. Pertanyaan yang tersisa adalah apakah sisa hidup yang kita miliki masih sampai untuk meraih itu. Wallahuaklam wisawab. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman