Harapan Warga Kota Bandarlampung

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

TERILHAMI tulisan Herman Batin Mangku (HBM) beberapa waktu lalu di media ini, saya teringat masa lalu, nunjauh di tengah Pulau Sumatera. Pada era 1960-an, di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan, ada group Orkes Melayu (OM) “Bintang Harapan”.

Group ini memiliki peralatan terlengkap pada jamannya. Selain alat musik, ada dinamo pembangkit listrik, sehingga bisa berorkes ria hingga pelosok desa. Di era itu, group OM merebak seperti OM Kelana Ria, Sinar Kemala, Pancaran Muda, dan OM Purnama.

Mereka berperan penting dalam mempopulerkan musik melayu dengan nuansa India yang kemudian menjadi cikal bakal musik dangdut.

“Bintang Harapan” adalah sebuah frasa dalam bahasa Indonesia yang dapat diartikan sebagai “bintang yang memberi harapan.” Secara harfiah, bintang adalah benda langit yang bersinar, simbol cahaya atau petunjuk malam hari.

Dalam konteks figuratif, bintang sering melambangkan sesuatu yang gemilang, terkenal, atau memiliki potensi besar. Harapan: merujuk pada sesuatu yang diinginkan atau diimpikan, atau perasaan optimisme mengenai masa depan.

Secara keseluruhan, “Bintang Harapan” bisa diartikan sebagai simbol atau tanda yang membawa harapan, impian, atau masa depan yang lebih baik. Dalam konteks musik atau seni, ini bisa merujuk pada grup atau individu menjadi inspirasi bagi orang lain.

Sedangkan dalam makna yang lebih luas kata “harapan” menjadi semacam simbol cita-cita masa depan yang lebih baik.

Sama halnya dengan dilantiknya kepala daerah hasil Pemilu Kada yang lalu, termasuk Wali Kota Bandarlampung. Tentu, para pemilih berharap kepala daerah terpilih menunaikan janji kampanyenya.

Untuk petahana atau incumbent, kesempatan menyelesaikan sisa pekerjaan masa lalu yang belum tuntas.

Dari catatan saya, untuk Kota Bandarlampung, pekerjaan yang mendesak bagaimana membebaskan banjir yang masih menghantui warga kota saat hujan dari pusat kota sampai pinggiran kota.

BANJIR

Banjir adalah persoalan serius sejak wali kota terdahulu yang juga “teman tidur” Wali Kota Bandarlampung sekarang.

HUTAN KOTA

Persoalan hutan kota yang makin kemari makin tidak jelas penyelesaiannya. Hal ini bisa menjadi bom waktu bagi wali kota karena harus dengan tegas memberikan jalan keluar yang bijak kepada pengembang dan pelestarian lingkungan.

Pertanyaan yang sering muncul kemudian adalah mengapa wilayah itu menjadi wilayah pribadi, apakah pihak kota tidak bisa memberi kompensasi?

Belajar dari persoalan penimbunan tangkapan air di wilayah Rajabasa yang sampai hari ini menjadi persoalan dan tidak selesai, wali kota sebaiknya mengambil langkah tegas sekalipun pahit.

SAMPAH

Prioritas utama adalah selamatkan alam demi keberlangsungan kota, dan kesejahteraan warga. Persoalan belum selesai, datang persoalan baru, yaitu TPA.

Kalau mau bijak dan menerima masukan kajian wilayah ini sudah pernah dilakukan pada tahun 2013 oleh doktor Ahli Lingkungan Unila. Beliau melakukan penelitian untuk disertasi tentang jalan keluar dari persoalan limbah sampah di Bandarlampung.

Beliau sampai pensiun tetapi hasil kajiannya yang sudah dikirimkan ke Kota Bandarlampung entah kemana rimbanya.
Harusnya, wali kota tidak menutup mata dengan lembaga indipenden yang ada di daerahnya dalam menghadapi persoalan apapun.

Karena mereka bisa dengan jeli dan memberikan masukan yang berarti, tentu terlebih dahulu dilakukan kajian. Minta perguruan tinggi yang ada untuk duduk bersama dengan pihak kota guna menemukenali persoalan dan mencari jalan keluar.

Jangan hanya setelah anugerah honoriscausa semua selesai, justru itu pintu masuk untuk kerjasama lebih lanjut. Jangan sampai harapan masyarakat tinggal menjadi harapan; jangan pula diubah menjadi harapan hampa, apalagi harapan palsu.

Kepastian yang ada baru menunggu Bus Harapan Jaya untuk membawa kita menuju tujuan. Selamat berkarya untuk melayani warga agar kota ini lebih baik lagi. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman