Serah Terima, Ucap Janji, dan Orientasi Dokter Muda Universitas Malahayati di RSUD Jend. A. Yani Metro

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati resmi menggelar serah terima, pengucapan janji, sekaligus pembukaan Orientasi Dokter Muda (Co-ass) di RSUD Jend. A. Yani Metro. Acara berlangsung khidmat di Aula Diklat rumah sakit pada Rabu (17/9/2025), diikuti sebanyak 57 mahasiswa yang akan menjalani masa praktik klinik di rumah sakit tersebut.

Hadir langsung dalam acara ini, Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH, bersama jajaran Wakil Rektor I, II, III, IV, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran, Ketua Program Studi Profesi dan Pendidikan, Sekretaris, Ketua PMB, serta Kepala Humas dan Protokoler Universitas Malahayati.

Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH dalam sambutannya, menekankan bahwa profesi dokter bukan hanya sekadar pekerjaan, melainkan panggilan jiwa yang mulia.

“Masa Co-ass adalah fase penting yang akan menguji ketangguhan, integritas, dan empati kalian terhadap pasien dan masyarakat. Ikuti orientasi ini dengan sungguh-sungguh, jalin komunikasi yang baik dengan para pembimbing, dan jagalah etika profesi. Ingatlah, kalian bukan hanya mewakili diri sendiri, tetapi juga almamater dan bangsa,” ujar Kadafi.

Beliau juga menambahkan bahwa keberadaan mahasiswa Universitas Malahayati di Metro diharapkan bisa berkontribusi pada visi dan misi Kota Metro sebagai kota pendidikan dan kota sehat. “Bulan Oktober nanti, kita juga akan menyambut mahasiswa dari Universitas Putra Malaysia. Ini menjadi momentum kolaborasi internasional di bidang kesehatan,” tambahnya.

Sementara itu, Direktur RSUD Jend. A. Yani Metro, dr. Fitri Agustina, M.K.M, menyambut hangat kehadiran para dokter muda.

“Setelah menempuh teori di bangku kuliah, kini saatnya adik-adik terjun langsung dalam pengabdian. Anggaplah rumah sakit ini sebagai rumah kedua. Jangan ragu untuk bertanya dan berdiskusi. Setiap pasien yang kalian temui adalah guru terbaik,” tuturnya.

Orientasi ini akan berlangsung selama dua hari, 17–18 September 2025. Para peserta akan dibekali berbagai materi penting, mulai dari pengenalan visi-misi rumah sakit, etika profesi, PMKP (Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien), pelayanan prima, pencegahan dan pengendalian infeksi, komunikasi efektif, hingga praktik penggunaan APAR (Alat Pemadam Api Ringan).

Wali Kota Metro, Hi. Bambang Iman Santoso, S.Sos., M.Pd.I, juga hadir memberikan dukungan penuh. Ia menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari kerja sama strategis antara Pemerintah Kota Metro dan Universitas Malahayati.

“Orientasi ini bukan sekadar agenda rutin, tetapi bentuk nyata sinergi kita dalam membangun kesehatan masyarakat. Kehadiran dokter muda di RSUD Metro akan memperkuat layanan medis sekaligus menghidupkan semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat,” ungkapnya.

Ia berharap, mahasiswa dokter muda Universitas Malahayati mampu memanfaatkan kesempatan ini untuk tidak hanya mengasah keterampilan medis, tetapi juga memahami dinamika sosial kesehatan dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat Kota Metro.

Rangkaian acara ditutup dengan pengucapan janji dokter muda sebagai simbol kesiapan mereka mengabdi. Suasana penuh khidmat dan semangat terlihat dari para peserta yang kini resmi memasuki fase penting perjalanan menuju profesi dokter.

Dengan orientasi ini, 57 dokter muda Universitas Malahayati siap mengawali perjalanan klinisnya di RSUD Jend. A. Yani Metro. Harapannya, mereka tidak hanya menjadi tenaga medis yang kompeten, tetapi juga hadir sebagai insan kesehatan yang humanis, berintegritas, dan berdedikasi tinggi bagi bangsa dan masyarakat. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Uang Masih Perlu, (walau) Kerja Sudah Tak Mampu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Akhir pekan ini matahari memancarkan sinarnya sangat terik sekali. Saat membersihkan halaman rumah pusaka bagian depan, bertemu dengan seorang bapak yang bekerja sebagai pengumpul bahan bekas. Saat beliau istirahat sejenak ditepi jalan, kesempatan itu digunakan oleh penulis untuk berbincang- bincang; ternyata usia beliau sudah tidak muda lagi. Namun, karena tuntutan perut keluarga, maka tidak ada jalan lain kecuali bekerja dan bekerja sepanjang hari. pedoman beliau sekalipun kerja sudah tak mampu, namun uang masih perlu; maka tidak ada jalan untuk menyerah; yang ada hanya terus maju. Jadi ingat, beberapa waktu lalu ada teman yang pensiunan ASN, tentu saja beliau ini sudah tidak muda lagi, berprinsip sama dengan bapak di atas. Beliau masih harus aktif bekerja karena membiayai si bungsu yang masih kuliah tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi negeri papan atas negeri ini. Bedanya bapak pensiunan ini melanjutkan bertani di desa istrinya dengan bertanam kelapa sawit; tentu model tani berdasi, namun tetap saja namanya bertani harus banting tulang menyingsingkan lengan. Sebab, jika tidak itu yang beliau lakukan maka hasil kebon akan dicuri orang. Alasan inilah menjadi pembenaran dirinya yang ada pada posisi “uang masih perlu, walau kerja sudah tak mampu”. Dari hal inilah terinspirasi untuk menulis ulang kembali tema itu dari kacamata filsafat.

Dunia modern adalah arena tuntutan yang tak kunjung habis. Di tengah dentingan mesin industri dan bisik-bisik algoritma digital, manusia menjadi roda yang terus berputar tanpa sempat bertanya ke mana arah perjalanannya. Hidup di tengah arus kapitalisme global dan tuntutan produktivitas tak ubahnya seperti berlomba di lintasan yang tak memiliki garis akhir. Namun, suatu ketika, tubuh mulai memberi sinyal. Tulang yang dulu tegak mulai rapuh, mata yang tajam mulai kabur, dan tangan yang cekatan mulai gemetar. Kerja sudah tak mampu; namun, uang masih perlu.

Persoalan ini bukan semata soal ekonomi atau kesehatan, tetapi soal makna eksistensi manusia di tengah lanskap nilai yang berubah. Dalam perspektif filsafat kontemporer, tema ini membuka ruang untuk menyoal kembali relasi antara tubuh, kerja, dan nilai manusia. Pertanyaan yang muncul tak lagi sekadar “apa yang harus dikerjakan”, melainkan “apakah makna kerja ketika tubuh sudah tak mampu, tetapi kebutuhan hidup tetap ada” Di sinilah letak ketegangan antara eksistensi dan sistem: bagaimana manusia tetap dianggap bernilai dalam masyarakat ketika ia sudah tidak mampu memenuhi standar produktivitas.

Dunia modern mengukur nilai berdasarkan kemampuan untuk menghasilkan. Siapa yang bekerja keras dianggap mulia. Siapa yang menghasilkan banyak dianggap berhasil. Tapi ketika seseorang tidak lagi bisa bekerja karena usia atau sakit, masyarakat perlahan menjauhkannya dari pusat kehidupan. Ia tak lagi dilihat sebagai kontributor, melainkan beban. Namun, kebutuhan dasar manusia tidak mengenal kata pensiun. Makan, tempat tinggal, kesehatan, dan harga diri; semuanya tetap dibutuhkan. Uang tetap perlu, bahkan ketika bekerja tak lagi mungkin dilakukan.

Dalam perspektif filsafat kontemporer, hal ini bisa dibaca sebagai krisis subjektivitas. Manusia dikonstruksi sebagai subjek produktif. Ketika ia tidak bisa lagi produktif, ia merasa kehilangan jati dirinya. Padahal, eksistensi manusia tidak seharusnya direduksi hanya pada perannya sebagai pekerja. Ada kehidupan di luar kerja. Ada nilai dalam keberadaan itu sendiri. Tetapi sistem sosial-ekonomi yang dominan terus menekan individu untuk menyamakan hidup dengan kerja. Akibatnya, banyak orang tua yang merasa tidak berguna, hanya karena tubuh mereka tak sanggup lagi menyumbang dalam bentuk kerja fisik atau mental yang dapat diuangkan.

Lantas, apakah manusia yang tak mampu lagi bekerja harus menyerah pada kemiskinan dan keterasingan? Filsafat kontemporer tidak menawarkan jawaban moralistik, tetapi membuka ruang refleksi. Barangkali yang perlu digugat bukanlah ketidakmampuan bekerja, melainkan sistem yang menyamakan nilai hidup dengan produktivitas. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: apakah sistem itu adil bagi mereka yang sudah memberikan sebagian besar hidupnya untuk bekerja, lalu pada masa senja justru diabaikan.

Kebutuhan terhadap uang adalah kenyataan yang tak bisa dihindari. Tetapi filsafat mengajarkan bahwa manusia bukan hanya makhluk ekonomi. Ia juga makhluk moral, sosial, dan eksistensial. Jika sistem hanya menyediakan ruang bagi mereka yang bekerja, lalu menutup mata bagi mereka yang tak mampu, maka sistem itu gagal memahami hakikat manusia secara utuh. Dunia bukan hanya milik mereka yang kuat dan sehat. Dunia adalah tempat bersama, di mana yang lemah dan sakit juga berhak untuk hidup dengan martabat.

Masalah ini semakin rumit ketika kita menyadari bahwa tak semua orang memiliki akses yang adil terhadap sumber daya. Ketika tubuh masih kuat, banyak yang hanya bisa bekerja dalam sektor informal tanpa jaminan masa tua. Maka ketika tua datang, mereka tidak punya simpanan, tidak punya jaminan, dan tidak punya ruang untuk bersandar. Di sinilah kekejaman sistem menjadi nyata. Mereka yang sudah bekerja keras sepanjang hidup, tetap harus mencari uang di masa tua, bukan karena ambisi, tetapi karena kebutuhan. Uang masih perlu, kerja sudah tak mampu.

Ada pula dimensi relasional dalam isu ini. Dalam masyarakat yang semakin individualistik, mereka yang tak mampu bekerja sering kali ditinggalkan sendiri. Rasa malu, takut menjadi beban, dan kehilangan harga diri menjadi luka-luka batin yang tak terlihat. Padahal, dalam relasi yang sehat, manusia saling menopang. Yang muda merawat yang tua, dan yang tua membimbing yang muda. Tapi ketika relasi ini dikorbankan demi efisiensi dan kemandirian palsu, manusia menjadi makhluk terasing. Ia tidak hanya kekurangan uang, tetapi juga kekurangan makna dan pengakuan.

Kita perlu mengganti paradigma. Bukan lagi “siapa yang bekerja, dia yang berhak hidup”, tetapi “siapa yang hidup, dia berhak hidup layak”. Ini bukan utopia, tapi keharusan moral. Sebab jika tidak, kita sedang membangun dunia yang menolak keberadaan kita sendiri ketika usia senja datang. Barangkali pada akhirnya, pertanyaan terdalam dari tema ini adalah: apakah kita siap hidup dalam dunia yang hanya menerima kita ketika kita kuat, dan membuang kita ketika kita lemah? Atau apakah kita bisa membayangkan dunia yang mengerti bahwa lemah pun adalah bagian dari menjadi manusia?. Kita hanya bisa menyerahkannya kepada waktu. Namun ingat pesan bijak para leluhur dulu “jangan memberi supaya dipuji, dan jangan memuji supaya diberi”. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Prodi Profesi Ners Universitas Malahayati Awali Tahun Ajaran Baru dengan Stase Pra Kepaniteraan Klinik

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Mengawali tahun ajaran baru 2025/2026, Program Studi Profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati menyelenggarakan Stase Pra Kepaniteraan Klinik selama 16 – 19 September 2025. Kegiatan ini berlangsung di laboratorium OSCE Universitas Malahayati dan diikuti oleh 53 mahasiswa baru Profesi Ners.

Dalam stase ini, mahasiswa diuji pada 21 keterampilan keperawatan dasar hingga lanjutan yang menjadi bekal penting sebelum memasuki wahana praktik di rumah sakit. Keterampilan tersebut mencakup tindakan invasif dan non-invasif, seperti memandikan pasien, pemasangan infus, pemasangan kateter, hingga komunikasi terapeutik.

Koordinator Stase Pra Kepaniteraan Klinik, Riska Wandini, Ns., M.Kes, menjelaskan bahwa kegiatan ini dirancang sebagai tahapan penting untuk mengasah kembali kemampuan mahasiswa sebelum menghadapi dunia praktik sesungguhnya.

“Stase ini sangat penting untuk me-recall kemampuan mahasiswa, agar lebih siap dan percaya diri ketika masuk ke wahana praktik klinik di rumah sakit,” ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Program Studi Profesi Ners, Rika Yulendasari, Ns., M.Kep, menekankan pentingnya kedisiplinan mahasiswa dalam mengikuti seluruh tahapan praktik profesi.

“Mahasiswa harus hadir 100% selama praktik profesi Ners. Kehadiran dan keseriusan mereka menjadi kunci agar benar-benar menguasai keterampilan yang dibutuhkan,” tegasnya.

Antusiasme juga datang dari mahasiswa baru. Evi Astuti, salah satu peserta, mengaku merasakan tantangan sekaligus motivasi dalam menjalani ujian keterampilan di laboratorium OSCE.

“Saya sangat antusias dan terstimulus untuk belajar mandiri. Metode ujian di lab OSCE menuntut kami untuk bertanggung jawab penuh pada diri sendiri dalam menghadapi setiap keterampilan. Hal ini membuat kami semakin siap untuk menjadi lulusan Ners yang kompeten nantinya,” ungkapnya.

Melalui kegiatan ini, Program Studi Profesi Ners Universitas Malahayati menegaskan komitmennya dalam mencetak lulusan perawat profesional yang tidak hanya menguasai keterampilan teknis, tetapi juga memiliki tanggung jawab, empati, dan kompetensi yang tinggi dalam memberikan pelayanan kesehatan. (gil)

Editor: Gilang Agusman

“Sumeleh” (Jurus Pamungkas Melawan Kegelisahan Batin)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu kedatangan tamu, teman lama pensiunan guru. Di samping seorang yang menekuni dunia pendidikan, beliau juga peminat menekuni agama dan dunia filsafat sekaligus budaya. Perbincangan dimulai dari hal-hal yang ringan, tetapi dengan langkah pasti pembicaraan mengarah ke hal-hal yang bersifat transendental. Satu kata kunci yang beliau kemukakan adalah untuk menghadapi situasi seperti saat ini yang cenderung tidak baik-baik saja adalah; sikap sumeleh. Diskusi menjadi panjang kali lebar, diskurs yang dibahas adalah konsep sumeleh.

Makna sumeleh secara ringkas dapat dikatakan adalah sikap batin yang tercermin dalam perilaku menerima kenyataan hidup dengan ikhlas, tanpa mengabaikan usaha, dan ditandai oleh ketenangan emosional, pelepasan atas hal-hal di luar kendali pribadi, serta kepercayaan pada proses atau kekuatan yang lebih besar dari diri sendiri, yaitu kekuatan keilahian.

Dalam dinamika kehidupan modern yang penuh tekanan, kebisingan digital, dan kegelisahan eksistensial, masyarakat kontemporer sering kali terjebak dalam pusaran overthinking, yaitu sebuah kondisi mental yang membuat manusia tenggelam dalam ketidakpastian, kecemasan, dan obsesi terhadap kendali. Namun, dalam khazanah budaya Jawa, terdapat sebuah konsep yang justru menawarkan jalan keluar dari kekacauan mental ini: itulah “sumeleh”. Meski lahir dari ranah budaya tradisional, konsep sumeleh mengandung nilai-nilai universal yang dapat dibaca ulang melalui kacamata filsafat kontemporer, khususnya yang berkutat pada eksistensialisme, fenomenologi, dan pemikiran post-struktural.

Sumeleh bukanlah kepasrahan buta, bukan bentuk menyerah dalam arti negatif. Ia lebih menyerupai sebuah sikap batin yang reflektif dan sadar akan keterbatasan manusia dalam menghadapi kompleksitas hidup. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, sumeleh adalah pengakuan dalam diam bahwa tidak semua hal dalam hidup bisa dipahami atau dikendalikan. Sumeleh merupakan titik temu antara usaha manusia dan ketidaktahuan akan hasil. Di tengah budaya modern yang menuntut segala hal diprediksi, dikontrol, dan diraih, sumeleh hadir sebagai kritik terhadap dominasi nalar instrumental yang menempatkan manusia sebagai pengatur segalanya.

Dalam konteks ini, sumeleh tidak bisa dilepaskan dari pemahaman eksistensial tentang keterlemparan manusia ke dalam dunia. Manusia tidak memilih untuk lahir, tidak memilih lingkungan sosialnya, dan tidak dapat mengontrol seluruh jalan hidupnya. Ia dilemparkan ke dalam situasi-situasi yang sering kali absurd dan tidak masuk akal. Namun dalam absurditas itulah, manusia justru menemukan ruang untuk merumuskan makna. Sumeleh adalah bentuk penerimaan atas kenyataan ini, dan bukan penerimaan yang pasif, tetapi penerimaan yang aktif, sadar, dan ikhlas. Ini adalah bentuk kehadiran yang penuh, yang tidak menghindari penderitaan, tetapi juga tidak terobsesi untuk mengatasinya.

Ketika dibaca dalam kerangka fenomenologi, sumeleh juga dapat dimaknai sebagai kesediaan untuk membuka diri terhadap pengalaman apa adanya. Tanpa prasangka, tanpa niat untuk menundukkan. Sumeleh mengajarkan manusia untuk hadir sepenuhnya dalam pengalaman yang dialaminya, seberapapun tidak nyamannya. Dalam dunia yang serba instan dan cepat, di mana manusia cenderung menghindar dari ketidaknyamanan dan bersembunyi di balik pelarian digital, sumeleh justru menantang kita untuk tinggal di dalam rasa sakit, dalam ketidakpastian, dalam tidak tahunya kita terhadap masa depan.
Sumeleh juga mengandung dimensi dekonstruktif yang khas dari pemikiran kontemporer. Ia mendekonstruksi gagasan bahwa manusia harus selalu kuat, tahu segalanya, dan berhasil. Dalam kerangka ini, sumeleh adalah kritik terhadap mitos kemajuan yang tak henti-hentinya ditanamkan sejak dini: bahwa hidup harus selalu naik, harus terus lebih baik, harus punya arah jelas. Padahal, kenyataan hidup sering kali bergerak zigzag, tidak linier, dan penuh kekacauan.

Sumeleh mengajarkan bahwa tidak mengerti adalah hal yang wajar. Tidak tahu arah adalah bagian dari proses. Gagal adalah bagian dari menjadi manusia. Maka, dalam melepaskan kontrol, manusia justru mendapatkan kontrol yang lebih dalam: kontrol terhadap reaksinya sendiri terhadap dunia.

Sumeleh adalah ekspresi kebijaksanaan emosional yang tidak banyak dibicarakan dalam pendidikan formal. Dunia pendidikan modern menekankan pada kognisi, pada berpikir kritis, pada logika dan rasionalitas. Sumeleh datang dari wilayah yang tidak terjangkau oleh logika: wilayah kepercayaan, pengendalian emosi, dan penerimaan. Dalam sumeleh, seseorang belajar bahwa “knowing when to stop” adalah bentuk kecerdasan yang tak kalah penting dari knowing how to keep going. Ini bukan antitesis dari kerja keras, melainkan pelengkapnya. Karena tanpa sumeleh, kerja keras bisa berubah menjadi penderitaan; ambisi bisa menjadi beban; dan harapan bisa menjelma menjadi sumber frustrasi.

Dalam praktik sehari-hari, sumeleh dapat diterjemahkan sebagai kemampuan untuk meletakkan sesuatu di luar kendali kita ke tempat yang lebih besar. Tempat itu bisa dipahami sebagai kekuatan spiritual, alam semesta, atau bahkan hanya sebagai kesadaran akan hukum sebab-akibat yang tidak selalu bisa dikalkulasi. Saat seseorang bersumeleh, ia tidak berhenti bekerja, tetapi ia berhenti mencemaskan hasil yang belum terjadi. Ia fokus pada proses, bukan pada ekspektasi. Dalam psikologi modern, hal ini sepadan dengan mindfulness atau kehadiran penuh dalam saat ini, namun sumeleh tidak membutuhkan teknik atau pelatihan. Ia adalah hasil dari proses batin yang mendalam dan terus-menerus diasah oleh pengalaman hidup.

Sumeleh juga mengandung spiritualitas yang membumi. Ia tidak dogmatis, tidak butuh ritual megah. Ia hadir dalam kesadaran sehari-hari: saat seseorang menerima kenyataan pahit tanpa mengutuk, saat seseorang melepaskan sesuatu yang dicintai tanpa kebencian, saat seseorang tetap tenang dalam ketidakpastian. Dalam momen-momen sederhana itulah sumeleh bekerja, mengendap-endap memperkuat jiwa dari dalam. Ini adalah bentuk spiritualitas yang tidak butuh nama, tidak butuh panggung. Ia tumbuh dalam kesahajaan dan kekosongan yang penuh makna.

Maka, sumeleh bukan sekadar konsep kultural yang usang. Ia adalah jawaban yang sangat relevan terhadap krisis spiritual dan emosional zaman ini. Ia adalah bentuk soft resistance terhadap dominasi rasionalisme yang dingin, terhadap sistem ekonomi yang eksploitatif, terhadap budaya sosial yang superfisial. Dalam dunia yang bergerak cepat, sumeleh mengajarkan kita untuk berjalan pelan. Dalam dunia yang bising, ia mengajarkan kita untuk mendengarkan. Dalam dunia yang penuh ego, ia mengajarkan kita untuk melepaskan. Oleh sebab itu sumeleh bukan akhir dari perjuangan, tetapi cara untuk tidak binasa di tengah perjuangan. Ia bukan tanda kekalahan, tetapi cara untuk bertahan dengan cara yang manusiawi. Dan mungkin, dalam zaman yang penuh luka ini, kita tidak perlu menjadi luar biasa. Cukup menjadi manusia yang utuh, sadar, dan bersumeleh. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Prodi Manajemen Universitas Malahayati Sambut Semester Ganjil 2025/2026 dengan Beragam Pembekalan

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Manajemen Universitas Malahayati menggelar kegiatan pembukaan awal semester ganjil 2025/2026 yang dipenuhi dengan rangkaian pembekalan bagi dosen. Kegiatan ini berlangsung pada Rabu, 10 September 2025, di Ruang Pasca Kesehatan Masyarakat lantai 5 Universitas Malahayati.

Acara ini menjadi momentum penting untuk menyambut perkuliahan semester baru yang akan dimulai pada 15 September 2025. Hadir seluruh dosen Prodi Manajemen, dengan berbagai materi yang disampaikan oleh narasumber sebagai bekal dalam meningkatkan kualitas proses belajar mengajar.

Agenda diawali dengan sambutan PIC kegiatan, Hamida Nur Rahmawati, S.Pd., M.Pd., dilanjutkan sambutan Kepala Program Studi Manajemen, Dr. Febrianty, S.E., M.Si. Suasana semakin produktif ketika tiga narasumber menyampaikan materi pembekalan.

Narasumber pertama, Ayu Nursari, S.E., M.E., mengangkat tema Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKTP). Materi ini menekankan pentingnya pembinaan dan pengawasan terhadap aktivitas kemahasiswaan dan pengajar agar kualitas program studi terus meningkat.

Selanjutnya, Euis Mufahamah, S.E., M.Ak., membawakan materi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Ia menekankan pentingnya menciptakan lingkungan kampus yang aman, bermartabat, serta berlandaskan integritas dan akhlak mulia.


Materi terakhir disampaikan oleh Dr. Febrianty, S.E., M.Si., yang membahas Quantum Learning. Metode pembelajaran ini dinilai mampu menciptakan suasana kuliah yang lebih efektif, interaktif, dan menyenangkan sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar mahasiswa sekaligus kualitas mengajar para dosen.

Kegiatan pembukaan awal semester ini diharapkan mampu memberi semangat baru dan menumbuhkan motivasi bagi para dosen Prodi Manajemen. Dengan bekal pembekalan tersebut, diharapkan proses pembelajaran berjalan lebih optimal dan dapat menciptakan suasana positif bagi mahasiswa untuk meraih keberhasilan akademik maupun pengembangan diri di luar kelas. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Program Studi Manajemen Universitas Malahayati Gelar Rapat Bedah RPS Semester Ganjil 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati menggelar rapat rutin bedah Rencana Pembelajaran Semester (RPS) untuk Semester Ganjil Tahun Akademik 2025/2026. Kegiatan ini berlangsung di Ruang Pasca Sarjana Kesehatan Masyarakat, dan dihadiri oleh seluruh dosen pengampu mata kuliah. Selasa (9/9/2025).

Rapat ini bertujuan untuk menyelaraskan dokumen RPS dengan pendekatan pembelajaran berbasis capaian pembelajaran lulusan (Outcome-Based Education/OBE) dan memastikan kesesuaian dengan standar nasional pendidikan tinggi serta kebutuhan dunia kerja.

Ketua Program Studi Manajemen, Dr. Febrianty,S.E., M.Si menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan output lulusan.

“Rapat bedah RPS ini menjadi forum penting untuk memastikan setiap mata kuliah memiliki kejelasan tujuan pembelajaran, kesesuaian capaian, serta metode asesmen yang tepat. Kita juga memetakan dengan jelas mana mata kuliah yang telah sepenuhnya menerapkan pendekatan OBE dan mana yang masih dalam tahap penyesuaian (non-OBE),” ujar Dr. Febrianty,S.E., M.Si selaku Ketua Program Studi Manajemen.

Selama rapat, para dosen melakukan pembahasan mendalam terhadap komponen-komponen RPS, mulai dari deskripsi mata kuliah, capaian pembelajaran (CPL dan CPMK), indikator pencapaian, strategi pembelajaran, hingga penilaian. Beberapa masukan strategis juga diberikan untuk memperkuat integrasi soft skills dan digital literacy dalam materi perkuliahan.

Hasil dari rapat ini akan menjadi dasar dalam pelaksanaan perkuliahan semester ganjil mendatang, serta sebagai bagian dari persiapan akreditasi dan audit mutu internal. Program Studi Manajemen Universitas Malahayati berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas akademik dan relevansi kurikulum melalui kegiatan evaluasi dan pembaruan RPS secara berkala. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Ketika “Kehadiran” Hilang

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Siang menjelang sore, saya kedatangan tamu. Ia enaga pengajar. Kami pun bercengkerama ngalor-ngidul, membicarakan yang remeh temeh sebagai pelepas lelah. Namun dasar dunia ilmuwan, akhirnya ia menyinggung karakteristik hubungan dosen dengan mahasiswanya.

Semula hubungan itu hangat, ramah dan sangat terbuka; bahkan tidak jarang begitu friendly. Namun begitu mereka selesai, satu per satu hubungan itu meredup dan menuju kesunyian. Bahkan tidak ada lagi berita atau sapaan melalui media sosial.

Ironis lagi beberapa berita atau perkabaran yang beliau kirimkan tidak berbalas. Saat diingatkan bahwa tiada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan; beliau tersentak dan seolah tersadar. Akhirnya beliau berkesimpulan biarkan waktu yang menjawabnya; karena peristiwa serupa bukan hanya di ruang kuliah, tetapi disemua lini kehidupan akan seperti itu; semula bersama, kemudian dingin, dan terakhir berpisah dalam sunyi.

Setelah beliau meninggalkan ruangan pemikiran filsafat mulai bergentayangan di alam idea. Dan, mulailah pengembaraan itu berjalan dimulai dari satu pemikiran bahwa manusia adalah makhluk sosial; keberadaannya tak pernah utuh tanpa hadirnya orang lain, tanpa interaksi yang menautkan keberadaan satu insan dengan insan lainnya. Maka ketika relasi yang pernah ada dalam keramahan dan penghormatan mulai redup, entah karena waktu, jarak, pergeseran hati, atau dilema kesibukan dan prioritas, hal itu menimbulkan tantangan eksistensial tersendiri.

Kehilangan keakraban yang dulu menghangatkan ruang jiwa, kini menghadirkan ruang hampa, kesenyapan yang menggema dalam teater kenangan. Lalu, ketika sang teman dalam waktu seolah-olah “lama‑lama minggat tak terlihat”, kita bertanya: apa yang hilang sebenarnya, dan apa harapan di balik hilangnya itu?

Filsafat manusia, khususnya dalam tradisi eksistensialis, mengajarkan bahwa autentisitas relasi adalah jembatan peneguh identitas kita. Sartre menegaskan bahwa eksistensi manusia bukan sekadar hadir, akan tetapi juga hadir bagi yang lain. Tanpa orang lain, dunia kita menjadi monolog hampa. Dalam dunia yang sempat akrab dan penuh hormat, perjumpaan yang sederhana seperti sapaan “apa kabar?”, tawa berbagi cerita, serta pengertian tanpa kata adalah pilar bagi keberlangsungan hidup batin.

Hilangnya kehadiran orang lain, yang dulu selalu ada, seakan merenggut cermin yang selama itu membantu kita melihat refleksi diri. Dalam keheningan yang menyertai hilangnya sosok-sosok yang pernah ada, seolah kita dipertemukan kembali dengan diri sendiri, dengan rasa sendiri, tapi juga dengan ketiadaan.

Dalam filsafat Heidegger, hubungan manusia dengan manusia lain adalah “being‑with”: yaitu, kita adalah makhluk yang “selalu sudah bersama”. Jika kehadiran itu ditarik, ruang‑ruang yang pernah dihuni bersama menjadi kosong dan mengundang kecemasan ontologis: “Dasein” yang dulu nyaman kini merasa terkoyak. Namun, justru dalam kehampaan itu kita menemukan kedalaman masa lalu kita bersama; detik‑detik kecil yang dulu tampak biasa saja, kini memancar sebagai fragmen kehangatan yang sulit dilupakan. Jauh sebelum kehadiran fisik hilang, “muka” filosofis kita terhadap orang lain sudah pernah bertaut lewat citra, tawa, empati, dan saling memahami yang tak banyak kata.

Ketika sang kawan “lama-lama minggat tak terlihat”, ada proses pengendapan; bisa di tingkat psikologis, atau bisa juga di ranah etis. Secara psikologis, kita merasakan penolakan yang samar; kerinduan yang merambat diam-diam. Secara etis, kita bertanya-tanya tentang hubungan: apakah ada sesuatu yang kita abaikan, atau mereka-mereka sendiri yang meninggalkan? Dalam skema filsafat Emmanuel Levinas, etika relasi adalah tanggung jawab tanpa syarat kepada wajah lain.

Di sisi lain, filsafat Martin Buber menyikapi relasi manusia dalam ranah “Aku‑Kamu” versus “Aku‑Itu”. Saat relasi pernah bersifat “Aku‑Kamu”, ada saling pengakuan akan keberadaan yang penuh makna. Setiap sapaan adalah dialog penuh kehadiran. Ketika keakraban meredup dan seseorang “larut tak terlihat”, kita merasa mereka seperti berubah menjadi “Itu”; tak lagi subjek relasional penuh kehadiran, melainkan entitas yang tak terjangkau, bagai bayangan samar di lorong ingatan.

Akhirnya, “semula akrab dan hormat, setelah selesai permintaan lama-lama minggat tak terlihat…” bukan sekadar cerita tentang kehadiran dan ketiadaan, tapi panggilan etis: bagaimana kita memperlakukan ruang antara kehilangan dan kedatangan. Filsafat manusia mengajarkan bahwa relasi tumbuh bukan dari persamaan sempurna, tetapi dari ketidaksempurnaan yang disambut dengan kesabaran, rasa hormat, keaslian, dan kesiapan hati. Jika sapaan kembali dan diterima dengan hangat, itu bukan penegasan bahwa masa lalu selalu benar, melainkan peringatan bahwa masa sekarang punya potensi kebaikan baru.

Kita hidup di tengah sunyi dan gemuruh; antarrelasi bisa retak, meregang, bahkan lenyap. Tetapi bila kita memiliki keberanian untuk menyapa sekali lagi, bukan karena utang rasa atau pamrih, melainkan karena sepenuh hati tetap melihat wajah lain sebagai “kamu” yang pantas dihormati dan dijaga, maka sinar keakraban bisa kembali menyala, meski redup karena waktu. Oleh karena kita tidak bisa menghindar dari dua pasang kata “jumpa dan pisah”; karena dia adalah sunatullah yang harus dijalani manusia dalam “berjalan” di dunia ini; dan kedua kata itu sejatinya meneguhkan kefanaan dunia dan isinya.

Orang bijak mengatakan “kita datang sendirian, dan akan pulangpun kelak dalam kesendirian”. Jangan khawatir kawan, ada Tuhan yang selalu memberasamai; biarkan musim berganti, waktu bergulir; karena kita tetap bersama-Nya. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Sunyi di Tengah Jaringan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seorang mahasiswa pasca datang ke ruangan kerja, tampak raut mukanya sedang muram. Mahasiswa yang berlatarbelakang petugas kesehatan ini, merasa mendapatkan tekanan kehidupan yang begitu berat; satu sisi harus bekerja menafkahi keluarga, sisi lain harus bekerja secara professional sesuai prosedur dan aturan kepegawaian, di sisi yang berbeda harus menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswa, dan masih banyak lagi persoalan-persoalan kehidupan yang bagai benang kusut. Mahasiswa ini merasa hidup sendirian di tengah hirukpikuknya keterhubungan antarorang saat ini. Setelah sedikit reda karena diajak bersama minum kopi; maka yang bersangkutan memulai menguraikan kesulitannya dalam menyelesaikan tugas akhir. Setelah semua selesai dan berakhir; yang bersangkutan undur diri. Sepulangnya mahasiswa tadi, berjalanlah proses kontemplasi pikiran, memahami bagaimana keterasingan manusia sekarang ditengah ramainya keterhubungan. Tulisan ini mencoba menarasikannya dari kacamata Filsafat Manusia.

Di tengah dunia yang mengagung-agungkan konektivitas, manusia sebenarnya justru semakin sering merasa sendiri. Ini adalah paradoks zaman “now”: semakin banyak hubungan yang dijalin, semakin sedikit makna yang terasa. Dalam ruang digital yang nyaris tak mengenal batas, suara manusia terdengar keras, tapi jarang didengar. Dalam jaringan yang selalu aktif, kehadiran menjadi semu, dan perjumpaan menjadi ilusi. Hubungan yang seharusnya mengikat justru menciptakan jarak. Keterhubungan yang dijanjikan oleh teknologi tidak selalu menghadirkan kebersamaan yang sesungguhnya, melainkan memperlihatkan betapa kosongnya relasi yang kehilangan keintiman.

Fenomena ini bukanlah persoalan teknis. Ini adalah soal manusia, yaitu soal keberadaan, soal rasa, soal makna. Dalam kehidupan yang semakin cepat dan tak pernah berhenti bergerak, manusia dituntut untuk selalu aktif, responsif, dan produktif. Tapi di balik kecepatan itu, ada kesunyian yang tidak bisa dielakkan. Suatu jenis keheningan yang bukan berarti tanpa suara, tetapi tanpa pemaknaan. Keterputusan itu muncul bukan karena manusia tidak bisa saling menyapa, tetapi karena tidak lagi sempat saling mendengarkan. Dunia telah menjadi panggung, dan manusia sibuk menjadi aktor yang tampil, bukan jiwa yang hadir.

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang berelasi. Ia tidak bisa hidup sendirian. Ia membutuhkan wajah orang lain untuk mengenali wajahnya sendiri. Namun dalam realitas hari ini, wajah-wajah itu sering kali tidak dilihat dengan kehadiran penuh. Interaksi berlangsung dalam potongan-potongan pendek, emoji menggantikan ekspresi, dan notifikasi menggantikan perjumpaan. Semua ada, tapi tidak benar-benar hadir. Dan dalam keterhubungan yang tak pernah utuh itu, manusia kehilangan dirinya secara perlahan.

Dalam konteks ini, keterputusan menjadi bentuk baru dari penderitaan eksistensial. Bukan karena fisik yang terpisah, melainkan karena hati yang menjauh. Ketika pertemanan menjadi angka, ketika cinta dikurasi dalam profil, ketika pengakuan dihitung dari klik dan suka, maka makna kemanusiaan direduksi menjadi sekadar fungsi. Eksistensi manusia diukur dari keterlihatan, bukan dari kedalaman. Dan ketika tak terlihat, manusia merasa tidak ada. Dalam dunia yang seharusnya mempertemukan, manusia malah tenggelam dalam rasa terasing.

Keterasingan ini bukan mejadi hal yang asing bagi pengalaman manusia. Namun di era keterhubungan tanpa henti, keterasingan itu menjadi lebih tajam karena dibungkus oleh ilusi kehadiran. Seseorang bisa berbicara dengan ratusan orang dalam sehari, tetapi tetap merasa tak ada satu pun yang sungguh mengerti. Ia bisa mengunggah cerita hidupnya, tetapi tetap merasa tidak didengar. Dalam kondisi ini, rasa tidak berarti merayap masuk, menggerogoti batin secara perlahan namun pasti. Manusia yang merasa tidak terlihat bukan hanya merasa sendiri, tetapi mulai mempertanyakan esensi keberadaannya sendiri.

Di tengah kondisi ini, manusia berada di persimpangan. Ia bisa terus melaju mengikuti arus dunia yang cepat dan kosong, atau ia bisa berhenti sejenak, menarik napas dalam, dan bertanya: “Ke mana aku berjalan? Untuk apa semuanya ini?” Kesadaran adalah langkah pertama. Dan kesadaran itu sering kali lahir dari kegelisahan. Kegelisahan akan rasa hampa di tengah keramaian. Kegelisahan akan hubungan yang tidak menghidupkan. Kegelisahan yang, meski menyakitkan, justru menunjukkan bahwa jiwa masih hidup dan menolak untuk dikebiri oleh dunia yang sibuk tetapi hampa.

Pada saat ini, kita harus meredefinisi arti keterhubungan. Bukan lagi sebagai sekadar relasi teknis, tetapi sebagai perjumpaan batin. Kita perlu belajar hadir kembali, mendengarkan kembali, dan mengalami kembali. Perlu membangun ruang-ruang sunyi di mana percakapan yang tulus bisa terjadi. Perlu menciptakan waktu untuk benar-benar melihat satu sama lain, tanpa tergesa, tanpa perlu ditampilkan. Karena hanya dalam keheningan yang jujur, kita bisa kembali merasakan bahwa kita bukan data, bukan fungsi, bukan alat, tetapi pribadi yang membutuhkan pertemuan sejati.

Era keterhubungan seharusnya menjadi berkah. Tetapi jika tidak disadari, ia berubah menjadi jebakan. Maka dibutuhkan kesadaran kolektif untuk merawat kembali nilai-nilai kemanusiaan yang tidak bisa didigitalkan, seperti: empati, kasih sayang, kebersamaan, dan pengertian. Manusia bukanlah mesin yang diukur dari output-nya. Ia adalah makhluk yang merasakan, yang membutuhkan jeda, yang menangis dan tertawa, yang rapuh dan kuat sekaligus. Kehidupan tidak seharusnya dipersempit menjadi grafik pertumbuhan atau angka keterlibatan. Kehidupan adalah ruang di mana manusia bisa menjadi dirinya, dengan segala keberlimpahan dan kekurangannya.

Barangkali tugas kita hari ini bukan menambah koneksi, tetapi memperdalam perjumpaan. Bukan membangun jaringan, tetapi membangun pengertian. Bukan memperluas jangkauan, tetapi memperkuat kehadiran. Dan untuk itu, manusia harus kembali kepada dirinya, bukan untuk bersembunyi, tetapi untuk memulihkan. Keterputusan yang dialami manusia hari ini bukanlah akhir dari segalanya. Ia adalah tanda bahwa kita rindu sesuatu yang lebih dari sekadar notifikasi. Kita rindu sesuatu yang sungguh hidup, sungguh hangat, dan sungguh manusiawi. Pertanyaan terakhir yang memerlukan perenungan dalam adalah “masih layakkah kita disebut manusia ?”. jawabannya ada di dalam hati sanubari kita yang paling dalam. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

UPT Perpustakaan Universitas Malahayati Terlibat dalam Kepengurusan IPI Lampung, Perkuat Peran Pustakawan

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): UPT Perpustakaan Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya dalam pengembangan sumber daya manusia di bidang kepustakaan. Kali ini, melalui Kepala UPT Perpustakaan, Nowo Hadiyanto, S.Sos., Universitas Malahayati turut serta dalam kepengurusan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Pengurus Daerah Provinsi Lampung periode 2025–2028. Selasa (8/9/2025).

Pelantikan pengurus baru IPI Lampung digelar di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Lampung dan langsung dikukuhkan oleh Ketua IPI Pusat. Dalam kepengurusan tersebut, Nowo Hadiyanto dipercaya mengemban amanah sebagai pengurus di bidang usaha dana dan kewirausahaan.

Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) merupakan organisasi profesi yang berperan penting dalam meningkatkan kualitas pustakawan di seluruh Indonesia. Melalui wadah ini, para pustakawan dapat saling bertukar pengalaman, mengembangkan inovasi pengelolaan perpustakaan, hingga memperkuat jejaring antarperpustakaan baik di tingkat lokal maupun nasional.

Bagi Universitas Malahayati, keikutsertaan dalam kepengurusan IPI Lampung menjadi bentuk nyata dari pengembangan sumber daya manusia sekaligus pengabdian kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan misi universitas dalam mendorong pustakawan agar lebih profesional, adaptif, dan siap menjawab tantangan di era digital.

Kepala UPT Perpustakaan Universitas Malahayati, Nowo Hadiyanto, S.Sos menyampaikan bahwa keterlibatannya di IPI Lampung bukan hanya sebuah tanggung jawab, tetapi juga kesempatan untuk memberikan kontribusi yang lebih luas bagi profesi pustakawan. “Perpustakaan bukan sekadar tempat menyimpan buku, melainkan pusat ilmu pengetahuan dan inovasi. Melalui IPI, kami ingin memastikan pustakawan dapat berperan lebih aktif dalam meningkatkan kualitas layanan informasi di tengah masyarakat,” ujarnya.

Dengan dilantiknya pengurus baru IPI Lampung, diharapkan para pustakawan semakin mampu mengoptimalkan peran perpustakaan sebagai pusat pembelajaran sepanjang hayat, serta menjadi garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Anindya Novyan Bakrie Warnai Penutupan PKKMB Universitas Malahayati 2025, Ajak Mahasiswa Optimistis Menuju Indonesia Emas 2045