APA
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Diusia senja ini pendengaran sudah menjadi persoalan serius; sekalipun di rumah hanya berdua, tetapi gara-gara “APA” terkadang menjadikan suasana tidak nyaman. Bisa dibayangkan dua orang berbicara dengan masing-masing pendengarannya sudah kurang; maka yang terjadi ialah “salah sambung”, dan tentu akan membuat saling pandang. Di sinilah letak kebahagiaan kami, ternyata hanya karena sering bertanya “APA” membuat kami berdua sering tertawa. Lalu ada apa dengan APA dalam konteks ini.
Dalam filsafat, konsep APA bisa dimaknai dalam beberapa cara tergantung pada sudut pandang filosofis yang digunakan. Pertanyaan “Apa itu manusia?” menjadi inti dari banyak pemikiran filosofis, diantaranya: Eksistensialisme (Sartre, Heidegger): Manusia adalah makhluk yang mendefinisikan dirinya sendiri melalui tindakan.
Humanisme: Manusia sebagai makhluk rasional dan berbudaya. Strukturalisme (Foucault, Levi-Strauss): Manusia dipahami dalam konteks struktur sosial dan bahasa.
Jadi, dalam filsafat, konsep “APA” bukan hanya sekadar kata tanya, tetapi juga bisa menjadi kunci untuk memahami hakikat segala sesuatu, baik dalam aspek keberadaan, pengetahuan, bahasa, maupun manusia itu sendiri.
Menjadi lebih seru jika APA diberi tanda ulang, sehingga menjadi APA-APA; pemaknaannyapun menjadi berubah dan mendalam. Berdasarkan penelusuran literatur digital ditemukan informasi sebagai berikut: Konsep APA-APA dalam filsafat bisa dimaknai dalam beberapa cara tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Berikut adalah beberapa pendekatan untuk memahami konsep ini:
1. Ontologi (Hakikat Keberadaan)
Dalam kajian ontologi, APA-APA bisa dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat universal dan mencakup segala sesuatu yang ada (being). Jika ditarik ke dalam filsafat eksistensialisme, konsep ini bisa dikaitkan dengan pertanyaan tentang “segala sesuatu yang mungkin ada” dan bagaimana keberadaan itu dimaknai.
2. Epistemologi (Teori Pengetahuan)
Dari perspektif epistemologi, APA-APA bisa dihubungkan dengan pengetahuan yang bersifat inklusif, yaitu mencakup segala sesuatu yang dapat diketahui. Dalam konteks skeptisisme, konsep ini juga bisa diuji dengan pertanyaan: “Apakah kita benar-benar bisa mengetahui apa-apa secara pasti?”
3. Logika dan Semiotika
Dalam kajian logika dan semiotika, APA-APA dapat dipahami sebagai tanda atau representasi dari segala kemungkinan makna. Misalnya, dalam filsafat bahasa Wittgenstein, makna suatu kata sangat bergantung pada penggunaannya dalam konteks tertentu.
4. Filsafat Timur (Keberadaan dan Kekosongan)
Dalam filsafat Timur seperti Taoisme atau Buddhisme, APA-APA bisa dikaitkan dengan konsep kekosongan (sunyata). Segala sesuatu itu ada dan tidak ada dalam waktu yang bersamaan, tergantung dari bagaimana kita memandangnya.
5. Sosiologi dan Etika
Dalam konteks sosial dan etika, APA-APA bisa merujuk pada sikap atau pandangan yang terlalu terbuka terhadap segala kemungkinan, yang bisa menjadi kebajikan atau justru menyebabkan ketidakjelasan dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan kerangka teori yang kelima tadi jika kita bumikan maka yang akan terjadi adalah pesan moral sebagai berikut:
“Kita belum punya apa-apa, tidak apa-apa; Kita belum bisa beli apa-apa, tidak apa-apa; Tetapi kita harus bersyukur karena masih bisa makan apa-apa; Karena: Ada orang yang punya apa-apa, bisa beli apa-apa, bisa memiliki apa-apa; tetapi sudah tidak doyan apa-apa”.
Oleh karena itu kita bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa di muka bumi ini; hanya karena rahmad ALLOH-lah menjadikan kita bermakna. Jangan pula kita terlalu banyak meminta karena sebenarnya kita tidak butuh apa-apa. Tuhan hanya meminta kita selalu bersyukur apapun ceritanya karena dengan rasa syukurlah nikmat itu akan ditambah. Tuhan Maha Mengetahui akan semua kebutuhan ciptaanNYA. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman