Dilihat Marah, Tidak Dilihat Murka (Sebuah Tinjauan Filsafat Manusia)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Dampak adanya media sosial digital, semua individu bebas mengekspresikan keadaan dirinya melalui media ini. Termasuk diantaranya saat yang bersangkutan marah, gembira dan atau keadaan apapun. Tentu dengan tujuan sesuai dari keinginan individu pelaku. Hal ini terjadi karena manusia bukan hanya makhluk yang berpikir (homo sapiens), tetapi juga makhluk yang merasakan, menyimpan, dan mengekspresikan emosi.
Dari seluruh spektrum emosi, amarah adalah salah satu yang paling kuat dan paling mudah dikenali. Namun, di balik amarah yang tampak, sering tersembunyi sesuatu yang lebih dalam dan lebih berbahaya, yaitu murka. Marah dapat dilihat melalui raut wajah, suara, atau tindakan. sedangkan murka, sering tidak terlihat, sebab ia bersembunyi di ruang terdalam kesadaran manusia.
Bersumber dari berbagai referensi konvensional, serta ditelusuri melalui penjejak digital, ditemukan informasi bahwa dalam filsafat manusia, istilah “dilihat marah, tidak dilihat murka” membuka medan refleksi yang luas.
Marah sebagai ekspresi fenomenal sering kali dianggap destruktif, tetapi murka yang tidak terungkap dapat menjadi lebih membahayakan bagi individu maupun masyarakat. Apalagi jika hal itu dikaitkan dengan maruwah atau martabat suatu kaum, maka sangat membahayakan bagi keberlangsungan kebersamaan yang selama ini dirawat dan dipelihara.
Sementara itu dalam pendekatan fenomenologi, emosi dipahami bukan hanya sebagai reaksi psikologis, melainkan sebagai bagian dari cara manusia mengalami dunia secara utuh. Marah tampak sebagai ekspresi yang keluar sebagai fenomena. Kita bisa melihat seseorang marah: alis mengerut, suara meninggi, tangan mengepal. Namun, murka bersifat laten. Ia adalah emosi yang ditahan, dipendam, dan tidak selalu punya ekspresi fisik. Ia bisa bertahan bertahun-tahun, bahkan menjadi bagian dari karakter seseorang. Dalam konteks ini, murka adalah eksistensi yang ditahan untuk tidak mewujud, dan oleh k arena itu, ia menumpuk, mengendap, dan bisa meledak tanpa peringatan.
Berbeda lagi dalam filsafat eksistensialisme, seperti pada pemikiran Sartre atau Heidegger, manusia adalah makhluk yang “dilemparkan ke dunia” dan dipanggil untuk mengafirmasi keberadaannya dengan kebebasan dan tanggung jawab. Ketika manusia mengalami peristiwa yang menyakitkan seperti: pengkhianatan, ketidakadilan, penindasan; Dia bisa memilih untuk marah sebagai bentuk perlawanan eksistensial. Namun, jika ia tidak mampu atau tidak berani mengungkapkan amarah itu, maka yang muncul adalah murka. Dengan kata lain murka adalah bentuk dari “eksistensi yang terpenjara”; terpenjara dalam luka yang tidak disuarakan. Murka bukan sekadar reaksi emosional, tapi bisa menjadi bentuk eksistensial dari kehilangan makna dan kehilangan kendali terhadap hidup sendiri.
Dalam etika Aristotelian, marah itu sah, bahkan perlu, selama berada dalam proporsi yang tepat. Aristoteles menekankan bahwa menjadi marah tidak salah, tetapi harus marah pada hal yang tepat, dalam kadar yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Dengan kata lain, marah adalah bagian dari kehormatan dan keberanian moral jika diarahkan dengan benar. Sedangkan murka, sebaliknya, adalah emosi yang kehilangan orientasi etis. Ia tidak mempedulikan keadilan atau kebaikan, hanya ingin membalas atau menyakiti. Ia bisa menjadi akar dari dendam, kekerasan, atau pengingkaran terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Pada budaya Indonesia, mengekspresikan kemarahan secara terbuka sering dianggap tidak sopan atau tidak dewasa. Ini menghasilkan budaya di mana banyak orang menahan emosi, memendam, dan memilih diam hanya demi menjaga harmoni semu. Dalam jangka pendek, ini mungkin dapat menciptakan stabilitas sosial. Namun dalam jangka panjang, budaya ini melahirkan generasi yang tidak mampu mengelola emosi secara sehat, dan akhirnya menyimpan murka dalam diam.
Inilah yang dikhawatirkan untuk kasus empat pulau di Aceh. Bisa jadi jangka pendek itu bisa diselesaikan dengan cara patgulipat; namun jangka panjang ada murka kolektif yang tertanam pada generasi berikut. Di sini, kita harus jujur melihat bagaimana murka tidak hanya menjadi urusan personal, tetapi juga kolegial. Ia menyebar sebagai trauma kolektif, kekecewaan massal, dan apatisme sosial yang membeku.
“Dilihat marah, tidak dilihat murka” adalah lensa yang tajam untuk membaca kondisi manusia; baik secara personal maupun kolektif.
Dalam konteks Indonesia hari ini, ia bukan sekadar metafora, tapi kenyataan politik, sosial, dan eksistensial. Oleh sebab itu tidak salah bila orang bijak mengatakan demokrasi sejati bukan hanya tentang hak suara, tapi juga tentang kemampuan kolektif untuk menyatakan luka, menyembuhkan murka, dan membangun masa depan yang lebih baik secara jujur dan adil. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman