Membuka Diri, Menutup Hati

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Senja itu warna merah jingga diufuk sana sangat mempesona, sambil menuruni anak tangga menuju kendaraan, beriringan dengan dosen yang sudah tidak muda lagi namun juga belum masuk usia senja; beliau menukas sambil tetap berjalan; “Profesor saya pernah mendapat pesan dari teman kuliah dahulu jika saat sekarang ini waktunya kita untuk membuka diri, namun harus menutup hati, mohon ijin bertanya apa sebenarnya makna frasa itu”. Akhirnya perjalanan menuju kendaraan terhenti guna menjelaskan kepada yang bersangkutan- walaupun sambil berdiri- maknawi dari frasa itu dari konsep filsafat. Singkatnya penjelasan itu jika dideskripsikan adalah demikian:

Berdasarkan literatur yang ada, baik konvensional maupun digital- makna dari frasa itu sangat dalam jika dikaji dan dikaitkan dengan masa kini. Di tengah derasnya arus modernitas, media sosial, dan keterhubungan digital, manusia semakin terbiasa membuka diri kepada dunia luar. Kita berbagi cerita, pengalaman, bahkan luka, kepada publik. Namun, di balik semua keterbukaan itu, tak sedikit pula orang yang memilih untuk tetap menutup hati — menjaga ruang terdalam dari diri mereka dari sentuhan emosi yang dalam, terutama yang berkaitan dengan cinta, kepercayaan, dan keintiman spiritual. Ungkapan “membuka diri, menutup hati” kini menjadi refleksi populer yang menggambarkan fenomena ini. Tetapi bagaimana jika kita memandangnya dari sudut filsafat Islam? Apa maknanya dalam konteks hikmah, akhlak, dan spiritualitas Islam? Mari kita telusuri lebih dalam.

Pertama; Membuka Diri sebagai Wujud Akal dan Hikmah. Dalam filsafat Islam, manusia dikenal sebagai hayawan natiq — makhluk rasional. Pembukaan diri dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai kesediaan untuk berpikir, belajar, dan terhubung secara sosial dan intelektual. Filsuf besar seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina menekankan pentingnya pembentukan al-‘aql al-fa‘al (akal aktual), yang dicapai melalui pembelajaran dan interaksi. Dalam pandangan mereka, manusia harus terbuka terhadap ilmu pengetahuan, pengalaman sosial, dan dialog antarbudaya. Membuka diri bukan sekadar menjadi ramah atau komunikatif, tetapi berani menerima perbedaan dan memperkaya diri dengan pemahaman baru. Ini adalah bentuk keterbukaan yang sejati, yang mencerminkan tugas manusia sebagai khalifah di bumi.

Kedua; Menutup Hati: Antara Perlindungan dan Penyucian. Jika membuka diri adalah kebutuhan sosial dan intelektual, maka menutup hati dalam filsafat Islam punya makna yang lebih kompleks dan dalam. Dalam bahasa kitab suci dan tradisi tasawuf, hati (qalb) adalah pusat kesadaran spiritual manusia. Ia bukan sekadar tempat perasaan, melainkan juga tempat ma’rifah (pengetahuan tentang Tuhan), dan ikhlas (ketulusan niat).

Namun, dalam tradisi sufi, menutup hati bisa juga menjadi bentuk penjagaan dan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Para sufi seperti Rabi’ah al-Adawiyah dan Imam Al-Ghazali menekankan bahwa hati harus dijaga dari kesibukan duniawi, dari keterikatan pada makhluk, agar bisa terbuka secara utuh kepada Allah. Oleh sebab itu, menutup hati dari dunia adalah bentuk ikhtiar spiritual untuk menjaga kemurnian cinta hanya kepada Sang Pencipta.

Ketiga; Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat. Filsafat Islam selalu mendorong keseimbangan antara aspek lahir dan batin, antara dunia dan akhirat. Dalam hal ini, frase “membuka diri, menutup hati” dapat dimaknai sebagai upaya untuk bersikap sosial dan terbuka, sambil tetap menjaga kedalaman batin agar tidak tercemari oleh dunia yang fana. Filsuf seperti Ibnu Miskawayh dalam karyanya Tahdzib al-Akhlaq menjelaskan pentingnya menjaga akhlak dalam pergaulan sosial, sambil terus membersihkan hati dari hasad, riya’, dan cinta dunia.

Dalam pandangan ini, “membuka diri” berarti menjalani hidup dengan tanggung jawab sosial, berinteraksi, bekerja, dan menebar manfaat. Sedangkan “menutup hati” berarti tidak membiarkan kehidupan dunia masuk terlalu dalam ke dalam jiwa, agar hati tetap fokus pada tujuan yang lebih tinggi — yaitu kedekatan dengan Allah.

Keempat; Perspektif Tasawuf: Dunia Hanya Lalu-lintas, Bukan Tempat Tinggal. Dalam puisi-puisi sufistik dan hikmah para wali, kita sering menemukan ungkapan yang sejalan dengan tema ini. Ungkapan seorang sufi terkenal pernah berkata:

“Aku bersapa kepada dunia dengan senyum, namun hatiku hanya untuk Tuhanku.”

Ini adalah ekspresi dari “membuka diri, menutup hati” — terbuka dalam interaksi, tetapi tertutup dari ketergantungan pada makhluk. Para sufi percaya bahwa dunia adalah tempat ujian. Bila hati terlalu terbuka pada dunia, maka akan mudah dipenuhi cinta palsu, keinginan duniawi, dan kebimbangan. Namun bila hati hanya terbuka untuk Allah, maka dunia tidak akan menggoyahkan ketenangan batin.

Fenomena ini menunjukkan pentingnya menutup hati, dalam arti memiliki batas, kesadaran, dan kedalaman spiritual yang tak mudah diakses oleh sembarang orang. Filsafat Islam memberikan panduan agar manusia tetap menjadi makhluk sosial yang aktif, tanpa kehilangan jati diri spiritualnya. Dengan menutup hati dari dunia, seseorang justru lebih mampu hadir secara utuh di dunia, karena ia tidak mudah goyah oleh pujian, hinaan, atau ekspektasi manusia.

Filsuf Islam — dari Al-Ghazali sampai Ibnu Sina, dari Farabi hingga Ibn Arabi — telah menanamkan satu pelajaran penting: bahwa hati adalah cermin Ilahi, dan dunia hanya bayangan. Maka, bukalah dirimu pada sesama, tapi lindungilah hatimu untuk Sang Pencipta. Pak dosen mengangguk-angguk setuju; tetapi karena waktu sudah senja maka disepakati mencari waktu yang tepat untuk menggelar diskusi akademik sambil ngopi.

Salam waras.