Kota Besar yang Kecil di Daerah Istimewa
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Siang yang terik menerpa daerah istimewa di wilayah Indonesia yang sedang kami kunjungi; bersama rombongan kecil mahasiswa pascasarjana mendatangi pusat kesehatan masyarakat di salah satu daerah yang bernama “besar”, tetapi melayani hanya satu desa dengan jumlah penduduk terpadat di daerah ini. Mahasiswa dan rombongan diterima oleh kepala pusat kesehatan masyarakat setempat yang seorang dokter muda energik, dengan segudang pengalaman dan penguasaan masalah yang sangat mumpuni.
Wilayah kerjanya hanya satu desa, tetapi kepadatan penduduknya luar biasa, jika dibandingkan dengan daerah kita (Sumatera pada umumnya) sama dengan jumlah penduduk dua kecamatan dijadikan satu. Jumlah dokter yang melayani enam orang, dengan standar pelayanan kelas utama, sekalipun fasilitas yang ada seadanya.
Sekalipun Pendapatan Asli Daerah sangat kecil, dan hanya mengandalkan sektor pariwisata, namun upaya mempertahankan pelayanan prima untuk warganya luar biasa. Bahkan dapat dikatakan melampaui batas-batas kemampuan yang mereka miliki. Bisa dibayangkan pusat kesehatan masyarakat ini memiliki sejumlah dokter dan sejumlah tenaga medis yang siap membantu memberikan pelayanan dua puluh empat jam, sekalipun mereka memiliki tetangga rumah sakit dan dikelilingi tempat dokter spesialis praktek. Masyarakat kelas bawah secara ekonomi, menjadi sekala prioritas bagi mereka.
Semangat pengabdian yang luar biasa bekerja tanpa suara alias senyap, mereka lakukan dengan sungguh-sungguh. Ditengah-tengah suasana “pemotongan” anggaran di berbagai sektor, termasuk kesehatan; mereka gagah berani berjuang untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakatnya.
Semangat pengabdian yang ditopang oleh kemampuan intelektual yang tinggi bagi para penyelenggaranya, memang merupakan modal dasar yang tangguh guna mewujudkan visi dan misi yang mereka emban. Hal ini sangat dirasakan saat hadir di tengah-tengah mereka; sampai-sampai ada mahasiswa pascasarjana yang juga seorang dokter berkomentar “yang kita punya mereka punya, sebaliknya banyak yang mereka punya, kita tidak punya”, salah satu diantaranya adalah jiwa korsa dan semangat juang tinggi mereka.
Namun, dari semua yang mereka miliki, ada yang mereka tidak punyai yaitu; sikap arogansi dari masyarakat yang dilayani. Banyak para peserta berbisik di sekitar penulis ingin mencontoh tampilan seorang satuan pengamanan, yang berbadan tinggi besar; sekalipun wanita tampak tampilan ketegasan di tengah pelayanan. Tentu saja keluarga pasien yang rewel minta pelayanan melebihi aturan, termasuk antrian, jika berhadapan dengan model satuan pengamanan begini akan mikir dua kali.
Hal lain adalah kebersihan lingkungan yang terjaga; sekalipun gedung mereka tampak tua, tetapi soal kebersihan tidak terabaikan. Sesuai dengan nama daerahnya memang “Gede” dalam arti besar yang sesungguhnya jika berkaitan dengan kebersihan dan tata laksana lingkungan.
Tingkat kesadaran warga akan kesehatan memang merupakan “pintu masuk” bagi terjaganya kualitas layanan yang mereka tampilkan. Hal ini dibuktikan dengan satuan-satuan tugas kesehatan masyarakat yang mereka bentuk pada tingkat dusun; mendapatkan respon positif dari warga, sekalipun tidak ada dana pendukung yang menyertainya.
Dengan begini, apakah masih harus tetap dipertahankan pikiran untuk pemotongan anggaran bidang kesehatan dan pendidikan untuk masyarakat. Rasanya kita telah berbuat ketidakadilan ditengah pengabdian yang dilakukan oleh para petugas kesehatan di lapangan. Tidak salah jika ada pemikiran yang mengatakan bahwa “anggaran boleh dipotong, namun tidak untuk bidang kesehatan dan pendidikan”.
Semua hal di atas adalah fakta lapangan, oleh sebab itu jika elemen mahasiswa berteriak dimana-mana, dasar mereka adalah antara lain kondisi ini. Namun sayang masih ada segelintir orang yang menjadi busser hanya karena sekedar untuk mendapatkan kebutuhan dasar. Sementara mereka yang selalu memikirkan kondisi bangsa ini ke depan, tampaknya sudah mulai lelah dan masa bodoh. Semoga oleh-oleh yang menjadi uneg-uneg ini bisa menggema di tengah padang pasir harapan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman