Menulis yang Tidak Tertulis
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat senja dan matahari menuju peraduannya, bersamaan dengan itu sedikit demi sedikit binatang malam bermunculan. Pertama yang sudah mendengung di telinga yaitu nyamuk, diikuti kelelawar menyerbu pohon ceri dekat musala. Sesekali ditingkahi kicauan burung kutilang yang mencari dahan tempat tidurnya. Tidak ketinggalan burung gereja mencari celah-celah teras rumah atau kanopi yang terlindung. Semua kembali keperaduannya masing-masing. Tinggal manusia menungu panggilan untuk hadir menghadap menunaikan perintah-Nya.
Rutinitas seperti itu jarang kita cermati karena seolah sudah menjadi bagian dari siklus keharusan dalam pergantian waktu kehidupan, walaupun sebenarnya banyak hal yang dapat kita ambil sebagai iktibar. Salah satu di antaranya adalah makhluk-makhluk itu memiliki waktu jeda dalam menjalani siklus hidup. sementara manusia sering tidak menemukan waktu jedanya; yang ada hanya mengejar waktu yang tidak mungkin dapat tergapai. Sama halnya banyak di antara kita mampu menulis. Bahkan pelajaran menulis sudah diajarkan semenjak kita mengenal sekolah formal. Namun kenyataannya banyak di antara kita sebenarnya tidak pandai menulis, termasuk menulis tentang dirinya sendiri.
“Filsafat menulis yang tidak tertulis” merujuk pada gagasan bahwa ada makna, ide, atau pemikiran mendalam yang diungkapkan melalui tulisan, tetapi tidak selalu secara eksplisit disampaikan dalam bentuk kata. Istilah ini jika dinukil dari leteratur digital bisa merujuk pada konsep-konsep berikut:
Pertama, Makna Tersirat: Penulis sering menyampaikan pesan atau ide yang lebih dalam melalui simbolisme, metafora, atau implikasi, yang tidak langsung dijelaskan. Pembaca diharapkan untuk “membaca di antara baris” dan menemukan makna yang lebih dalam di balik apa yang terlihat.
Kedua, Pengalaman dan Emosi yang Tidak Terucap: Dalam tulisan, sering kali ada lapisan emosi, pengalaman, atau intuisi yang hanya bisa dipahami jika pembaca merasakan dan menafsirkan di luar teks yang tertulis secara literal. Filsafat ini mengakui bahwa tidak semua hal bisa atau harus diekspresikan secara langsung, tetapi lebih kepada cara pembaca menangkap esensi dari apa yang ditulis. Berpikir esensial seperti ini memang tidak mudah, namun para pujangga terkenal pada jamannya justru selalu bekerja dengan cara ini.
Ketiga, Keterbatasan Bahasa: Ada konsep dalam filsafat dan linguistik yang menyatakan bahwa bahasa memiliki batas dalam menyampaikan makna. Beberapa gagasan atau pengalaman terlalu kompleks untuk sepenuhnya diungkapkan dalam kata-kata, dan tulisan hanya bisa menggambarkan sebagian dari keseluruhan makna.
Dengan demikian hakikat dari “menulis yang tidak tertulis” adalah memahami bahwa proses menulis tidak selalu terbatas pada apa yang secara eksplisit dituangkan dalam kata-kata di atas kertas, melainkan juga mencakup makna-makna mendalam, perasaan, dan pemikiran yang tidak langsung diucapkan.
Secara keseluruhan, hakikat dari “menulis yang tidak tertulis” menekankan bahwa di balik teks yang terlihat ada lapisan-lapisan makna dan pesan yang hanya dapat dipahami melalui perenungan, interpretasi, dan pengalaman mendalam. Persoalannya sekarang apa yang dibalik teks itu sering ditangkap berbeda dari masing-masing pembacanya, dan ini sekaligus menunjukkan kelemahan bahasa. Berlembar tulisan disajikan untuk dibaca, namun saat membacanya tidak menghadirkan rasa bahasa, maka apa yang dibaca tidak lebih hanya komat-kamitnya bibir dalam mengartikulasi deretan huruf.
Secara filosofis, “menulis yang tidak tertulis” bisa juga merujuk pada komunikasi non-verbal, bahasa batin, atau pengalaman intuitif yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya melalui bahasa. Ini berkaitan dengan hal-hal yang sering kali lebih berhubungan dengan pemahaman personal, perasaan mendalam, atau penghayatan yang tidak dapat dinarasikan dengan kata-kata.
Dalam konteks ini, hakikat menulis adalah usaha manusia untuk menangkap dan mekomunikasikan sesuatu yang mungkin tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, tapi bisa dirasakan atau dipahami melalui pengalaman atau interpretasi. Jadi, maknanya adalah pengungkapan hal-hal yang lebih mendalam, implisit, atau spiritual yang tidak bisa dijelaskan dengan cara menulis yang biasa.
Oleh sebab itu, sangat sulit menjelaskan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis, jika ada pertanyaan bagaimana tulisan itu bahasanya bagus, penyampaiannya baik. Sebab, apa pun jawaban yang diberikan tidak dapat mewadahi atau mewakili hakekat dari jawabannya. Banyak hal yang tidak dapat diwakili oleh deretan tulisan untuk menjelaskan makna; sebab makna itu sendiri adalah bahasa yang tidak tertulis.
Dalam menulis yang tidak tertulis, seorang penulis dituntut untuk memiliki sensitivitas terhadap detail-detail yang tidak disadari banyak orang dan keberanian untuk menggali lebih dalam dari apa yang terlihat di permukaan. Ini bukan hanya soal menemukan fakta baru, tetapi juga soal memberikan konteks yang lebih kaya dan narasi yang lebih lengkap terhadap suatu peristiwa. Tidak heran jika ada media cetak yang menjadi terkenal dan akurasinya terpercaya karena para jurnalisnya dapat menemukan makna yang tidak tertulis dari suatu rekaman peristiwa. Namun, banyak pihak yang tidak menyadari bahwa “melawan lupa” adalah salah satu bentuk dari mengingatkan memori taktertulis untuk tetap permanen sebagai penggalan pengalaman yang tinggal dalam ingatan. Oleh sebab itu, manakala ada janji yang diucapkan menjadi “kenangan kolektif” yang pada saatnya tiba tidak bisa dipenuhi maka bisa berdampak negative kepada si pembuat janji. Demikian juga janji kebahagiaan akan menjadi kekecewaan manakala itu hanya digantung pada harapan. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman