Beradu Punggung
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Seorang mahasiswa pasca datang untuk berkonsultasi tugas akhirnya, karena kebetulan yang bersangkutan adalah kepala unit pelayanan kesehatan tertentu, setelah selesai persoalan ilmiah yang bersangkutan ingin meminta pendapat tentang suatu keadaan yang dijumpai ditempat bekerja. Persoalannya adalah adanya staf yang semula sangat akrab dan terbuka; begitu beliau ini sekolah, staf tadi menjauh bahkan dapat terkategori “beradu punggung” dengan dirinya. Diskusi menjadi menarik dan tidak layak untuk dipaparkan pada media ini, karena itu personal sekali; namun adagium beradu punggung tampaknya menarik jika dibahas dari konsep filsafat manusia.
Filsafat manusia; sebuah cabang pemikiran yang tidak hanya bertanya tentang apa itu manusia, tetapi juga bagaimana manusia berelasi, mengenal diri, dan memahami orang lain. Melalui pandangan filsuf-filsuf seperti Martin Buber, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Levinas, dan Erich Fromm, kita akan mencoba mengurai makna dan akar dari sikap beradu punggung ini.
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk relasional. Filsafat humanistik mengakui bahwa identitas manusia tidak terbentuk dalam ruang hampa, tetapi dalam interaksi dengan yang lain. Bahkan, dalam konteks perkembangan psikologis awal, manusia tidak bisa menjadi “diri” tanpa hadirnya “yang lain” sebagai cermin dan penegas eksistensinya. Namun, ketika manusia mulai memperlakukan sesamanya sebagai alat, objek, atau ancaman, maka relasi itu akan berubah menjadi beradu punggung, ini terjadi ketika seseorang berhenti melihat yang lain sebagai pribadi dan mulai memandangnya sebagai sumber masalah, beban, atau bahkan musuh. Punggung yang saling membelakangi adalah simbol dari relasi yang telah kehilangan keintiman, kepercayaan, dan kehadiran sejati.
Jean-Paul Sartre berbeda lagi. Beliau memberikan perspektif lain yang lebih gelap. Beliau berpendapat bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk bebas, tetapi kebebasan ini membawa beban besar: tanggung jawab, kecemasan, dan kesepian. Dalam relasi antar manusia, Sartre melihat potensi konflik karena kehadiran orang lain dapat membatasi kebebasan kita. Dalam pandangannya yang terkenal beliau mengatakan “neraka adalah orang lain”. Oleh sebab itu beliau berpendapat ketika dua manusia saling beradu punggung, bisa jadi itu adalah ekspresi dari konflik kebebasan ini. Masing-masing merasa terancam oleh eksistensi yang lain. Mereka tidak mampu menghadapi kejujuran relasi yang memerlukan keterbukaan. Maka, lebih mudah untuk berpaling dengan memilih tidak melihat, tidak berinteraksi, tidak terlibat.
Erich Fromm sebagai seorang psikoanalis dan filsuf humanis; berpandangan fenomena ini dari kebutuhan manusia akan cinta dan keterhubungan. Dalam bukunya “The Art of Loving”, Fromm menyatakan bahwa cinta bukan hanya perasaan, tetapi tindakan aktif yang memerlukan disiplin, perhatian, dan keberanian. Oleh sebab itu Fromm berpendapat bahwa, keterasingan adalah kondisi dasar manusia modern. Manusia yang tidak mampu mencintai akan merasa terisolasi dan tidak terhubung, bahkan ketika secara fisik ia dikelilingi oleh orang lain. Beradu punggung adalah gejala dari kegagalan mencintai, kegagalan untuk berkomunikasi secara empatik, gagal untuk memberi, memahami, dan menyambut kehadiran yang lain.
Satu perspektif yang sangat menyentuh dan memberi harapan datang dari filsuf Emmanuel Levinas. Ia berbicara tentang “wajah yang lain” sebagai panggilan etis yang tak bisa diabaikan. Menurut Levinas, wajah orang lain adalah kehadiran yang menuntut kita untuk bertanggung jawab, bukan sekadar memahami atau menilai. Dalam konteks beradu punggung, wajah yang lain itu telah hilang dari pandangan. Ketika seseorang berpaling dari yang lain, ia bukan hanya menghindari konflik, tetapi juga menghindari tanggung jawab. Ia menolak untuk melihat kemanusiaan yang ada di depan mata. Ia menolak untuk mengakui luka, harapan, dan kerentanan yang ditawarkan oleh yang lain.
Jika beradu punggung adalah simbol keterasingan, maka menoleh adalah simbol dari keberanian untuk kembali hadir. Proses ini tidak mudah; Ia memerlukan kerendahan hati, keberanian menghadapi luka, dan pengakuan bahwa kita telah berjarak terlalu lama. Namun, inilah jalan satu-satunya menuju keutuhan relasi. Dalam kehidupan nyata, konflik antar manusia sering tidak hitam putih. Tidak ada yang sepenuhnya benar atau salah. Tapi yang paling penting adalah siapa yang bersedia membuka ruang pertama. Dalam filsafat timur, tindakan pertama untuk berdamai memiliki nilai moral yang tinggi dan ini menandakan kedewasaan batin yang baik.
Beradu punggung bukan hanya tindakan pasif, tapi sebuah sikap eksistensial yang mencerminkan krisis makna dalam relasi antar manusia. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, kita perlu kembali pada filsafat-sebagai ruang refleksi-untuk menemukan kembali nilai-nilai relasional yang memanusiakan. Melalui pemikiran Buber, Sartre, Fromm, dan Levinas, kita diajak melihat bahwa manusia tidak akan pernah utuh tanpa yang lain. Bahwa keberadaan manusia sejati bukanlah dalam dominasi atau pelarian, tetapi dalam keterbukaan untuk hadir, mendengar, dan menatap. Orang bijak mengatakan “Manusia diciptakan untuk saling memandang, bukan saling membelakangi. Karena dalam mata yang lain, kita menemukan wajah kita sendiri.” Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman