Filsafat Moral Kumbakarna

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menelusuri kisah ini melalui laman digital yang panjang dan melelahkan, ditemukan nukilan yang sangat berharga untuk dijadikan bahan renungan atau kontemplasi diri dalam memaknai kehidupan, yaitu epos Ramayana yang bermula dari kelahiran angkaramurka di dunia ini dengan lahirnya Rahwana.

Namun demikian, orang bijak mengatakan bahwa ditengah keburukan itu jika dicermati secara jeli ada secercah kebaikan di sana. Salah satu wakil dari kebaikan itu adalah diwujudkan oleh tokoh bernama Kumbakarna. Kumbakarna lahir dari pasangan Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi, menjadikannya saudara kandung Rahwana, Wibisana, dan Sarpakenaka. Mereka adalah keturunan raksasa yang berasal dari keluarga Alengka.

Kumbakarna adalah seorang raksasa berwujud besar dan memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, akan tetapi berbeda dari kebanyakan raksasa pada umumnya, ia memiliki sifat yang bijaksana, cinta damai, dan cenderung mengikuti ajaran luhur tentang kebenaran. Sebagai adik Rahwana, Kumbakarna selalu menunjukkan kesetiaan kepada keluarganya. Namun, ia tidak mendukung tindakan Rahwana menculik Shinta.

Ia pernah menasihati Rahwana untuk mengembalikan Shinta kepada Rama dan menghindari perang. Sayangnya, nasihatnya tidak didengar. Bahkan Rahwana murka dan memaksa Kumbakarna untuk maju perang melawan prajurit Ramawijaya yang berupa kera.

Kumbakarna memutuskan untuk bertarung demi membela tanah air dan rakyat Alengka, meskipun ia tidak menyetujui alasan perang tersebut. Baginya, tanggung jawab terhadap negeri lebih besar daripada konflik moral yang ia rasakan. Dialog dengan Rahwana sebagai abang tertuanya saat beliau bertapa tidur jika dideskripsikan secara imajinatif adalah sebagai berikut:
Dasamuka dengan wajah tegang, bergegas masuk ke tempat Kumbakarna bertapa, seraya berteriak, “Kumbakarna, bangunlah, adikku! Negeri Alengka sedang dalam bahaya besar. Engkau harus bangun dan mendengar seruanku!”.

Kumbakarna dengan mata yang masih tertutup, bersuara berat dan lelah beliau berkata: “Siapa yang berani mengganggu tidur panjangku? Tidur ini adalah hakku setelah tapaku… Apakah engkau Kakanda Rahwana? Apa yang begitu mendesak hingga engkau membangunkanku dari ketenangan ini?”.

Dasamuka bersuara keras sambil menahan jengkel, berseru, “Adikku, Alengka sedang dalam bahaya besar! Pasukan Rama sudah mengepung negeri kita. Mereka telah membangun jembatan menuju Alengka. Hanoman, si kera putih, telah membakar istana. Aku membutuhkanmu untuk menghadapi para musuh ini!”.

Kumbakarna bangun dan berdiri perlahan, tubuhnya besar dan penuh wibawa berucap, “Kakanda, apa yang telah aku peringatkan kepadamu dahulu ini terbukti kejadiannya. Jika pada waktu itu Dewi Shinta kau kembalikan kepada Rama, maka tidak akan ada kejadian ini. Ini adalah akibat dari engkau telah bertindak melampaui batas?”.

Dasamuka tidak mau terima dengan ucapan adiknya tadi, seraya berteriak, “Semua ini demi Shinta, wanita yang kupuja dan kucintai! Rama tidak memiliki hak atas dirinya. Aku mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku!”

Kumbakarna menatap Dasamuka dengan sorot tajam, penuh kecewa dan berucap yang juga tidak kalah serunya dari Rahwana, “Kakanda, engkau telah membangunkanku untuk sesuatu yang memalukan. Engkau merusak kehormatan Alengka dengan nafsu dan keserakahanmu! Bagaimana mungkin aku bertempur demi tujuan yang tidak benar?”.

Dasamuka sangat murka mendengar ucapan adiknya itu sejurus kemudian dia berteriak lantang, “Adikku, jangan menasehatiku seperti orang suci! Engkau adalah bagian dari keluargaku, dan ini adalah tanggung jawabmu untuk melindungi negeri kita, apa pun alasannya!”.

Kumbakarna menarik napas panjang, dengan suara berat dia berkata, “Aku adalah seorang ksatria, Kakanda. Aku tidak akan membela tindakanmu yang salah. Namun, Alengka adalah tanah kelahiranku. Demi rakyat yang tak berdosa, aku akan maju ke medan perang. Bukan untuk dirimu, tetapi untuk negeri ini!”.

Dasamuka menukas sambil tersenyum licik berkata, “Begitu saja sudah cukup, adikku. Pergilah dan tunjukkan kekuatanmu. Engkau adalah harapan terakhir Alengka. Engkau adalah panglimanya negeri ini”.

Dengan langkah berani Kumbakarna mengambil senjatanya, bersiap pergi dan bersalaman dengan abangnya itu sambil berucap, “Doakan aku, Kakanda. Karena perang ini mungkin akan menjadi akhir dari hidupku.”

Dialog ini menggambarkan dilema moral Kumbakarna, kesetiaannya pada tanah air, serta perasaan kecewanya terhadap kakaknya, Dasamuka, yang sering bertindak semena-mena. Lalu apa yang dapat kita petik dari peristiwa di atas. Tindakan Kumbakarna adalah contoh nilai ksatria sejati yang penuh dengan kebijaksanaan, keberanian, dan pengabdian tanpa pamrih. Dalam tradisi pewayangan, ia dipandang sebagai simbol manusia ideal yang mendahulukan kewajiban dan kehormatan di atas kepentingan pribadi. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman