Tuhan dan Ijazah

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi menjelang siang seorang sohib jurnalis senior berkirim artikel tentang Tak Ada Tuhan Dalam Ijazah dari salah seorang penulis yang mumpuni. Jadilah kami berdua diskusi digital, dan terbersitlah keinginan menulis dengan judul di atas. Memang saat ini hampir semua kita menjadi “penggila ijazah”; karena selembar ini mirip dewa sebagai penanda dan penyelamat untuk segala hal; sampai-sampai banyak kita yang lupa akan “pemilik dunia dan isinya”.

Sebelum lebih jauh kita dedah dahulu menggunakan referensi digital, bagaimana hubungan keduanya yang sering membuat manusia saling menafikan. Hubungan antara Tuhan dan ijazah dalam konteks filsafat Islam dan teologi dapat dilihat dari sudut pandang integrasi antara ilmu pengetahuan (yang diwakili oleh ijazah) dan spiritualitas (yang berhubungan dengan Tuhan). Meskipun ijazah adalah simbol pengakuan terhadap pencapaian akademis dan keahlian dalam suatu bidang, dalam banyak tradisi keagamaan, ilmu pengetahuan tidak hanya dipandang sebagai alat untuk meraih kesuksesan duniawi, tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Berikut adalah beberapa cara di mana keduanya dapat dihubungkan dalam pandangan filsafat Islam:

Banyak tokoh filsafat Islam, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Mulla Sadra, memandang ilmu (pengetahuan) sebagai sesuatu yang bukan hanya untuk tujuan duniawi, tetapi juga sebagai sarana untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan dan makna hidup. Al-Farabi dan Ibn Sina menyatakan bahwa pengetahuan rasional (seperti yang diperoleh melalui pendidikan formal atau ijazah) adalah alat untuk memahami alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan. Mereka percaya bahwa melalui pengetahuan dan filsafat, seseorang dapat mengetahui lebih banyak tentang penyebab pertama (Tuhan), struktur alam semesta, dan tujuan hidup manusia. Dalam konteks ini, ijazah dapat dipandang sebagai salah satu bentuk pencapaian dalam perjalanan untuk lebih memahami ciptaan Tuhan, yang pada akhirnya mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan itu sendiri.

Al-Ghazali, meskipun mengkritik penggunaan akal secara berlebihan dalam filsafat, tetap mengakui bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui akal dan wahyu berperan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Ijazah dalam konteks ini adalah simbol dari pengetahuan yang diperlukan untuk berkontribusi pada kehidupan moral dan spiritual yang lebih baik. Namun, Al-Ghazali menekankan bahwa pengetahuan yang paling tinggi adalah yang mengarah pada pemahaman dan kedekatan dengan Tuhan, yang tidak bisa dicapai hanya melalui ilmu duniawi semata, tetapi juga melalui penghayatan spiritual.

Di dalam Islam, ilmu pengetahuan bukan hanya dilihat sebagai pencapaian pribadi, tetapi juga sebagai tanggung jawab moral terhadap masyarakat. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan bahwa: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan ijazah memiliki dimensi spiritual, di mana seseorang yang berilmu (memiliki ijazah) diharapkan untuk menggunakan ilmunya untuk kebaikan umat manusia, dan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara berkontribusi pada masyarakat dan memperbaiki kehidupan orang lain.

Dalam pandangan ini, ijazah bisa dipandang sebagai alat untuk melaksanakan amanah yang diberikan oleh Tuhan, yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara keseluruhan, baik dalam dunia materi maupun spiritual. Sebagai contoh, seseorang yang memegang ijazah di bidang kedokteran, teknik, atau pendidikan, diharapkan untuk menggunakan ilmunya demi kebaikan umat, yang juga merupakan bentuk ibadah kepada Tuhan.

Dalam ajaran Islam, semua pengetahuan pada dasarnya adalah karunia dari Tuhan. Al-Qur’an dalam beberapa ayat menyatakan bahwa hanya Tuhan yang memiliki pengetahuan yang sempurna dan hakikat segala sesuatu. Oleh karena itu, setiap bentuk pengetahuan, termasuk yang diperoleh melalui pendidikan formal (sehingga mendapatkan ijazah), pada akhirnya merupakan bagian dari rahmat Tuhan. Dengan demikian, ijazah menjadi simbol dari proses belajar yang diilhamkan oleh Tuhan. Pendidikan formal adalah cara manusia untuk mengembangkan kemampuan yang diberikan Tuhan untuk memahami dunia, namun Tuhanlah yang memberi hikmah sejati kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Tuhan adalah sumber segala pengetahuan dan kebijaksanaan, dan untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan (seperti yang terwujud dalam ijazah) dengan benar, seseorang harus memiliki kewaspadaan spiritual (taqwa). Pendidikan, dalam pandangan ini, harus dilihat sebagai sebuah karunia dari Tuhan, yang harus digunakan dengan penuh rasa tanggung jawab untuk menghormati Tuhan dan meningkatkan kualitas hidup spiritual serta material.

Ijazah sebagai simbol pengetahuan tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan atau status sosial, tetapi lebih dari itu, juga berkaitan dengan moralitas. Sebagaimana yang diajarkan dalam ajaran Islam, ilmu yang tidak disertai dengan keimanan dan akhlak yang baik akan mengarah pada kesombongan atau penyalahgunaan pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, penguasaan ilmu yang tercermin dalam ijazah harus dilengkapi dengan kesadaran akan Tuhan, untuk memastikan bahwa ilmu digunakan untuk tujuan yang benar dan sesuai dengan ajaran agama. Ibn Sina misalnya, menekankan pentingnya menggabungkan pengetahuan dengan kebajikan moral. Dalam filsafatnya, ia menjelaskan bahwa pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang membawa seseorang lebih dekat kepada kebenaran ilahi dan membantu orang tersebut untuk hidup dengan kebajikan.

Tuhan dan ijazah dapat dipandang sebagai dua hal yang saling melengkapi. Ijazah merupakan simbol pencapaian ilmu dan pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan, yang sering kali berfungsi untuk membantu seseorang meraih tujuan duniawi. Namun, dalam banyak tradisi spiritual, terutama dalam filsafat Islam, ilmu tersebut tidak hanya untuk pencapaian duniawi tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ilmu yang diperoleh (yang terwujud dalam ijazah) dianggap sebagai karunia dari Tuhan, dan harus digunakan untuk tujuan moral dan spiritual, untuk meningkatkan kualitas hidup baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu “Ilmu Yang Bermanfaat” adalah salah satu bekal manusia dalam melanjutkan perjalanannya di alam barzah, guna menuju Tuhan. Maka jika dalam memperoleh ijazah diperoleh dengan cara melanggar aqidah, bisa dipastikan ilmu yang diperolehpun tidak bermanfaat. Jadi tidak salah jika Hari Wardoyo berpendapat untuk meneguhkan keberadaan agama dalam diri itu melewati Iman, sedangkan untuk meneguhkan keberadaan ijazah itu adalah badai pertanyaan, termasuk mempertanyakan keabsahan ijazahnya itu sendiri. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman