Kebutuhan dan Kepentingan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Siang menjelang sore, saya  kedatangan  seorang teman kerja. Iamemohon bantuan karena sesuatu “kebutuhan”. Selesai urusan dengannya, ada mahasiswa yang telah menunggu untuk berjumpa karena suatu “kepentingan” kaitannya dengan penyelesaian studi.

Karena waktu sudah senja, begitu selesai semua urusan, saya berkemas-kemas untuk pulang. Sampai di tempat parkir kendaraan, terbayang kembali wajah dari mereka berdua; wajah “kebutuhan” dan wajah “kepentingan” yang keduanya memerlukan penangan segera.

Kebutuhan lebih berorientasi pada hajat hidup yang harus segera dipenuhi, sementara kepentingan lebih pada jangka panjang dalam suatu proses “menuju” atau “menjadi”.

Jika kita telusuri keduanya secara filosofis memang berbeda, dari referensi digital diperoleh informasi sebagai berikut:

Dalam filsafat, kebutuhan dan kepentingan memiliki perbedaan konseptual yang mendalam, meskipun dalam kehidupan sehari-hari keduanya sering kali digunakan secara bergantian. Berikut ini adalah beberapa perbedaan utama dari perspektif filosofis:

1. Kebutuhan (Needs)

Definisi: Kebutuhan mengacu pada sesuatu yang esensial atau mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup, kesejahteraan, dan fungsi dasar manusia. Kebutuhan umumnya dianggap sebagai sesuatu yang universal, berlaku untuk semua manusia di berbagai konteks dan waktu. Contoh: Makanan, air, tempat tinggal, dan udara untuk bernapas adalah contoh kebutuhan dasar manusia. Dalam konteks psikologis, kebutuhan seperti rasa aman, cinta, dan harga diri juga dapat dianggap esensial untuk kesejahteraan individu. Sifatnya: Objektif dan mendasar. Kebutuhan sering dilihat sebagai sesuatu yang ha rus dipenuhi agar individu dapat bertahan hidup atau mencapai tingkat kesejahteraan dasar.

Aspek Filosofis: Filosof Immanuel Kant membedakan kebutuhan yang bersifat empiris (muncul dari pengalaman) dari kebutuhan rasional (muncul dari akal). Dalam filsafat eksistensialisme, kebutuhan sering kali dikaitkan dengan eksistensi manusia yang otentik dan keseimbangan antara keberadaan dan esensi.

2. Kepentingan (Interests)

Definisi: Kepentingan mengacu pada keinginan, preferensi, atau hal-hal yang dianggap berharga atau penting oleh individu atau kelompok. Kepentingan bisa sangat subjektif dan bervariasi antara orang, budaya, atau situasi tertentu. Contoh: Seseorang mungkin memiliki kepentingan dalam politik, seni, atau karier tertentu. Kepentingan ini tidak selalu mendasar bagi kelangsungan hidup, tetapi sangat penting bagi pengembangan diri atau pencapaian tujuan individu. Sifatnya: Subjektif dan kontekstual. Kepentingan dipengaruhi oleh budaya, pendidikan, pengalaman, dan nilai-nilai pribadi. Mereka bisa berubah seiring waktu dan situasi.

Aspek Filosofis: Dalam teori filsafat utilitarianisme (seperti yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill), kepentingan individu dihitung dalam upaya memaksimalkan kebahagiaan atau utilitas bagi masyarakat. Kepentingan juga sering dijelaskan dalam konteks politik oleh filsuf seperti John Rawls, yang membahas konsep keadilan sebagai keseimbangan kepentingan individu dalam masyarakat.

3. Dimensi Moral dan Etis

Kebutuhan: Secara moral, kebutuhan sering dianggap lebih mendesak dan lebih dasar daripada kepentingan. Tidak memenuhi kebutuhan dasar seseorang (misalnya, hak atas makanan atau air, gaji atau pendapatan) biasanya dianggap sebagai pelanggaran etis atau ketidakadilan.

Kepentingan: Kepentingan, di sisi lain, lebih fleksibel dan dapat diperdebatkan. Meskipun penting, kepentingan mungkin harus dinegosiasikan atau diimbangi dengan kepentingan orang lain dalam konteks sosial.

4. Peran dalam Kehidupan Sosial

Kebutuhan: Dianggap sebagai hal mendasar yang harus dipenuhi oleh individu atau masyarakat agar tercapai kesejahteraan dasar. Pemenuhan kebutuhan sering menjadi dasar dari hak-hak sosial dan ekonomi.

Kepentingan: Lebih terkait dengan preferensi dan ambisi individu atau kelompok yang bisa berbeda-beda. Dalam politik, kepentingan sering kali menjadi dasar bagi pengambilan keputusan dan perdebatan, serta untuk menentukan arah kebijakan.

Kesimpulan sementara yang dapat kita ambil adalah: Secara filsafat, kebutuhan mencerminkan sesuatu yang lebih objektif dan fundamental, yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. Kepentingan, sebaliknya, bersifat subjektif dan terkait dengan preferensi individu atau kelompok. Meskipun keduanya penting, kebutuhan cenderung memiliki prioritas moral yang lebih tinggi dalam banyak sistem etika dan filsafat manusia. Menjadi persoalan baru lagi manakala satu pihak menganggap itu kebutuhannya, sementara pihak lain menganggap itu kepentingannya; maka yang akan terjadi adalah konflik nilai atau konflik moral. Meskipun istilah khusus untuk konflik ini bisa bervariasi, secara umum ada beberapa konsep atau istilah yang digunakan untuk menggambarkan pertentangan antara kebutuhan dan kepentingan dalam filsafat dan etika:

1. Konflik Nilai (Value Conflict)

Definisi: Konflik nilai muncul ketika kebutuhan dasar (seperti hak hidup, hak atas kesehatan, atau hak mendapatkan perlindungan) bertentangan dengan kepentingan individu atau kelompok (misalnya kepentingan ekonomi, politik, atau pribadi). Ini adalah istilah umum untuk pertentangan antara dua atau lebih nilai yang dianggap penting. Contoh: Misalnya, kebijakan pemerintah yang fokus pada pembangunan ekonomi (kepentingan) bisa bertentangan dengan kebutuhan dasar masyarakat miskin yang membutuhkan akses terhadap makanan atau kesehatan.

2. Konflik Moral (Moral Conflict)

Definisi: Konflik moral terjadi ketika seseorang dihadapkan pada pilihan di mana memenuhi satu kebutuhan atau kepentingan berarti mengorbankan yang lain. Ini bisa melibatkan situasi di mana keputusan yang diambil akan memengaruhi kesejahteraan orang lain atau melibatkan prinsip moral yang berbeda. Contoh: Sebuah perusahaan mungkin memiliki kepentingan untuk meningkatkan keuntungan (kepentingan ekonomi), tetapi keputusan untuk mengurangi biaya dengan cara mengurangi upah pekerja bisa mengorbankan kebutuhan dasar pekerja (seperti kebutuhan akan upah yang layak).

3. Konflik Hak (Rights Conflict)

Definisi: Konflik hak terjadi ketika hak-hak individu atau kelompok tertentu (yang biasanya berkaitan dengan kebutuhan) berbenturan dengan kepentingan atau hak kelompok lain. Ini sering kali muncul dalam konteks hukum, politik, dan etika.  Contoh: Hak atas kebebasan berekspresi (kepentingan) bisa bertentangan dengan hak orang lain untuk hidup tanpa pelecehan atau penghinaan (kebutuhan akan keamanan emosional dan sosial).

4. Konflik Etis (Ethical Conflict)

Definisi: Konflik etis terjadi ketika individu atau kelompok dihadapkan pada keputusan yang melibatkan perbedaan antara apa yang benar (memenuhi kebutuhan dasar) dan apa yang dianggap menguntungkan atau penting (kepentingan). Ini sering muncul dalam dilema-dilema moral di mana tindakan yang memenuhi kebutuhan seseorang bisa mengorbankan kepentingan pihak lain, atau sebaliknya. Contoh: Dalam etika bisnis, perusahaan mungkin menghadapi dilema antara memaksimalkan keuntungan (kepentingan) dan memastikan kesejahteraan pekerja (kebutuhan).

5. Konflik Kepentingan (Conflict of Interest)

Definisi: Dalam beberapa kasus, istilah konflik kepentingan digunakan, terutama dalam konteks profesional atau politik, di mana ada benturan antara kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dengan kebutuhan atau kepentingan publik. Contoh: Seorang pejabat publik mungkin memiliki kepentingan pribadi (misalnya keuntungan finansial dari suatu keputusan) yang berbenturan dengan kebutuhan masyarakat luas.

6. Dilema Sosial (Social Dilemma)

Definisi: Dalam konteks yang lebih luas, dilema sosial terjadi ketika ada konflik antara kepentingan individu atau kelompok dan kesejahteraan bersama atau kebutuhan publik. Situasi ini sering kali muncul dalam kebijakan publik, di mana kepentingan individu bertentangan dengan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Contoh: Penggunaan sumber daya alam secara berlebihan demi keuntungan ekonomi jangka pendek (kepentingan) bisa merugikan lingkungan dan merusak kebutuhan generasi mendatang untuk mendapatkan sumber daya yang sama.

Dengan kata lain tidak ada satu istilah tunggal yang secara khusus dan eksplisit digunakan untuk merujuk pada konflik antara kebutuhan dan kepentingan, tetapi berbagai istilah di atas—seperti konflik nilai, konflik moral, dan konflik etis—sering digunakan dalam konteks yang melibatkan pertentangan antara apa yang dianggap sebagai kebutuhan dasar dan kepentingan tertentu.

Kondisi seperti ini bisa terjadi disemua lini kehidupan manusia, baik dia pejabat maupun rakyat, semua memiliki peluang untuk berada pada kedua posisi tadi. Sementara pihak ketiga tidak bisa berbuat banyak kecuali pernyataan saja yaitu “menyesalkan”, paling jauh dengan satu kata “turut prihatin”; atau komentar yang tidak menyelesaikan masalah, justru terkadang membuat masalah baru. Ketidakpahaman akan sesuatu yang seharusnya dipahami, juga memberikan peluang untuk terjadinya konflik antara kebutuhan dan kepentingan. Oleh sebab itu tidak salah jika ada adagium dari bahasa Jawa yang berkata “Sing waras ngalah”; terjemahan bebasnya Yang Waras mengalah, makna filosofisnya yang mereka memiliki jiwa besar akan ngalah, yang bukan berarti kalah, sebab ngalah pada konsep ini adalah sikap menang dengan caranya sendiri. Mereka yang bersikap seperti ini pada umumnya karena memiliki analisis kebutuhan dan analisis kepentingan yang matang dan terukur. Dan, tidak gegabah sertamerta bertindak jika hanya untuk kepentingan sesaat. (SJ)

Editor: Gilang Agusman