Biasa Aja Kali

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Istilah ini muncul disekitar awal tahun dua ribuan seiring tumbuhkembangnya generasi millennial saat itu. Saat ini mereka sudah melahirkan generasi Alpha yang lebih kaya lagi akan diksi bahasa, dan jika tidak cermat kita akan tertinggal dari perkembangan bahasa mereka. Kecepatan perkembangan bahasa ternyata juga berkaitan dengan perspektif penggunanya.

Bahasa sebagai media penyampai, untuk saat ini sudah berkembang dengan cepat, terutama bahasa-bahasa pergaulan yang tidak pernah ditemukan sebelumnya. Salah satu diantaranya adalah diksi “biasa aja kali”. Hasil penelusuran digital diperoleh informasi sebagai berikut: Istilah ini kemungkinan besar muncul secara alami dalam percakapan sehari-hari masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa gaul atau informal. Karena sifatnya yang sangat umum dan tidak terkait dengan istilah akademik atau budaya tertentu, sulit untuk menentukan kapan tepatnya ungkapan ini pertama kali digunakan dan siapa pengguna pertamanya.

Namun, ada beberapa faktor yang bisa membantu memahami asal-usulnya:

1. Evolusi Bahasa Gaul di Indonesia

Bahasa gaul di Indonesia terus berkembang, terutama sejak era media sosial dan internet. Ungkapan seperti “biasa aja” dan penambahan kata “kali” (yang menegaskan atau melembutkan pernyataan) sudah lama digunakan dalam bahasa lisan. Istilah ini kemungkinan besar berkembang sejak era 1990-an hingga 2000-an, seiring dengan popularitas bahasa santai di kalangan anak muda.

2. Pengaruh Media & Pop Culture

Banyak istilah gaul mendapatkan popularitas melalui sinetron, film, lagu, atau media sosial. Frasa seperti “biasa aja kali” sering muncul dalam percakapan karakter di film atau sinetron yang menggambarkan kehidupan anak muda. Seiring waktu, istilah ini menjadi bagian dari percakapan sehari-hari.

3. Penggunaan dalam Konteks Digital & Meme

Di era media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok, ekspresi “biasa aja kali” sering digunakan sebagai reaksi terhadap sesuatu yang dianggap dilebih-lebihkan. Meme dan komentar di platform ini turut memperkuat penyebarannya.

Lebih lanjut ditemukan informasi filosofi dari “biasa aja kali” bisa diinterpretasikan sebagai cara pandang hidup yang santai, tidak berlebihan, dan lebih menerima keadaan apa adanya. Beberapa makna filosofis yang bisa dikaitkan dengan ungkapan ini antara lain:

1. Sikap Anti-Drama & Anti-Berlebihan

Dalam kehidupan, banyak orang yang terlalu membesar-besarkan suatu hal, entah itu kesuksesan, kegagalan, atau masalah kecil. Filosofi “biasa aja kali” mengajarkan bahwa tidak semua hal harus dibesar-besarkan. Hidup akan lebih ringan jika kita tidak selalu bereaksi berlebihan terhadap segala sesuatu.

2. Hidup Sederhana dan Rendah Hati

Menganggap sesuatu sebagai “biasa aja” bisa berarti tidak mudah terjebak dalam kesombongan atau euforia berlebihan. Misalnya, ketika seseorang mendapatkan pencapaian, tetapi tetap merasa bahwa itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang wajar, maka ia tidak akan cepat terlena.

3. Mengurangi Ekspektasi, Meningkatkan Kebahagiaan

Sering kali, ekspektasi yang terlalu tinggi bisa menyebabkan kekecewaan. Dengan filosofi “biasa aja kali,” seseorang belajar untuk tidak menggantungkan kebahagiaannya pada harapan yang muluk-muluk, sehingga lebih mudah merasa puas dan bersyukur.

4. Menghadapi Hidup dengan Lebih Tenang

Filosofi ini juga mencerminkan sikap zen atau ketenangan batin. Tidak semua hal harus direspons dengan intensitas yang tinggi. Ada kalanya kita hanya perlu mengamati, menerima, dan melanjutkan hidup tanpa terbawa arus emosi yang tidak perlu.

Secara maknawi filosofi “biasa aja kali” bukan berarti apatis atau tidak peduli, tetapi lebih kepada mindset yang tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan. Ini adalah cara untuk menjaga keseimbangan dalam hidup, tidak terlalu berlebihan dalam menyikapi sesuatu, tetapi tetap sadar dan bijak dalam bertindak.

Oleh karena itu generasi pengguna istilah ini lebih tahan akan “gempuran” dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Mereka akan dengan cepat melakukan penyesuaian diri dengan keadaan yang ada. Hal ini makin kokoh lagi karena penguasaan akan teknologi digital; rerata mereka sangat menguasai penggunaan piranti ini. Informasi berada digegaman tangannya, oleh sebab itu mereka cepat mengambil sikap manakala ada sesuatu yang datang sebagai stimulan.

Resain dari pekerjaan, hijrah ke luar negeri, atau bekerja paruh waktu, dan berkeinginan mengejar pendapatan yang besar, melakukan perjalanan wisata; hak-hal itu adalah pilihan gaya hidup yang sangat dekat dengan mereka. Oleh sebab itu jika ada sesuatu yang menstimulan, mereka merasa tidak nyaman; lalu memilih menghindar atau pergi ke negeri orang; hal ini merupakan style budaya yang mereka miliki. Tinggal sekarang mampukah negeri ini menemukenali kemudian memanfaatkan keunggulan mereka sehingga tetap bermanfaat bagi negaranya; jangan terlalu tergesa-gesa menjastifikasi mereka sebagai orang yang tipis nasionalismenya. Karena “kenyinyiran” seperti itu adalah bentuk ketidaktanggungjawaban kepada generasi penerus. Negeri ini dibangun tidak cukup dengan orasi, dijogeti, di hardik dan ditakut-takuti; akan tetapi harus ada kerja nyata, dan bukti nyata. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman