Bondan Akampuh Jiwo

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Akhir pekan itu cuaca agak mendung tetapi udara terasa gerah, angin seolah tidak bertiup; sehingga merasa tidak nyaman jika ada pada tempat terbuka. Terpaksa jika sudah seperti ini harus masuk rumah dan menghidupkan pendingin ruangan, yang tentu saja menambah pemborosan penggunaan enargi listrik. Disaat sedang duduk melepas kegerahan udara, media sosial berbunyi dan ternyata ada pesan masuk dari sahabat lama, entah mendapatkan nomor pribadi dari mana. Doktor yang bermukim di tengah jantung pulau Sumatera ini bertanya dengan terlebih dahulu dibuka dengan permohonan maaf karena selama ini tidak mencari tahu; pertanyaan utama beliau ingin mendapatkan pencerahan tentang Bondan Akampuh Jiwo yang pernah didiskusikan beberapa puluh tahun lalu saat sama-sama menjadi mahasiswa pasca di salah satu Universitas ternama di negeri ini. Sekedar pengingat Doktor ini meneliti tentang kepemimpinan, dan saat itu penulis menawarkan konsep Kepemimpinan Nusantara bukan tidak percaya dengan teori-teori Barat, akan tetapi kekhasan Nusantara sangat mewarnai tipe kepemimpinan para pemimpin di negeri ini. Jejak yang digunakan adalah wilayah yang telah memiliki budaya tulis diasumsikan memiliki tinggalan literasi tentang tipe pemimpin di wilayah itu. Jadi paling tidak ada empat wilayah yang ada di Nusantara, pertama daerah yang berbudaya Batak, kedua, daerah yang berbudaya Lampung. Ketiga, daerah yang berbudaya Jawa, dan yang keempat daerah yang berbudaya Bugis. Beliau tidak begitu tertarik, namun seiring perjalanan waktu dan saat sekarang sudah mencapai derajat Guru Besar, hatinya tergelitik untuk menukil istilah-istilah dalam kepemimpinan Nusantara, karena banyak “keanehan-keanehan” jika parameternya yang dipakai teori teori Barat.

Tentu saja kalimat ucap yang dipindahtuliskan menjadi kalimat tulis harus disusun sesuai kaidah kebahasaan, demikian pesan seorang sahabat redaktur media online terkemuka di negeri ini. Berdasarkan penelusuran digital: Bondan Akampuh Jiwo adalah salah satu istilah dalam khasanah budaya Jawa yang melibatkan konsep kejiwaan, moralitas, dan integritas diri seseorang. Secara harfiah, istilah ini mengandung makna bahwa seseorang bernama “Bondan” adalah individu yang telah mencapai keadaan jiwa yang “akampuh,” yakni tidak tergoyahkan, stabil, dan kokoh dalam menghadapi berbagai dinamika kehidupan. Secara historis dan filosofis, istilah ini sering dihubungkan dengan ajaran Jawa kuno yang menekankan harmoni, keutuhan batin, dan kemampuan mengelola emosi serta tindakan.

Dalam budaya Jawa, nama Bondan sering diidentikkan dengan tokoh-tokoh legendaris atau pewayangan yang memiliki sifat bijaksana, penuh tanggung jawab, dan menjadi pengayom. Salah satu tokoh yang terkenal adalah Bondan Kejawan, seorang penggiat seni yang berupaya keras untuk melestarikan budaya jawa, yang hidup dengan prinsip kesederhanaan, ketulusan, dan pengabdian terhadap kehidupan.

Sedangkan jika kita ingin memahami dari segi makna istilah dari Akampuh Jiwo adalah: Akampuh berarti tidak dapat dipatahkan atau tidak tergoyahkan. Jiwo berarti jiwa atau kepribadian inti seseorang. Istilah ini mencerminkan prinsip bahwa manusia yang unggul adalah manusia yang berhasil menyelaraskan pikiran, rasa, dan tindakannya sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh godaan duniawi atau tekanan eksternal. Seseorang yang hidup sesuai konsep Bondan Akampuh Jiwo adalah individu yang: Tidak mudah dipengaruhi oleh emosi negatif seperti amarah, iri hati, atau kebencian. Memiliki sikap sabar dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Berkomitmen pada nilai-nilai moralitas yang tinggi, meskipun dalam keadaan sulit.

Konsep ini tidak hanya relevan dalam konteks tradisional, tetapi juga menjadi panduan untuk menghadapi tantangan hidup modern, di mana tekanan eksternal sering kali menguji kestabilan mental dan spiritual seseorang. Dari saat pemilihan sampai pelantikan kepala daerah harus berhadapan dengan persoalan, dari yang remehtemeh sampai dengan yang berat; semua harus dihadapi dengan katangguhan yang luar biasa, baik dalam mengkoordinasikan team, sampai dengan kesiapan personal menghadapi kelelahan fisik.

Bukan setelah dilantik kemudian seenaknya menghina orang lain karena melihat jenis pekerjaan, bukannya melihat hakekat orang bekerja. Mereka yang berperilaku seperti ini hanya mampu melihat kulit luar tetapi tidak dapat melihat makna hakekat. Lebih berbahaya lagi jika berjubah agama, namun berperilaku nista kepada sesama.

Di sisi lain pemimpin yang sudah sampai pada tataran Bondan Akampuh Jiwo tidak lagi melihat “dulu dia tidak memilih saya, atau dulu memusuhi saya”; akan tetapi “dia warga saya yang harus saya bawa bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama”. Tidak peduli dia Tukang Penjual Es, Somai, Kacang rebus, Tukang Sapu Jalan atau kongklomerat tajir, Jenderal sekalipun; jika dia warga negara saya, maka saya harus bersama mereka dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Dengan demikian sebenarnya ajaran budi, ajaran kepemimpinan ada berserak di bumi Nusantara ini. Hanya sayang banyak diantara kita lupa diri, sehingga menganggap yang baik itu yang dari luar. Sementara kearifan local yang sudah terbukti berabad-abad keampuhannya menjadi alat perekat dalam perbedaan, sering kita abaikan bahkan kita musuhi sebagai “berhala baru” yang wajib disingkirkan. Salam Waras (gil)

Editor: Gilang Agusman