Ketaqwaan Abu Nawas
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Abu Nawas di samping terkenal akan kepiawaian dan kepandaiannya, ternyata juga memiliki kehidupan agama yang baik, dan ini ditemukan dalam jejak digital yang mengisahkan bagaimana tingkat ketaqwaan beliau dalam kehidupan beragama. Dikisahkan pada suatu hari, Abu Nawas berjalan-jalan di taman kerajaan. Di taman itu, tumbuh berbagai bunga yang indah dan pohon-pohon buah yang berbuah lebat. Sang tukang kebun, yang bertugas merawat taman, sangat bangga dengan pekerjaannya.
Melihat taman yang begitu subur, Abu Nawas berpikir untuk menguji tingkat kesolehan sang tukang kebun. Abu Nawas bertanya, “Wahai tukang kebun yang rajin, siapa yang menumbuhkan semua pohon dan bunga indah ini?”. Dengan bangga, tukang kebun menjawab, “Tentu saja, semua ini hasil jerih payahku. Aku yang menyirami, merawat, dan memastikan semuanya tumbuh dengan baik.”
Abu Nawas tersenyum mendengar jawaban itu. Ia lalu berkata, “Jadi, kau yang menumbuhkan semua ini? Luar biasa sekali! Kalau begitu, aku ingin melihat bagaimana kau menumbuhkan satu tanaman saja tanpa bantuan apa pun.” Tukang kebun bingung dengan tantangan itu. Ia menjawab, “Tentu saja aku bisa menanam, tapi benihnya harus ada dulu.” “Ah, jadi kau butuh benih? Siapa yang menciptakan benih itu?” tanya Abu Nawas.
Tukang kebun mulai sadar bahwa dirinya terlalu sombong. Ia menunduk malu dan berkata, “Maafkan aku, Abu Nawas. Aku hanya alat, semua ini takkan terjadi tanpa kehendak Allah.” Abu Nawas tersenyum penuh pengertian dan berkata, “Tidak ada salahnya merasa bangga dengan pekerjaanmu, tapi jangan lupa bahwa kita hanya perantara. Segala sesuatu berasal dari Allah.” Sejak saat itu, tukang kebun lebih rendah hati dan selalu mengingat Allah dalam setiap pekerjaannya.
Kemudian Abu Nawas meninggalkan Tukang Kebun yang sedang meratapi diri, dan Abu Nawas berjalan menysuri sungai. Tampak dari kejauhan ada orang yang sedang memancing ikan. Abu Nawas tergerak hatinya untuk menjumpai sipemancing tadi. Abu Nawas mendekat dan bertanya, “Apa yang kau lakukan, kawan?”
Tukang memancing menjawab dengan nada kesal, “Apa kau tidak melihat? Aku sedang memancing ikan! Tapi sudah sejak pagi aku di sini, belum ada satu pun ikan yang berhasil kutangkap.” Abu Nawas tersenyum mendengar keluhan itu. Ia berkata, “Wahai sahabat, kau tampaknya butuh bantuan. Bagaimana jika aku membantumu agar kau mendapatkan banyak ikan?”. Tukang memancing penasaran dan bertanya, “Apa yang akan kau lakukan? Kau tahu cara memancing yang lebih baik?”.
“Tidak, aku tidak tahu cara memancing,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum, “Tapi aku tahu cara mendapatkan ikan dengan cara yang lebih cepat.” Tukang memancing tertarik. “Apa caranya? Katakan padaku!”
Abu Nawas dengan tenang berkata, “Berdoalah kepada Allah. Mintalah langsung kepada-Nya, karena Dia yang menciptakan semua ikan di sungai ini. Jika kau sungguh-sungguh meminta, Dia pasti memberikan rezeki untukmu.”
Tukang memancing tertawa sinis, “Wah, kau lucu sekali, Abu Nawas. Kalau hanya berdoa saja, tanpa usaha, mana mungkin ikan datang dengan sendirinya.”. Abu Nawas tersenyum bijak. Ia pun berkata, “Baiklah, kalau begitu kita buat kesepakatan. Jika kau terus memancing tanpa hasil sampai matahari terbenam, kau harus mengakui bahwa usaha saja tidak cukup tanpa doa.”
Tukang memancing setuju. Mereka menunggu bersama hingga matahari hampir tenggelam, tetapi tidak ada satu ikan pun yang berhasil tertangkap. Akhirnya, tukang memancing menyerah. Ia menunduk malu dan berkata, “Abu Nawas, aku mengaku kalah. Memang benar, usaha saja tidak cukup tanpa doa.”. Abu Nawas tersenyum dan berkata, “Ingatlah, sahabatku, doa adalah usaha yang tidak terlihat, tetapi kekuatannya bisa melampaui apa pun. Mulai sekarang, mintalah kepada Allah dengan hati yang tulus, lalu lakukan usahamu dengan ikhlas. Kau akan melihat betapa besar rezeki yang diberikan oleh-Nya.”, Sejak saat itu, tukang memancing selalu berdoa sebelum memulai pekerjaannya.
Kisah ini mengajarkan kita pentingnya menggabungkan doa dan usaha dalam mencari rezeki. Doa adalah bentuk ketergantungan kepada Allah, sementara usaha adalah ikhtiar nyata yang harus dilakukan. Berbeda lagi saat Abu Nawas bertemu dengan orang yang bertaqwa memang tulus dari hatinya. Itupun Abu Nawas ingin mengujinya; berikut kisahnya: Suatu hari, Abu Nawas berjalan-jalan di sebuah desa dan bertemu dengan seorang lelaki yang dikenal sangat bertaqwa dan saleh menurut informasi dari orang desa tersebut. Orang ini selalu berdoa, berdzikir, dan rajin beribadah. Warga desa menganggapnya sebagai sosok yang sangat mulia dan selalu mengajarkan kebaikan.
Abu Nawas yang terkenal dengan kecerdikannya ingin menguji seberapa besar kesalehan orang tersebut. Ia pun mendekati orang yang bertaqwa itu dan berkata dengan nada serius, “Saudaraku, aku mendengar bahwa engkau sangat dekat dengan Tuhan dan selalu beribadah dengan tekun. Aku ingin bertanya sesuatu yang sangat penting. Apakah engkau percaya bahwa Tuhan mampu melakukan segala sesuatu?”. Orang bertaqwa itu menjawab, “Tentu, aku percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Abu Nawas kemudian bertanya lagi, “Jika Tuhan Maha Kuasa, apakah Dia bisa menciptakan sebuah batu yang begitu besar sehingga Dia sendiri tidak bisa mengangkatnya?”. Orang bertaqwa itu terdiam sejenak. Ia berpikir keras untuk mencari jawaban yang tepat, karena pertanyaan itu sangat membingungkan. Akhirnya, setelah beberapa saat, orang itu berkata,
“Abu Nawas, pertanyaanmu memang sulit, namun aku percaya bahwa Tuhan tidak akan menciptakan sesuatu yang bertentangan dengan kekuasaan-Nya sendiri. Dia Maha Bijaksana dan tidak akan melakukan sesuatu yang tidak mungkin.”
Mendengar jawaban itu, Abu Nawas tersenyum dan berkata, “Saudaraku, engkau benar-benar bijaksana. Aku hanya ingin menguji bagaimana engkau berpikir, dan jawabanmu menunjukkan betapa dalamnya pemahamanmu tentang agama. Terima kasih atas jawabanmu yang penuh hikmah.”
Orang bertaqwa itu sedikit tersenyum, merasa senang bisa memberikan jawaban yang baik. Namun, ia juga merasa sedikit bingung karena Abu Nawas selalu memiliki cara unik dalam mengajukan pertanyaan. Abu Nawas kemudian melanjutkan perjalanannya dengan senyuman lebar, puas dengan hasil ujiannya. Kisah ini menunjukkan bahwa meskipun Abu Nawas sering kali mempergunakan kecerdikannya untuk menggoda atau menguji orang lain, ia tetap menghormati kebijaksanaan dan ketakwaan mereka.
Kisah ini menggambarkan bagaimana peran kematangan berfikir dalam bertindak sesuai syariat; itu sangat diperlukan oleh siapapun kita. Manusia hanya diwajibkan usaha dan berdoa, tidak diminta untuk memastikan, dan tidak pula memiliki kewenangan mendikte atau memaksa Tuhan. Tuhan itu Maha Pemberi, Maha Mengetahui, dan Maha Melindungi, Maha SegalaNYA. Tuhan tidak bisa diatur-atur, karena DIA Maha Pengatur. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman