Keterangan Berkelakuan Baik

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Surat Keterangan Berkelakuan Baik (SKKB) yang menjadi persyaratan apapun di negeri ini dan akhir abad 20 berubah menjadi Surat Keterangan Catatan Kepolisian, ternyata memiliki sejarah yang panjang. Berdasarkan penelusuran di mesin telusur digital, diketahui bahwa SKBB sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Dokumen serupa SKBB dikenal sebagai Verklaring van Goed Gedrag (Pernyataan Kelakuan Baik). Dokumen ini dikeluarkan oleh otoritas kolonial untuk memeriksa latar belakang seseorang, terutama bagi orang-orang yang ingin bekerja di lembaga pemerintah kolonial atau bepergian ke luar negeri.

Setelah Indonesia merdeka, konsep administrasi kolonial ini tetap dipertahankan dan diadaptasi ke dalam sistem hukum Indonesia. Surat semacam ini menjadi alat penting dalam memastikan latar belakang moral dan hukum seseorang bersih, terutama dalam konteks pembangunan institusi negara. Bahkan pada masa Orde Baru surat sakti ini harus didampingi dengan Surat Bersih Diri dan Lingkungan yang dikeluarkan oleh institusi militer yang berisi keterangan bahwa yang bersangkutan bukan anak atau dari keluarga yang tercatat berpaham komunis. Surat ini bisa keluar setelah melalui skrining yang ketat berkaitan dengan orang tua, paman, adik, kakak, mertua, saudara bapak/ibu dan sebagainya.

Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) digunakan hingga sekitar tahun 1980-an. Sejak akhir abad ke-20, istilah Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) mulai digunakan secara resmi menggantikan SKKB. SKCK lebih menekankan pada pemeriksaan catatan kriminal dalam arsip kepolisian.

Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) digunakan untuk memverifikasi bahwa seseorang tidak memiliki catatan kriminal. Oleh sebeb itu, SKCK menjadi dokumen wajib untuk keperluan tertentu, seperti: Melamar pekerjaan di instansi pemerintah atau perusahaan tertentu. Mengajukan visa untuk bepergian ke luar negeri. Mendaftar sebagai calon pejabat atau kepala desa atau lembaga lain yang mempersyaratkannya menjadi wajib. Dengan demikian, proses penerbitan SKCK membantu memastikan bahwa individu yang terlibat dalam kegiatan sosial atau ekonomi memenuhi kriteria keamanan tertentu.
SKBB, yang kini dikenal sebagai SKCK itu, telah melalui proses evolusi panjang dari masa kolonial hingga modern. Fungsinya tetap sebagai alat verifikasi moral dan hukum individu dalam masyarakat yang semakin kompleks.

Seiring perjalanan waktu ternyata surat ini menjelma menjadi “Surat Sakti” bagi para terpidana, termasuk terpidana korupsi (Koruptor). Karena surat sakti ini bisa dikeluarkan oleh pihak lembaga permasyarakatan dimana sang koruptor berada, untuk dilampirkan sebagai syarat pengurangan hukuman. Atau juga alasan “berkelakuan baik” selama mengikuti persidangan dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara, termasuk perkara korupsi.

Di sini pintu masuk yang dapat dilakukan oleh pihak berwenang untuk memberikan alasan mengapa seorang koruptor yang menilep uang negara triyunan dapat dijatuhi hukuman lebih ringan dibandingkan dengan terpidana lain. Terlepas bagaimana cara untuk mendapatkan pertimbangan itu.
Tentu saja menyimak tontonan “sandiwara sosial” ini hati nurani mereka yang waras merasa terusik.

Akibatnya, media sosial sebagai lahan protes, ungkap pendapat, atau apapun namanya; menjadi tempat melempiaskan kekesalan yang paling dekat. Belum lagi parodi yang memang dirancang oleh mereka yang ahli bidang media, sehingga semakin sempurna kekesalahan massa tadi.

Tampaknya “auman singa asia” yang digadang-gadang dapat membersihkan kotoran sosial seperti ini, belum menembus telinga mereka yang ada; bahkan seolah semakin tidak ada takutnya. Hal ini dibuktikan dengan makin tidak sinkronnya antara harapan dengan kenyataan; akibatnya tingkat kepercayaan kepada lembaga penegakkan hukum makin rendah. Ditambah lagi perilaku yang dipertontonkan individu sebagai anggota institusi tidak mendukung atau bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip lembaganya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman