“Sumeleh”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu ada seorang “piyantun ngayojokarto hadiningrat”  yang sudah cukup lama kenal dan tinggal di daerah ini; pada kesempatan itu beliau mengirimkan satu vidio yang berisi bagaimana sikap hidup “sumeleh” dalam budaya Jawa. Tentu saja media itu sering diputar untuk merenungkan apa esensi pesan yang disampaikan; terutama yang berkaitan dengan pengenalan pandangan hidup sekaligus pandangan batin akan ciptaan Yang Maha Kuasa.

Menarik untuk dicermati apa itu sumeleh dalam pemahaman filsafat manusia. Berdasarkan penelusuran digital ditemukan penjelasan esensial sebagai berikut: dalam filsafat manusia (Jawa), “sumeleh” adalah konsep penting yang menggambarkan sikap pasrah dengan penuh kesadaran dan ketulusan kepada kehendak Tuhan (Gusti Allah), tanpa kehilangan semangat hidup atau tanggung jawab pribadi.

Secara etimologis dan filosofis, sumeleh berasal dari kata dasar seleh yang berarti “meletakkan” atau “menyerahkan”. Maka sumeleh dapat dimaknai sebagai meletakkan diri dalam kepasrahan total kepada kehendak Ilahi, namun tetap berusaha dengan ikhlas dan tidak terikat hasil.

Dengan demikian, esensi dari sumeleh adalah: pasrah aktif – bukan menyerah tanpa usaha, tapi berusaha sebaik mungkin, lalu menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Oleh sebab itu dalam pandangan filsafat Jawa, konsep tawakal lekat dengan kesadaran rasa (rasa sejati). Salah satu cirinya adalah mewujudkan inner peace (ketenangan batin) – orang yang sumeleh tidak mudah galau, tidak larut dalam kekhawatiran, karena percaya semua sudah dalam kendali Tuhan. Oleh karenanya diperlukan sikap rendah hati – mengakui keterbatasan diri di hadapan yang Maha Kuasa.

Konsep sumeleh dalam filsafat Jawa memang tidak berdiri sendiri—ia erat kaitannya dengan prinsip-prinsip lain seperti nerima, legawa, dan eling lan waspada. Semuanya saling mendukung dan membentuk satu kesatuan nilai hidup yang dalam.

Hubungan sumeleh dengan nerima, legawa, serta eling lan waspada adalah: nerima (nrimo ing pandum) – menerima dengan ikhlas apa yang diberikan oleh Tuhan. Nerima adalah pondasi dari sumeleh. Orang yang nerima tidak protes terhadap nasib atau takdir, tetapi menerimanya sebagai bagian dari kehendak Ilahi. Tetapi bukan berarti pasif—ia tetap berusaha, hanya saja hatinya tidak ngoyo dan tidak serakah. Hubungannya dengan sumeleh adalah: orang tidak bisa sumeleh kalau belum bisa nerima. Sumeleh lahir dari hati yang nerima.

Sementara legawa (ikhlas lahir batin) – melepaskan dengan lapang dada. Legawa adalah kemampuan untuk tidak terikat, termasuk terhadap hasil, orang lain, bahkan ego sendiri. Oleh karena itu dalam hidup, kita harus siap menerima kehilangan, kegagalan, atau perlakuan tidak adil tanpa dendam. Hubungannya dengan sumeleh: sumeleh butuh legawa agar tidak terbebani oleh kekecewaan atau penyesalan. Dengan legawa, kita bisa menyerahkan segala sesuatu dengan ringan.

Sedangkan eling lan waspada – selalu ingat pada Tuhan dan waspada terhadap godaan duniawi. Penjelasannya eling berarti sadar—bahwa hidup ini fana, bahwa kita hidup dalam skenario Tuhan. Waspada artinya hati-hati, waspada terhadap hawa nafsu, ambisi berlebih, dan ego.

Hubungannya dengan sumeleh: agar bisa sumeleh, seseorang harus punya kesadaran spiritual (eling) dan tidak lengah dalam hidup (waspada). Tanpa ini, sumeleh bisa jadi sekadar alasan untuk malas atau pasrah buta.

Sumeleh = Nerima + Legawa + Eling + Waspada. Keempatnya adalah laku batin yang menuntun seseorang menuju ketenangan jiwa, kebijaksanaan, dan harmoni dengan alam dan Tuhan. Namun bukan berarti sumeleh adalah hasil jumlah dari keempat unsur; tetapi lebih kepada terintegrasinya antarunsur keempat hal tadi diberi nama sumeleh.

Oleh karena itu, sangat salah dalam pandangan filsafat jika konsep di atas dipahamkan sebagai “klenik”, dan itu menunjukkan kedangkalan sekaligus kesesatan berfikir.

Pertanyaannya adalah bagaimana membumikan sumeleh itu dalam laku sehari-hari. Hal itu tidak dapat dilakukan dengan mendadak atau seketika; akan tetapi lebih kepada proses mengendapnya rasa berserah kepada yang Maha Kuasa saat manembah melalui syariat yang diajarkan agama secara sempurna dan sungguh-sungguh. Di sini posisi shalat kita itu dalam pandangan filsafat adalah tiang agama, dan manakala shalatnya khusuk, maka sejatinya kita sudah sumeleh kepada kodratnya Alloh Sang Maha Pencipta. Tentu pendapat ini masih sangat debateble jika dikaji dari berbagai disiplin ilmu, dan itu sah-sah saja, akan tetapi dengan catatan “tidak perlu merasa benar sendiri”. Karena kebenaran pada wilayah filsafat berbeda dengan wilayahnya ilmu pengetahuan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman