Jalan Berubah Menjadi Jalan-Jalan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu setelah shalat subuh berbincang dengan istri untuk melakukan ziarah kubur ke makan orang tua yang berjarak sekitar hampir dua ratus kilo meter. Diputuskan segera berangkat mumpung ada kesempatan, karena waktu libur begini sering masih padat kesibukan. Setelah dipersiapkan minimal, maka perjalanan dimulai dengan mengisi bahan bakar kendaraan dan sedikit isi kartu jalan bebas hambatan. Dua setengah jam kemudian sampai di tujuan dan melakukan ziarah makam keluarga yang bersih dan asri itu; muncul persoalan setelah rangkaian acara selesai, mau mengerjakan apa. Ide baru muncul untuk pergi ke wilayah barat menikmati pemandangan pegunungan dari puncak bukit yang bermasjid, maka perjalanan hari itu berubah menjadi jalan-jalan.
Persoalan baru muncul lagi, setelah pulang bagaimana kalau kita putar haluan ke utara menuju kota “King Stone”. Niat dibulatkan kendaraan dipacu santai menuju kota yang banyak sekali buah durian. Sampai di sana cuaca sangat mendukung, perundingan dimulai, diputuskan perjalanan dilanjutkan ke “Kota Nanas” yang sudah tidak pernah panen lagi. Walaupun pakaian yang dibawa hanya yang melekat di badan, namun karena tekad yang nekad perjalanan yang berubah menjadi jalan-jalan itu dilanjutkan. Mengandalkan piranti google sebagai pemandu, pedal gas mulai ditekan, ternyata halang-rintang mulai muncul karena lebar jalan yang tidak mendukung semetara kendaraan besar dan panjang lalu lalang.
Sekedar info bahwa memang jalan ini dahulunya milik perusahaan pengeboran minyak Indonesia terkemuka yang digunakan untuk membawa peralatan berat. Saat Gubernur Sumatera Selatan dijabat oleh Asnawi Mangku Alam, jalan ini dialihkan menjadi jalan provinsi dan bisa dilalui kendaraan pribadi secara terbatas. Saat ini justru menjadi jalan utama antarprovinsi yang begitu ramai dan padat.
Karena kesulitan dengan penglihatan, maklum sudah tidak muda lagi, maka begitu tiba waktu magrib, dicarilah masjid yang ada di tepi jalan. Memasuki masjid ini agak aneh, karena letak posisi imam tidak pada tempat yang disediakan, akan tetapi bergeser ke kanan yang cukup signifikan. Niat diluruskan kain dikenakan, shalat dijalankan. Kendala baru muncul saa malam sudah tiba, hari makin gelap, mata makin rabun. Maka perjalanan merayap bagai siput dimulai, yang penting selamat sampai tujuan di tempat keluarga yang dituju. Memang ada usulan dari penumpang cantik satu-satunya ini ingin menggantikan posisi pengemudi, namun apa kata dunia seolah suami tidak ada rasa tanggung jawab pada istri, maka permintaan itu ditolak dengan rasa sayang. Alhamdullilah sampai juga silahturahmi ini ditempat keluarga pada waktu selepas isya’.
Keesok harinya rasanya sayang kalau mau pulang kembali ke jalan awal, maka diputuskan singgah walau sebentar di kota empek-empek. Maka dirancang shalat zuhur dilaksanakan di Masjid Agung kebanggaan Wong Plembang dan makan khas martabak di seberangnya. Tepat pukul 15.00 WIB, semua rangkaian sudah diselesaikan, maka jalan pulang dimulai untuk menelusuri jalan bebas hambatan untuk memacu si putih kuda besi yang kami gunakan. Sempurnalah acara kali ini jalan yang berubah menjadi jalan-jalan bagi kami berdua.
Lalu makna apa yang didapat dari semua itu? Ternyata makna hakiki dari perubahan semula “ingin jalan” menjadi “jalan-jalan” dapat ditinjau sebagai transisi dari niat atau kebutuhan menuju ekspresi yang lebih santai atau menyenangkan. Dibantu oleh beberapa referensi pada media digital maka berikut analisisnya : “ingin jalan” mengacu pada keinginan awal untuk bergerak, melangkah, atau melakukan perjalanan. Ini sering kali didorong oleh tujuan atau kebutuhan tertentu, misalnya mencapai sesuatu.
Sedangkan “jalan-jalan” merujuk pada aktivitas yang lebih ringan, santai, dan cenderung rekreatif. Dalam konteks ini, “jalan-jalan” lebih sering dianggap sebagai aktivitas untuk menikmati waktu, menjelajah, atau sekadar mencari hiburan tanpa tekanan dan target tertentu.
Dengan kata lain perubahan dari “ingin jalan” ke “jalan-jalan” menunjukkan pergeseran dari niat serius ke aktivitas santai. Awalnya ada dorongan kuat atau tujuan jelas, tetapi kemudian menjadi pengalaman ringan tanpa beban. Dari kebutuhan ke rekreasi. Hal yang tadinya dipandang sebagai “harus dilakukan” menjadi sesuatu yang dilakukan dengan sukacita. Dari tujuan ke proses, fokusnya bergeser dari hasil akhir (misalnya sampai di suatu tempat) menjadi menikmati perjalanan itu sendiri.
Hikmah filosofis dari semua itu adalah perubahan ini dapat menggambarkan pola pikir yang lebih santai, menikmati setiap langkah kehidupan, tanpa terlalu terpaku pada hasil akhir. Hidup bukan sekadar mencapai tujuan, tetapi juga tentang menghargai proses perjalanan, yang sering kali justru memberi kebahagiaan tersendiri. Semoga akhir tahun dan menuju awal tahun baru juga merupakan proses “jalan” yang juga di dalamnya ada “jalan-jalan”; sehingga hidup ini bukan diburu akan tetapi dinikmati. Salam Waras (gil)
Editor: Gilang Agusman