Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sore itu, sambil menunggu dijemput oleh istri, berada di lantai satu gedung megah ini; sempat berbincang ringan dengan salah seorang karyawan. Pria muda ini berbadan tegap, sekalipun tampak sangar, namun tetap ramah jika di sapa. Beliau menemani penulis dan sempat sedikit mengungkapkan isi hati yang intinya bahwa mengapa sekarang ini dimedia sosial banyak sekali orang mencari kesalahan orang lain. Bahkan ada diantara mereka yang melihat orang lain dari sisi jeleknya. Dan, kebenaran itu hanya milik orang orang tertentu, terutama yang sedang berkuasa. Karena terpanggil untuk meluruskan pemikiran tadi, maka terpaksa memberikan sedikit tauziah emperan agar yang bersangkutan memahami apa itu kebenaran secara ringan dan popular. Setelah sampai di rumah, mulai mencari jejak digital dan referensi konvensional apa itu kebenaran, dan termasuk karakteristiknya secara filosofis.
Dalam kehidupan manusia, pencarian akan kebenaran adalah salah satu perjalanan intelektual dan spiritual yang paling mendalam. Namun, seringkali dalam proses pencarian itu, kita menemukan paradoks: kebenaran yang diyakini bisa mengandung kesalahan, dan kesalahan yang ditolak bisa menyimpan setitik kebenaran. Ungkapan ini bukan hanya permainan kata, tetapi cerminan dari realitas epistemologis manusia dan sekaligus keterbatasan akal, kedangkalan pemahaman, dan kerumitan hakikat kebenaran itu sendiri.
Dari sudut pandang filsafat Islam, terutama dalam tradisi pemikiran para filsuf seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, hingga Mulla Sadra, konsep kebenaran dan kesalahan tidaklah bersifat hitam-putih. Mereka mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk pencari makna yang senantiasa bergerak dalam spektrum antara dzan (dugaan) dan yaqin (kepastian). Dalam perjalanan ini, kebenaran tidak selalu murni, dan kesalahan tidak selalu total. Tulisan ini mencoba mengurai makna di balik pernyataan tersebut melalui pendekatan filsafat Islam, dengan menelusuri akar epistemologis, ontologis, dan etis dari cara pandang Islam terhadap kebenaran dan kesalahan.
Dalam epistemologi Islam, kebenaran (al-haqq) adalah sesuatu yang sesuai dengan kenyataan dan bersumber dari Tuhan sebagai sumber segala kebenaran. Kesalahan (al-bāṭil), sebaliknya, adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan realitas atau menyimpang dari kebenaran yang hakiki. Namun, filsafat Islam tidak menilai keduanya sebagai dua kutub yang saling terputus. Ibnu Sina, misalnya, membedakan antara pengetahuan tingkat pertama dan tingkat kedua. Pengetahuan pertama adalah hasil dari pengalaman langsung atau intuisi, sedangkan pengetahuan kedua berasal dari proses rasionalisasi dan abstraksi. Di sinilah kesalahan bisa muncul, bahkan dalam upaya yang tulus untuk menemukan kebenaran. Dalam proses penalaran manusia, bias, kekeliruan logika, atau keterbatasan informasi bisa menyusup, menyebabkan adanya kesalahan dalam kebenaran.
Namun yang menarik, filsafat Islam juga memberi ruang bagi “kebenaran parsial” yang mungkin tersembunyi dalam kesalahan. Sebagai contoh, Al-Ghazali dalam bukunya Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filosof) mengkritik beberapa pandangan filsafat Yunani yang diadopsi oleh para filsuf Muslim, namun ia tetap mengakui ada kebenaran dalam argumen mereka yang bisa digunakan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Al-Ghazali tidak menolak seluruh isi filsafat Yunani, tetapi memilahnya dengan prinsip “menyaring yang benar dari yang salah”. Dalam konteks ini, pernyataan “Di tengah kebenaran masih ada kesalahan, di tengah kesalahan ada setitik kebenaran” adalah refleksi dari epistemologi Islam yang dinamis, tidak dogmatis, dan terbuka terhadap proses klarifikasi berkelanjutan.
Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fitrah; yakni kondisi bawaan yang cenderung kepada kebenaran dan keadilan. Namun, fitrah ini dapat ternoda oleh hawa nafsu, kepentingan duniawi, atau lingkungan sosial. Al-Farabi, dalam pemikirannya tentang masyarakat utama (al-madīnah al-fāḍilah), menyatakan bahwa manusia akan cenderung pada kesalahan bila hidup dalam struktur sosial yang rusak. Kebenaran yang ia miliki pun akan tercampur oleh berbagai bentuk penyimpangan. Namun demikian, fitrah tetap membawa kemampuan untuk mengenali setitik cahaya kebenaran, bahkan di tengah gelapnya kesalahan. Inilah sebabnya mengapa dalam Islam, setiap individu tidak dinilai berdasarkan hasil akhir pencariannya semata, tetapi juga niat dan usaha intelektualnya. Dalam filsafat Islam, ini menjadi dasar etika pencarian pengetahuan: bahkan jika seseorang tersesat dalam kesalahan, namun bila niat dan usahanya jujur, maka ada nilai dalam pencarian itu.
Dalam pandangan ontologis filsafat Islam, hanya Tuhan yang memiliki kebenaran mutlak. Segala sesuatu selain-Nya adalah terbatas dan relatif. Oleh karena itu, kesalahan adalah konsekuensi wajar dari keberadaan manusia sebagai makhluk terbatas. Mulla Sadra, filsuf besar dari tradisi hikmah muta’aliyah (filsafat transenden), memandang realitas sebagai sesuatu yang bergerak secara bertahap menuju kesempurnaan, dan konsep ini dikenal sebagai harakah jawhariyah (gerak substansial). Dalam pandangan ini, kesalahan bukanlah penghalang mutlak, tetapi fase yang dilalui dalam perjalanan eksistensial menuju kebenaran hakiki. Setiap kesalahan mengandung pelajaran dan kemungkinan untuk bertumbuh. Bahkan, tanpa mengalami kesalahan, kesadaran manusia atas kebenaran tidak akan matang. Dengan demikian, dalam konteks ontologis, kesalahan memiliki fungsi teleologis: bukan hanya sebagai kekurangan, tetapi sebagai bagian dari “proses menjadi”. Oleh karena itu, menemukan setitik kebenaran dalam kesalahan adalah upaya membaca hikmah dari keberadaan.
Sementara itu para sufi seperti Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, dan Imam Al-Hallaj mengajarkan bahwa kebenaran Tuhan tersembunyi dalam segala sesuatu, termasuk dalam apa yang tampak sebagai kesalahan atau dosa. Konsep ini bisa kita temukan dalam puisi-puisi Rumi yang penuh paradoks: “Kadang-kadang, jalan menuju Tuhan melewati kesalahan yang paling dalam.”
Bagi kaum sufi, yang penting bukan hanya tindakan luar (zahir), tetapi juga gerak batin (batin). Seseorang yang terlihat benar di luar bisa saja keliru di dalam, dan seseorang yang tampak salah dari luar bisa jadi menyimpan niat suci yang mendekatkannya kepada Tuhan. Dalam terminologi sufi, ini disebut sebagai sirrun fi al-sirr atau rahasia di balik rahasia.
Ibnu Arabi mengembangkan konsep Wahdatul Wujud (kesatuan wujud) yang menyatakan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah manifestasi dari Tuhan. Maka, dalam setiap kesalahan manusia, masih ada cahaya ilahi yang tersembunyi. Cahaya ini, meski redup, bisa menjadi petunjuk bagi mereka yang mencari-Nya dengan ikhlas.
Pernyataan bahwa “di tengah kebenaran masih ada kesalahan” juga mengajarkan kepada kita pentingnya kerendahan hati intelektual. Tidak ada pemikiran, ideologi, atau individu yang sepenuhnya benar, sebagaimana tidak ada manusia yang sepenuhnya salah. Dalam kerangka ini, filsafat Islam mendorong lahirnya etika diskusi dan toleransi terhadap perbedaan pendapat. Imam Syafi’i, salah satu ulama besar dalam Islam, pernah mengatakan, “Pendapatku benar, namun bisa jadi salah. Pendapat orang lain salah, namun bisa jadi benar.” Sikap ini merupakan fondasi penting dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam: tidak mudah menjustifikasi orang lain sebagai sesat atau salah hanya karena berbeda pendapat.
Dalam konteks ini, filsafat Islam mengajarkan etika epistemologis; bahwa manusia tidak boleh arogan dalam pengetahuan, dan harus selalu membuka diri terhadap kemungkinan bahwa sebagian dari yang ia yakini bisa saja keliru, dan sebagian dari yang ia tolak bisa saja benar. Inilah akar dari prinsip tasamuh (toleransi) yang dibangun di atas kesadaran epistemologis dan spiritual.
Filsafat Islam tidak menempatkan kebenaran dan kesalahan dalam dikotomi kaku, melainkan dalam suatu spektrum dinamis yang berlandaskan pada usaha, niat, dan keterbukaan terhadap koreksi. Kebenaran bukanlah sesuatu yang statis, tetapi proses pencarian yang penuh ujian, godaan, dan potensi kekeliruan. Namun justru di situlah nilai kemanusiaan kita diuji dan dimuliakan. Kebenaran dan kesalahan adalah bentuk peneguhan mahluk bahwa dia adalah ciptaanNYA. Karena yang sempurna itu hanya milik Sang Maha Pencipta. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Lapar Ngamuk, Kenyang Ngantuk (Refleksi Pertarungan Etis dari Sudut Pandang Filsafat Manusia)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat berkendaraan di jalan bebas hambatan Sumatera menuju arah Sumatera Selatan, untuk beberapa saat terserang rasa kantuk luar biasa, terpaksa mencari areal istirahat guna menyegarkan kembali tubuh. Ternyata kantuk yang luarbiasa menyerang itu disebabkan oleh makan pagi yang melebihi kebiasaan. Dan, jadi ingat ungkapan lama kalau kenyang ngantuk. Pertanyaan tersisa apakah kengantukan ini memang disebabkan oleh kenyang, jika ya, pantas saja mereka mereka yang kekenyangan itu berkecenderungan kehilangan daya kritis. Akhirnya jadi tertarik ingin menulis tema ini menjadi judul seperti di atas.
Berdasarkan penelusuran perpustakaan digital ditemukan informasi bahwa ungkapan “lapar ngamuk, kenyang ngantuk” lazim terdengar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Ungkapan ini sederhana, namun menyimpan paradoks eksistensial yang dalam. Ia menyiratkan betapa rentannya manusia terhadap dorongan biologis: lapar memicu amarah, dan kenyang menimbulkan kantuk. Tetapi, apakah manusia hanyalah makhluk reaktif terhadap kondisi fisik.
Dalam terang filsafat manusia, ungkapan ini membuka ruang refleksi tentang pertarungan etis yang senantiasa berlangsung dalam diri manusia: antara dorongan naluriah dan tuntutan kesadaran moral. Tulisan ini mencoba memahami bagaimana lapar dan kenyang, sebagai dua kondisi dasar biologis manusia, dapat menjadi arena pertempuran nilai, akal, dan spiritualitas.
Lapar adalah sinyal alami tubuh yang menunjukkan kebutuhan akan energi. Namun dalam laku keseharian, lapar kerap menjadi pemicu emosional. Orang bisa mudah tersinggung, marah, bahkan berbuat kasar saat lapar. Dalam pemikiran Aristoteles, manusia memiliki tiga jenis jiwa: vegetatif, sensitif, dan rasional. Lapar muncul pada tataran vegetative, bagian yang kita warisi dari hewan. Tetapi yang membuat manusia unik adalah kapasitasnya mengendalikan nafsu vegetatif dengan nalar. Ini sekaligus menjadi pembeda dari mahluk lain.
Ketika seseorang “ngamuk saat lapar”, ia sedang menunjukkan dominasi insting atas rasio. Jean-Paul Sartre menyebut bahwa manusia adalah makhluk beba s, tetapi kebebasan itu tak serta-merta aktual. Hanya ketika kita sadar dan memilih, kita menjadi manusia seutuhnya. Maka, kemarahan yang lahir dari rasa lapar bisa dilihat sebagai kegagalan dalam mengaktualkan kebebasan eksistensial, dan itu adalah sebuah kekalahan dalam pertarungan etis antara kesadaran dan naluri.
Namun, tidak semua kemarahan akibat lapar bersifat personal. Dalam kondisi sosial tertentu, lapar bisa jadi adalah produk ketidakadilan struktural. Filsuf kontemporer seperti Slavoj Žižek menegaskan bahwa reaksi emosional atas kelaparan dapat menjadi ekspresi politik, bukan semata instink. Maka, konteks menjadi penting: apakah “ngamuk” adalah gejala pribadi, atau jeritan sosial yang lahir dari penderitaan yang bersifat sistemik.
Sebaliknya, kenyang memberi efek menenangkan. Perut penuh membawa rasa puas, lalu tubuh menyerah pada rasa kantuk. Namun kenyang yang berujung malas bisa menjadi jebakan eksistensial. Dalam pandangan Plato, terlalu larut dalam kesenangan jasmani menjauhkan manusia dari dunia ide yang murni dan sempurna. Kantuk pasca makan bukan hanya bentuk istirahat, tetapi simbol kejatuhan kesadaran jika tidak dikendalikan.
Nietzsche lebih tegas lagi. Ia mengecam mentalitas nyaman yang membawa manusia pada stagnasi. Bagi Nietzsche, manusia unggul adalah mereka yang sanggup menaklukkan rasa nyaman, menolak ketenangan yang membuat lemah. Maka, kantuk setelah kenyang bisa dibaca sebagai bentuk menyerah pada kenikmatan yang membius, mengaburkan tujuan hidup yang lebih tinggi.
Sementara itu dalam perspektif spiritualitas Islam, Al-Ghazali membagi jiwa menjadi beberapa tingkatan. Nafsu makan dan kantuk berada di level nafs ammarah; atau jiwa yang condong pada keburukan. Tapi manusia tidak berhenti di sana. Ia memiliki ‘aql (akal) dan qalb (hati), yang dapat menahan nafs dan mengarahkan manusia menuju nafs mutma’innah atau jiwa yang tenang dan suci. Maka, kenyang dan kantuk bukan masalah perut semata, tapi medan tempur bagi kemurnian jiwa.
Esensi dari ungkapan “lapar ngamuk, kenyang ngantuk” adalah ketegangan antara dua kutub dalam diri manusia, yaitu antara kesadaran dan naluri. Pertarungan ini adalah inti dari keberadaan manusia sebagai makhluk moral. Di satu sisi, tubuh menuntut; di sisi lain, akal mengarahkan. Martin Heidegger, melalui konsep Dasein, menyatakan bahwa manusia bukan sekadar ada, tetapi menyadari keberadaannya. Dalam setiap kondisi biologis lapar atau kenyang, ada peluang untuk menguak makna eksistensial. Jika kita memilih ngamuk, itu adalah pilihan eksistensial; jika kita memilih sabar, itu pun pilihan yang menentukan siapa kita. Di titik inilah etika dan eksistensi bertemu.
Sedangkan Immanuel Kant, dengan prinsip imperatif kategorisnya, menekankan bahwa manusia harus bertindak berdasarkan prinsip yang bisa dijadikan hukum universal. Mengamuk karena lapar tidak bisa dijadikan prinsip etis, karena jika semua orang melakukannya, kekacauan akan terjadi. Maka, kendali diri bukan hanya kebaikan personal, tapi juga tanggung jawab sosial.
Berbeda dengan Maurice Merleau-Ponty yang menggunakan pendekatan fenomenologis bahwa tubuh bukan sekadar objek, melainkan subjek yang mengalami dunia. Lapar dan kenyang adalah pengalaman eksistensial yang membentuk kesadaran kita. Dalam rasa lapar, kita menyadari keterbatasan kita; dalam kenyang, kita diingatkan akan kecenderungan untuk larut dalam kenikmatan. Tubuh, dalam hal ini, bukan lawan akal, tapi cermin tempat akal bercermin.
Kesimpulan yang dapat kita ambil bahwa Lapar dan kenyang adalah takdir biologis manusia. Tetapi bagaimana manusia merespons keduanya adalah ruang kebebasan dan moralitas. “ngamuk” dan “ngantuk” bukan keharusan, tapi pilihan. Di sanalah pertarungan etis itu berlangsung, yaitu di antara bisikan tubuh dan panggilan jiwa.
Ungkapan “lapar ngamuk, kenyang ngantuk” seharusnya tidak dimaknai sebagai nasib, melainkan sebagai tantangan. Mampukah kita mengubahnya menjadi: “Lapar sabar, bukan ngamuk”, “Kenyang bersyukur, bukan lalai.” Dengan demikian, manusia tidak tunduk pada nalurinya, tapi mentransformasikannya menjadi jalan kebajikan. Karena pada akhirnya, menjadi manusia bukan soal kenyang atau lapar, tetapi bagaimana kita menyikapi keduanya dengan kebijaksanaan. Orang bijak pernah berpesan “berhentilah makan sebelum kenyang” sebagai pengingat dini pada kita agar tidak berlebihan dalam segala hal. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Pakai Pisau Filsafat Membedah Kepemimpinan Apa Kata Ayah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Era Generasi Alfa saat ini, kepemimpinan sudah banyak diemban oleh generasi milenial. Rerata usia mereka saat ini ada pada 30 sampai dengan 40 tahun. Mereka diwarisi oleh budaya tertentu, yang salah satu diantaranya secara nasional maupun daerah adalah: Apa kata Ayah, Bapak, atau Papa.
Oleh sebab itu, tidak jarang kita melihat campur tangan keluarga pada sistem yang dibangun oleh generasi yang melibatkan peran orangtua. Tentu saja, hal itu laku sejarah yang tidak dapat dihindari. Yang dapat dilakukan, meminimalisir atau menyeimbangkan agar tetap bisa berjalan sebagaimana alurnya.
Berdasarkan kajian literatur, baik digital maupun konvensional ditemukan informasi bahwa setiap pemimpin, tanpa terkecuali, memikul beban yang tidak selalu tampak oleh mata. Beban yang tak sekadar tanggung jawab struktural atau tugas administratif, melainkan sesuatu yang lebih halus, mendalam, dan eksistensial, yaitu bayang-bayang.
Dalam filsafat manusia, bayang-bayang dapat dimaknai sebagai manifestasi dari harapan, ketakutan, nilai yang diwariskan, atau trauma psikologis yang belum selesai, termasuk bayang-bayang yang berasal dari keluarga.
Dalam filsafat eksistensial, terutama dalam pemikiran Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger, manusia tidak hanya hidup di dunia, tetapi juga membangun makna melalui kesadarannya.
“Bayang-bayang” dalam konteks ini adalah representasi dari apa yang belum selesai dalam kehidupan manusia: kegagalan yang ditakuti, harapan yang belum tercapai, dan tanggung jawab yang belum dipenuhi.
Sartre menyebut manusia sebagai proyek yang belum selesai. Dia hidup dalam ketegangan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan yang membayang. Bagi seorang pemimpin, bayang-bayang ini muncul dalam bentuk tekanan untuk sukses, rasa bersalah terhadap keputusan yang salah, atau ekspektasi untuk menjadi “penyelamat”.
Heidegger memperkenalkan konsep inauthenticity, yaitu kehidupan yang tidak otentik ketika manusia menjalani hidup hanya berdasarkan “mereka” (das Man), yakni ekspektasi masyarakat. Oleh sebab itu, pemimpin yang terlalu dikendalikan oleh bayang-bayang ekspektasi eksternal sering kehilangan suara batinnya sendiri.
Salah satu bentuk bayang-bayang paling kuat yang memengaruhi kepemimpinan adalah warisan dari sang ayah atau keluarga. Dalam banyak kasus, terutama di lingkungan politik atau bisnis keluarga, pemimpin generasi kedua hidup di bawah bayangan besar orangtuanya.
Carl Jung menyebut sosok ayah sebagai archetype dari otoritas dan tatanan. Ayah adalah simbol dari struktur, kekuasaan, dan batas. Seorang anak yang kemudian menjadi pemimpin seringkali tidak hanya mewarisi harta atau posisi, tetapi juga beban ekspektasi, untuk mempertahankan, memperbesar, atau menyempurnakan apa yang telah dibangun ayahnya.
Jean-Paul Sartre mengatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas, oleh karena itu ia harus memilih sendiri jalan hidupnya. Tetapi dalam realitas kepemimpinan keluarga, kebebasan itu sering terjerat oleh “perasaan harus melanjutkan” demi menghormati keluarga. Hal inilah yang menciptakan konflik eksistensial.
Solusinya bukan menolak warisan itu secara membabi buta, tetapi, seperti yang dijelaskan Paul Ricoeur, yaitu dengan menafsirkan ulang. Pemimpin perlu berdialog secara kritis terhadap bayangan tersebut: memelihara nilai-nilai luhur, tetapi juga berani melepas warisan yang sudah tak relevan dengan zaman.
Filsafat moral dari Immanuel Kant menyatakan bahwa manusia harus bertindak atas dasar prinsip yang bisa dijadikan hukum universal. Namun dalam praktik kepemimpinan, muncul dilema antara etika dan pragmatisme.
Bayang-bayang target ekonomi, tekanan politik, dan kepentingan kelompok bisa menggoda pemimpin untuk mengorbankan prinsip. Utilitarianisme modern, yang menekankan “kebaikan terbesar bagi jumlah terbesar”, kadang jadi pembenaran untuk mengabaikan hak individu demi kepentingan kolektif.
Dalam tekanan ini, pemimpin yang tidak sadar akan bayang-bayang moral bisa mengambil langkah yang pada akhirnya mengikis integritas dirinya. Filsafat manusia menekankan pentingnya refleksi moral dalam setiap pengambilan keputusan. Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu berdiri tegak bahkan ketika pilihan etis lebih berat daripada pilihan pragmatis.
Filsafat manusia juga menuntun kita pada refleksi: pemimpin yang baik bukan yang paling mirip dengan pendahulunya, melainkan yang paling otentik terhadap dirinya sendiri. Ia bisa menghormati ayahnya, tanpa harus menjadi salinannya.
Bayang-bayang yang membayangi seorang pemimpin bisa menjadi beban yang menindih, atau bisa menjadi cermin reflektif yang membimbing.
Dari sang ayah, sejarah, teknologi, hingga harapan public, itu semuanya adalah bagian dari eksistensi manusia yang tak bisa dihindari. Namun dengan kesadaran filsafatik, seorang pemimpin mampu berdiri tegak, menatap bayangan-bayang itu, menafsirkannya, dan melangkah ke depan dengan keberanian dan integritas.
Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan tentang menjadi “seperti orang lain”, melainkan menjadi manusia seutuhnya, yang sadar akan keterbatasan, tapi memilih bertindak secara bijak dan bertanggung jawab. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Bahasa yang Tak Berumah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Setiap sudut dimanapun kita berada saat ini, tidak asing lagi dengan bunyi media genggam yang entah apa isi narasinya. Ada kekhasan di sana yaitu baru sebentar sudah berpindah atas nama scroll, dan terus berpindah; sehingga apa pesan yang disampaikan, apa maksud dari ucapan sudah tidak lagi perlu didengar, jika itu tidak memenuhi selera telinga. Seolah dunia semakin gaduh oleh bunyi, paradoksnya adalah: kata-kata semakin banyak diucapkan, namun semakin sedikit yang benar-benar didengar. Dalam percakapan harian, dalam media sosial, dalam pidato politik, dalam diskusi publik; bahasa tampaknya hadir di mana-mana, namun jarang berdiam di tempat yang seharusnya: yaitu di hati manusia. Inilah ironi zaman kini, seolah bahasa sudah kehilangan rumah. Bahasa, yang seharusnya tidak hanya dipahami sebagai alat komunikasi, tetapi seharusnya sebagai rumah bagi keberadaan diri. Manakala bahasa tidak lagi menemukan rumahnya, maka manusia pun kehilangan arah pulang ke dirinya.
Martin Heidegger, filsuf Jerman yang mendalamkan pemikiran tentang keberadaan (Being), menulis kalimat yang terkenal: “Bahasa adalah rumah dari Being. Dalam rumah itulah manusia berdiam.” Pernyataan ini menyiratkan bahwa bahasa bukan sekadar alat untuk menyampaikan pesan, melainkan wadah tempat eksistensi manusia menemukan bentuknya. Ketika kita berbicara, kita tidak hanya menyampaikan maksud. Kita membentuk dunia, menamai pengalaman, membangun hubungan, dan memberi struktur bagi kenyataan. Dalam arti ini, bahasa adalah rumah spiritual manusia. Ia menjadi tempat tinggal bagi pikiran dan perasaan. Maka, jika bahasa kehilangan makna atau tidak menemukan tempatnya dalam dialog manusia, sesungguhnya manusia kehilangan rumah eksistensialnya.
Namun demikian, sepertihalnya rumah yang bisa rusak karena kelalaian penghuninya, bahasa pun bisa rapuh karena disalahgunakan. Kita mengucapkan kata-kata kosong, membangun basa-basi tanpa makna, atau menyalahgunakan bahasa untuk manipulasi. Bahasa berubah menjadi alat untuk menyembunyikan, bukan menyatakan. Dari sinilah kehancuran dimulai. Kita simak dalam masyarakat kontemporer, terjadi inflasi kata. Kata-kata berserakan di mana-mana: di iklan, di kampanye politik, di media sosial. Namun, justru karena terlalu banyak diucapkan, bahasa kehilangan bobotnya. Kita menjadi terbiasa dengan eufemisme, hiperbola, dan kalimat-kalimat bombastis yang tidak mewakili kenyataan. Seperti uang yang dicetak tanpa nilai, bahasa yang tak memiliki akar akan kehilangan nilainya. Sebagai contoh kata “cinta.” Dalam budaya pop, kata ini diulang ribuan kali dalam lagu, puisi instan, atau percakapan ringan. Namun apakah kita benar-benar memahami atau menghidupi makna cinta. Kata itu menjadi seperti lukisan indah yang ditempel di dinding rumah kosong. Indah, tapi hampa.
Bahasa tak menemukan rumah bukan karena ia tidak digunakan, melainkan karena tidak dipahami. Ia mengembara tanpa makna, menyentuh telinga tapi tidak masuk ke hati. Dalam dunia digital yang serba cepat, kita lebih suka response daripada reflection. Bahasa berubah menjadi instrumen reaksi, bukan relasi.
Krisis bahasa mencerminkan krisis eksistensial manusia modern. Kita hidup dalam dunia yang terfragmentasi: identitas yang cair, relasi yang rapuh, dan orientasi hidup yang kabur. Dalam kondisi seperti ini, bahasa kehilangan jangkar. Kita berbicara, tetapi tidak benar-benar hadir. Kita mendengar, tapi tidak mendengarkan. Bahkan Jean-Paul Sartre menulis dalam konteks bahasa, ini tampak sebagai kejenuhan terhadap wacana kosong yang tidak membentuk realitas. Bahasa menjadi semacam ilusi yang menutupi kekosongan batin.
Kita menyapa karena norma, bukan karena peduli. Kita mengucapkan “terima kasih” atau “maaf” karena diajarkan, bukan karena merasa. Bahasa menjadi ritual sosial tanpa jiwa. Dalam kondisi seperti ini, bahasa tidak menemukan rumah karena rumah itu sendiri telah ditinggalkan penghuninya. Ironisnya, kadang-kadang bahasa tak menemukan rumah bahkan di rumahnya sendiri, yaitu di antara mereka yang menggunakannya. Kita merasa asing dalam keluarga, dalam pertemanan, bahkan dalam diri kita sendiri. Pernahkah Anda mencoba mengungkapkan perasaan terdalam hanya untuk disambut dengan tawa canggung atau diam yang tidak nyaman.
Bahasa emosional, seperti kesedihan, rasa kecewa, rasa syukur mendalam, sering kali tidak memiliki ruang dalam percakapan sehari-hari. Masyarakat kita mengagungkan efisiensi dan fungsionalitas, bukan kedalaman dan kerentanan. Akibatnya, kata-kata yang menyentuh eksistensi kita justru dianggap “berlebihan” atau “tidak penting”. Kita menjadi asing satu sama lain karena tidak bisa menemukan kosakata bersama untuk memahami pengalaman masing-masing. Setiap orang bicara, tapi tidak ada yang merasa didengar. Bahasa ada, tapi tidak berdiam. Inilah definisi paling nyata dari “bahasa yang tak menemukan rumah.”
Salah satu bahasa yang paling sering kehilangan rumah adalah bahasa cinta. Cinta dalam arti luas: kasih antar manusia, empati, perhatian, kelembutan. Bahasa cinta bukan hanya romantika, tetapi cara menyampaikan kebaikan secara otentik. Kenyataan sekarang dalam dunia yang serba transaksional seperti saat ini, bahasa cinta tersingkir oleh bahasa untung-rugi. Kita bertanya, “Apa manfaatnya” alih-alih “Apa artinya bagimu” Kita terbiasa bicara soal pencapaian, tapi gagap ketika diminta mengekspresikan kasih. Bahasa cinta menjadi barang langka bagai sebuah artefak yang kadang terasa janggal bila diucapkan di ruang publik. Padahal, justru bahasa cinta inilah yang paling dibutuhkan. Ia adalah rumah yang mampu menampung luka, kegelisahan, dan harapan manusia. Ia adalah bahasa yang menyembuhkan, bukan hanya menjelaskan. Sayangnya, banyak diantara kita lupa cara menggunakannya.
Dalam krisis bahasa verbal, kadang tubuh mengambil alih. Kita menangis saat tak bisa berkata-kata. Kita memeluk saat tak tahu harus berkata apa. Bahasa tubuh menjadi alternatif ketika kata-kata gagal. Namun saat ini bahasa tubuh pun sering disalahpahami, ditahan, atau diabaikan. Dalam budaya yang semakin digital dan virtual, tubuh sering dipinggirkan. Kita bicara melalui teks, emoji, dan rekaman suara. Keintiman digantikan oleh representasi. Kita lupa bahwa kehadiran fisik pun adalah bahasa, dan itu pun kini jarang menemukan tempat untuk tinggal. Ketika kata, suara, dan tubuh semuanya tidak bisa menyampaikan makna dengan utuh, manusia mengalami keterasingan yang menyeluruh. Inilah saat ketika bahasa benar-benar kehilangan rumahnya.
Filsafat memberi kita tugas untuk berpikir ulang, untuk merekonstruksi makna. Membangun kembali rumah bagi bahasa artinya: membangun kembali kejujuran, kedalaman, dan empati dalam berbicara. Kita perlu membiasakan diri dengan diam yang reflektif, bukan hanya jeda sebelum membalas. Diam yang mendengar sebelum menjawab. Diam yang menerima sebelum menilai.
Kecerdasan buatan bisa meniru bahasa, menulis puisi, bahkan meniru suara manusia. Akan tetapi, bisakah mesin memahami makna cinta? Bisakah ia merasakan luka yang tak bisa diucapkan? Bahasa manusia bukan hanya kombinasi kata, tapi juga kombinasi jiwa dan pengalaman. Oleh karena itu tantangan masa depan bukan hanya mempertahankan kemampuan berbicara, tetapi mempertahankan kemampuan merasa melalui kata-kata. Kita harus menjadikan bahasa sebagai alat untuk membangun, bukan merusak. Untuk merangkul, bukan memisahkan.
Rumah bahasa itu itu bisa kita bangun; bukan dari batu atau kayu, melainkan dari kejujuran, ketulusan, dan keberanian untuk hadir sepenuhnya dalam dialog. Setiap kali kita memilih kata yang otentik, mendengarkan dengan sungguh, dan menyampaikan tanpa topeng, dan di situlah bahasa menemukan rumahnya. Salam Waras (gil)
Editor: Gilang Agusman
Program Studi Akuntansi Universitas Malahayati Kunjungi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai RI, Perkuat Wawasan Praktis Mahasiswa di Bidang Kepabeanan
Rombongan mahasiswa yang didampingi oleh enam dosen pengampu; Muhammad Lutfi, S.E., M.Si selaku Ketua Program Studi Akuntansi, Apip Alansori, S.E., M.Ak., CAPM, Hardini Ariningrum, S.E., M.Ak., CFRS, Eka Sariningsih, S.E., M.S.Ak, Kusnadi, S.E., M.Si, dan Iing Lukman, Ph.D—tiba di kantor DJBC pada pagi hari dengan menggunakan lima unit bus. Kegiatan dibuka secara resmi oleh Endang Puspawati, Kepala Seksi Penyuluhan Bea dan Cukai.
Dalam sambutannya, Endang menyampaikan pentingnya peran generasi muda, khususnya para calon akuntan, dalam memahami regulasi serta dinamika kerja Bea dan Cukai dalam menjaga stabilitas ekonomi dan keamanan negara. Ia juga menekankan bahwa pemahaman yang kuat terhadap fungsi institusi seperti DJBC sangat relevan dalam dunia kerja, khususnya di sektor publik dan pemerintahan.
Acara dilanjutkan dengan kuliah umum yang disampaikan oleh Hermoko Hadi Triwibowo selaku Pelaksana Pemeriksa DJBC. Dalam paparannya, Hermoko menjelaskan secara mendalam mengenai tugas pokok dan fungsi DJBC, termasuk proses pemeriksaan barang, strategi pengawasan lalu lintas barang di pelabuhan dan bandara, serta tantangan yang dihadapi dalam mengantisipasi penyelundupan dan perdagangan ilegal. Tak hanya itu, ia juga memaparkan bagaimana teknologi digital kini telah terintegrasi dalam sistem pelaporan dan pengawasan kepabeanan.
Mahasiswa terlihat sangat aktif dalam sesi diskusi, mengajukan berbagai pertanyaan kritis terkait proses audit internal di DJBC, standar akuntansi pemerintah, hingga sistem manajemen data yang digunakan dalam pelacakan barang. Interaksi ini mencerminkan semangat belajar yang tinggi serta kesiapan mahasiswa dalam memahami aplikasi nyata dari ilmu yang mereka pelajari di kampus.
Kegiatan ini memiliki sejumlah tujuan penting, di antaranya adalah meningkatkan pemahaman mahasiswa mengenai peran strategis DJBC dalam sistem ekonomi nasional, memberikan gambaran nyata penerapan ilmu akuntansi dalam konteks kepabeanan dan cukai, serta mempererat kerja sama kelembagaan antara Universitas Malahayati dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Tak kalah penting, melalui kunjungan ini, mahasiswa diharapkan mampu mengasah keterampilan analitis dan kritis mereka melalui interaksi langsung dengan praktisi yang berpengalaman. Hal ini menjadi bagian dari upaya Program Studi Akuntansi dalam mempersiapkan lulusan yang adaptif, kompeten, dan siap berkarya di berbagai sektor, termasuk sektor publik dan pemerintahan.
“Kami berharap pengalaman ini bisa memperkaya pemahaman mahasiswa tidak hanya secara teoritis, tetapi juga dalam praktik nyata di lapangan,” ujar Muhammad Lutfi.
Dengan semangat belajar dan kemitraan yang terus diperkuat, Universitas Malahayati terus menunjukkan komitmennya dalam mencetak lulusan berkualitas dan berdaya saing tinggi di kancah nasional. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Kewarasan yang Memudar (Ketika Manusia Lupa Bahwa Dirinya Manusia)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Media sosial saat ini merajai dunia informasi dengan begitu masif. Di sana tidak ada filter, tidak ada larangan, tetapi ada algoritma terprogram dan mengendalikan pengguna. Oleh sebab itu dunia sekarang tampak semakin ramai, walaupun sebenarnya hampa.
Kita hidup di zaman yang ramai suara, tetapi sunyi makna. Setiap hari layar kita dijejali informasi, opini, argumen, saling ancam, dan perdebatan, bahkan caci maki. Semakin banyak yang dibicarakan, semakin sedikit yang benar-benar didengarkan. Masyarakat seakan tahu segalanya, tetapi tidak merasa apa-apa.
Inilah yang disebut oleh para pemikir sebagai krisis kewarasan. Bukan karena manusia menjadi gila dalam arti klinis, tetapi karena manusia kehilangan arah, kehilangan kejernihan berpikir, dan yang lebih dalam adalah “kehilangan daya untuk menjadi manusia seutuhnya”. Sehingga dengan mudah untuk berucap, walaupun ucapannya tidak layak didengar oleh telinga manusia. Setelah dilaporkan sebagai pelanggaran, dengan mudah menucapkan kata minta maaf, dan mengubah mimik muka untuk minta belas kasihan.
Di tengah atmosfer sosial yang penuh polarisasi seperti saat ini, banyak dari kita merasa letih secara diam-diam. Letih melihat absurditas yang menjadi normal. Letih melihat pejabat bicara soal pembangunan, tapi lupa mendengar keluhan rakyatnya. Letih menyaksikan narasi-narasi besar yang dipaksakan untuk menutup luka-luka kecil yang sesungguhnya sangat nyata, dan dalam serta menyakitkan.
Yang lebih menyedihkan: banyak orang sadar akan kegilaan ini, tetapi memilih diam. Bukan karena tidak peduli, tetapi karena merasa tak berdaya. Padahal dalam filsafat manusia, sebagaimana diajarkan oleh tokoh-tokoh besar seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, hingga Descartes dan Sartre, manusia didefinisikan sebagai makhluk yang berpikir dan memilih. Manusia diberi kemampuan untuk bertanya, merenung, mempertimbangkan, dan yang paling penting adalah bertanggung jawab atas pilihannya.
Namun, apa jadinya jika kemampuan berpikir ini ditumpulkan oleh tekanan sosial, oleh manipulasi informasi/data, dan oleh kekuasaan yang antikritik. Tentu menjadikan manusia akan kehilangan otonominya sebagai subjek. Ia berubah menjadi objek yang sekadar mengikuti arus, menerima tanpa mencerna, percaya tanpa bertanya. Inilah yang disebut sebagai kewarasan yang mulai memudar.
Krisis kewarasan hari ini tidak datang secara tiba-tiba, dia muncul melalui tanda-tanda yang tampaknya sepele, tetapi sangat serius, seperti:
normalisasi ketidakadilan, ditandai dengan kita terbiasa melihat ketimpangan tanpa merasa terganggu.
Delegitimasi nalar, ditandai dengan suara yang rasional dianggap membosankan, sementara suara yang sensasional dirayakan.
Pemutusan hubungan antarrealitas, ditandai dengan kita lebih percaya meme daripada berita, lebih patuh pada opini influencer daripada ilmu pengetahuan.
Kemarahan kolektif yang tak terkendali, ditandai dengan kita mudah tersulut, tetapi sulit diajak berdiskusi jernih.
Oleh sebab itu, manusia tampak masih berpikir, tetapi tidak benar-benar merenung. Masih berbicara tetapi kehilangan makna. Masih bergerak tetapi kehilangan tujuan. Ketika masyarakat kehilangan kemampuan berpikir jernih, maka kebohongan mudah diterima sebagai kebenaran, dan kebenaran mudah dianggap sebagai gangguan.
Mungkin bangsa ini belum sepenuhnya hilang arah. Tetapi tampak jelas ada kelelahan kolektif. Kelelahan mendengar janji yang tidak ditepati. Kelelahan membaca berita yang menyakitkan. Kelelahan melihat ironi demi ironi.
Dalam filsafat eksistensialisme, kelelahan seperti ini bisa membawa manusia pada dua pilihan: menyerah dalam apatisme, atau bangkit dalam kesadaran baru. Pilihan ini sangat bergantung pada seberapa besar kemampuan kita untuk tetap menjadi manusia yang berpikir, merasa, dan peduli.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya, tidak ada resep yang instan untuk mengembalikan kewarasan masyarakat, tetapi ada beberapa hal kecil yang dapat kita mulai dari diri sendiri, diantaranya:
Latih kepekaan terhadap kebenaran. Jangan buru-buru percaya atau membagikan informasi. Biasakan bertanya, menimbang, dan memverifikasi.
Jaga lingkungan berpikir yang sehat. Cari ruang-ruang diskusi yang jujur dan terbuka. Jauhi lingkungan yang hanya memperkuat prasangka dan kebencian. Kembalikan makna dalam tindakan sehari-hari.
Berbuat baik, meski kecil, adalah bentuk resistensi terhadap absurditas dunia.
Berani berpikir sendiri. Jangan serahkan kesadaran kita pada algoritma media sosial atau narasi politik. Dukung suara-suara yang jernih. Dalam masyarakat yang bising, mereka yang masih mau bicara dengan tenang adalah aset langka.
Di masa seperti ini, menjaga kewarasan bukan sekadar soal psikologi pribadi. Ia adalah bentuk tindakan pertahanan diri yang senyap, tapi mendalam. Di tengah narasi besar yang menenggelamkan suara hati, menjadi manusia yang jujur pada pikirannya sendiri adalah keberanian luar biasa. Kita mungkin tidak bisa langsung mengubah dunia, tetapi kita bisa menolak untuk ikut tenggelam dalam kegilaannya. Sebab, “Dalam setiap zaman, suara yang paling penting bukan yang paling keras, tetapi yang paling jernih.” Mari kita pelihara kejernihan itu, sebelum semuanya benar-benar hilang. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Malahayati, Mario Hafizh Permata, Raih Juara 1 Pencak Silat di POMPROV Lampung 2025
Kejuaraan bergengsi antar mahasiswa se-Provinsi Lampung ini menjadi panggung unjuk kemampuan terbaik bagi para atlet muda, termasuk Mario yang tampil memukau bersama timnya di kategori seni beregu. Dengan penuh semangat dan disiplin tinggi, mereka berhasil menyabet medali emas setelah melalui proses seleksi dan pertandingan yang ketat.
Dalam keterangannya, Mario mengungkapkan rasa syukur dan haru atas pencapaian tersebut.
“Sungguh penantian yang luar biasa. Bisa mengikuti kejuaraan bergengsi seperti ini adalah pengalaman yang tak ternilai. Syukur alhamdulillah kami bisa memenangkan kejuaraan ini dan lolos ke POMNAS 2025 di Solo, Jawa Tengah. Jangan pernah berhenti bermimpi, walaupun sesulit apa pun, tetap semangat,” ujar Mario penuh semangat.
Pencapaian Mario bukan hanya membanggakan diri pribadi dan tim, tetapi juga menjadi inspirasi bagi seluruh civitas akademika Universitas Malahayati. Prestasi ini semakin memperkuat eksistensi kampus sebagai institusi yang mendukung pengembangan mahasiswa secara holistik, baik di bidang akademik maupun non-akademik.
Keberhasilan Mario juga memastikan langkahnya ke tingkat nasional, mewakili Provinsi Lampung pada Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNAS) 2025 di Solo, Jawa Tengah. Ini merupakan kesempatan emas bagi Mario untuk kembali menunjukkan kemampuan terbaik dan membawa nama baik universitas di kancah nasional.
Selamat kepada Mario Hafizh Permata atas prestasi gemilangnya! Teruslah mengukir prestasi dan menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia! (gil)
Editor: Gilang Agusman
Ditengah Kebenaran Masih Ada Setitik Kesalahan, Ditengah Kesalahan Masih Ada Setitik Kebenaran
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sore itu, sambil menunggu dijemput oleh istri, berada di lantai satu gedung megah ini; sempat berbincang ringan dengan salah seorang karyawan. Pria muda ini berbadan tegap, sekalipun tampak sangar, namun tetap ramah jika di sapa. Beliau menemani penulis dan sempat sedikit mengungkapkan isi hati yang intinya bahwa mengapa sekarang ini dimedia sosial banyak sekali orang mencari kesalahan orang lain. Bahkan ada diantara mereka yang melihat orang lain dari sisi jeleknya. Dan, kebenaran itu hanya milik orang orang tertentu, terutama yang sedang berkuasa. Karena terpanggil untuk meluruskan pemikiran tadi, maka terpaksa memberikan sedikit tauziah emperan agar yang bersangkutan memahami apa itu kebenaran secara ringan dan popular. Setelah sampai di rumah, mulai mencari jejak digital dan referensi konvensional apa itu kebenaran, dan termasuk karakteristiknya secara filosofis.
Dalam kehidupan manusia, pencarian akan kebenaran adalah salah satu perjalanan intelektual dan spiritual yang paling mendalam. Namun, seringkali dalam proses pencarian itu, kita menemukan paradoks: kebenaran yang diyakini bisa mengandung kesalahan, dan kesalahan yang ditolak bisa menyimpan setitik kebenaran. Ungkapan ini bukan hanya permainan kata, tetapi cerminan dari realitas epistemologis manusia dan sekaligus keterbatasan akal, kedangkalan pemahaman, dan kerumitan hakikat kebenaran itu sendiri.
Dari sudut pandang filsafat Islam, terutama dalam tradisi pemikiran para filsuf seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, hingga Mulla Sadra, konsep kebenaran dan kesalahan tidaklah bersifat hitam-putih. Mereka mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk pencari makna yang senantiasa bergerak dalam spektrum antara dzan (dugaan) dan yaqin (kepastian). Dalam perjalanan ini, kebenaran tidak selalu murni, dan kesalahan tidak selalu total. Tulisan ini mencoba mengurai makna di balik pernyataan tersebut melalui pendekatan filsafat Islam, dengan menelusuri akar epistemologis, ontologis, dan etis dari cara pandang Islam terhadap kebenaran dan kesalahan.
Dalam epistemologi Islam, kebenaran (al-haqq) adalah sesuatu yang sesuai dengan kenyataan dan bersumber dari Tuhan sebagai sumber segala kebenaran. Kesalahan (al-bāṭil), sebaliknya, adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan realitas atau menyimpang dari kebenaran yang hakiki. Namun, filsafat Islam tidak menilai keduanya sebagai dua kutub yang saling terputus. Ibnu Sina, misalnya, membedakan antara pengetahuan tingkat pertama dan tingkat kedua. Pengetahuan pertama adalah hasil dari pengalaman langsung atau intuisi, sedangkan pengetahuan kedua berasal dari proses rasionalisasi dan abstraksi. Di sinilah kesalahan bisa muncul, bahkan dalam upaya yang tulus untuk menemukan kebenaran. Dalam proses penalaran manusia, bias, kekeliruan logika, atau keterbatasan informasi bisa menyusup, menyebabkan adanya kesalahan dalam kebenaran.
Namun yang menarik, filsafat Islam juga memberi ruang bagi “kebenaran parsial” yang mungkin tersembunyi dalam kesalahan. Sebagai contoh, Al-Ghazali dalam bukunya Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filosof) mengkritik beberapa pandangan filsafat Yunani yang diadopsi oleh para filsuf Muslim, namun ia tetap mengakui ada kebenaran dalam argumen mereka yang bisa digunakan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Al-Ghazali tidak menolak seluruh isi filsafat Yunani, tetapi memilahnya dengan prinsip “menyaring yang benar dari yang salah”. Dalam konteks ini, pernyataan “Di tengah kebenaran masih ada kesalahan, di tengah kesalahan ada setitik kebenaran” adalah refleksi dari epistemologi Islam yang dinamis, tidak dogmatis, dan terbuka terhadap proses klarifikasi berkelanjutan.
Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fitrah; yakni kondisi bawaan yang cenderung kepada kebenaran dan keadilan. Namun, fitrah ini dapat ternoda oleh hawa nafsu, kepentingan duniawi, atau lingkungan sosial. Al-Farabi, dalam pemikirannya tentang masyarakat utama (al-madīnah al-fāḍilah), menyatakan bahwa manusia akan cenderung pada kesalahan bila hidup dalam struktur sosial yang rusak. Kebenaran yang ia miliki pun akan tercampur oleh berbagai bentuk penyimpangan. Namun demikian, fitrah tetap membawa kemampuan untuk mengenali setitik cahaya kebenaran, bahkan di tengah gelapnya kesalahan. Inilah sebabnya mengapa dalam Islam, setiap individu tidak dinilai berdasarkan hasil akhir pencariannya semata, tetapi juga niat dan usaha intelektualnya. Dalam filsafat Islam, ini menjadi dasar etika pencarian pengetahuan: bahkan jika seseorang tersesat dalam kesalahan, namun bila niat dan usahanya jujur, maka ada nilai dalam pencarian itu.
Dalam pandangan ontologis filsafat Islam, hanya Tuhan yang memiliki kebenaran mutlak. Segala sesuatu selain-Nya adalah terbatas dan relatif. Oleh karena itu, kesalahan adalah konsekuensi wajar dari keberadaan manusia sebagai makhluk terbatas. Mulla Sadra, filsuf besar dari tradisi hikmah muta’aliyah (filsafat transenden), memandang realitas sebagai sesuatu yang bergerak secara bertahap menuju kesempurnaan, dan konsep ini dikenal sebagai harakah jawhariyah (gerak substansial). Dalam pandangan ini, kesalahan bukanlah penghalang mutlak, tetapi fase yang dilalui dalam perjalanan eksistensial menuju kebenaran hakiki. Setiap kesalahan mengandung pelajaran dan kemungkinan untuk bertumbuh. Bahkan, tanpa mengalami kesalahan, kesadaran manusia atas kebenaran tidak akan matang. Dengan demikian, dalam konteks ontologis, kesalahan memiliki fungsi teleologis: bukan hanya sebagai kekurangan, tetapi sebagai bagian dari “proses menjadi”. Oleh karena itu, menemukan setitik kebenaran dalam kesalahan adalah upaya membaca hikmah dari keberadaan.
Sementara itu para sufi seperti Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, dan Imam Al-Hallaj mengajarkan bahwa kebenaran Tuhan tersembunyi dalam segala sesuatu, termasuk dalam apa yang tampak sebagai kesalahan atau dosa. Konsep ini bisa kita temukan dalam puisi-puisi Rumi yang penuh paradoks: “Kadang-kadang, jalan menuju Tuhan melewati kesalahan yang paling dalam.”
Bagi kaum sufi, yang penting bukan hanya tindakan luar (zahir), tetapi juga gerak batin (batin). Seseorang yang terlihat benar di luar bisa saja keliru di dalam, dan seseorang yang tampak salah dari luar bisa jadi menyimpan niat suci yang mendekatkannya kepada Tuhan. Dalam terminologi sufi, ini disebut sebagai sirrun fi al-sirr atau rahasia di balik rahasia.
Ibnu Arabi mengembangkan konsep Wahdatul Wujud (kesatuan wujud) yang menyatakan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah manifestasi dari Tuhan. Maka, dalam setiap kesalahan manusia, masih ada cahaya ilahi yang tersembunyi. Cahaya ini, meski redup, bisa menjadi petunjuk bagi mereka yang mencari-Nya dengan ikhlas.
Pernyataan bahwa “di tengah kebenaran masih ada kesalahan” juga mengajarkan kepada kita pentingnya kerendahan hati intelektual. Tidak ada pemikiran, ideologi, atau individu yang sepenuhnya benar, sebagaimana tidak ada manusia yang sepenuhnya salah. Dalam kerangka ini, filsafat Islam mendorong lahirnya etika diskusi dan toleransi terhadap perbedaan pendapat. Imam Syafi’i, salah satu ulama besar dalam Islam, pernah mengatakan, “Pendapatku benar, namun bisa jadi salah. Pendapat orang lain salah, namun bisa jadi benar.” Sikap ini merupakan fondasi penting dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam: tidak mudah menjustifikasi orang lain sebagai sesat atau salah hanya karena berbeda pendapat.
Dalam konteks ini, filsafat Islam mengajarkan etika epistemologis; bahwa manusia tidak boleh arogan dalam pengetahuan, dan harus selalu membuka diri terhadap kemungkinan bahwa sebagian dari yang ia yakini bisa saja keliru, dan sebagian dari yang ia tolak bisa saja benar. Inilah akar dari prinsip tasamuh (toleransi) yang dibangun di atas kesadaran epistemologis dan spiritual.
Filsafat Islam tidak menempatkan kebenaran dan kesalahan dalam dikotomi kaku, melainkan dalam suatu spektrum dinamis yang berlandaskan pada usaha, niat, dan keterbukaan terhadap koreksi. Kebenaran bukanlah sesuatu yang statis, tetapi proses pencarian yang penuh ujian, godaan, dan potensi kekeliruan. Namun justru di situlah nilai kemanusiaan kita diuji dan dimuliakan. Kebenaran dan kesalahan adalah bentuk peneguhan mahluk bahwa dia adalah ciptaanNYA. Karena yang sempurna itu hanya milik Sang Maha Pencipta. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Hukum Universitas Malahayati Jalin Kerja Sama Strategis dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung
Rombongan Fakultas Hukum yang dipimpin langsung oleh Dekan, Aditia Arief Firmanto, SH., MH, didampingi jajaran dosen, disambut dengan penuh antusias oleh Direktur WALHI Lampung, Irfan Tri Musri, bersama timnya. Pertemuan ini tidak hanya menjadi ajang penandatanganan MoA, tetapi juga forum diskusi terbuka yang memperkuat sinergi antara dunia akademik dan praktik advokasi lingkungan.
Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, SH., MH., menyatakan bahwa kerja sama ini merupakan bentuk nyata implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, terutama pada aspek pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat.
“Kami menyambut baik kerja sama ini sebagai langkah strategis dalam mempersiapkan mahasiswa Fakultas Hukum menghadapi dunia praktik hukum secara nyata. Melalui kolaborasi ini, mahasiswa akan mendapatkan akses lebih luas terhadap kegiatan magang, advokasi lingkungan, dan penguatan kapasitas hukum yang relevan dengan isu-isu kontemporer,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa kerja sama ini diharapkan dapat menjadi pintu masuk bagi pengembangan riset hukum terapan, penyelenggaraan pelatihan hukum praktis, serta seminar-seminar tematik yang akan memperkaya wawasan mahasiswa dan dosen.
Sementara itu, Direktur WALHI Lampung, Irfan Tri Musri, mengungkapkan apresiasinya atas kepercayaan yang diberikan oleh Fakultas Hukum Universitas Malahayati.
“Kami sangat mengapresiasi kerja sama ini, karena kampus merupakan ruang strategis untuk melahirkan kader-kader hukum yang memiliki kesadaran lingkungan dan keberpihakan terhadap keadilan ekologis. Bersama Fakultas Hukum Universitas Malahayati, kami yakin dapat membangun ekosistem kerja sama yang bermanfaat tidak hanya bagi institusi, tetapi juga bagi masyarakat luas,” tegasnya.
Melalui kolaborasi ini, diharapkan muncul lebih banyak program nyata yang berdampak langsung, baik dalam bentuk penyuluhan hukum, pendampingan masyarakat terdampak isu lingkungan, maupun advokasi kebijakan berbasis riset ilmiah.
Penandatanganan MoA ini menandai babak baru sinergi antara institusi pendidikan tinggi dan lembaga advokasi lingkungan, dan mempertegas posisi Universitas Malahayati sebagai perguruan tinggi yang adaptif terhadap dinamika sosial dan hukum yang berkembang di tengah masyarakat. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Pengisian KRS Semester Ganjil Tahun Akademik 2025/2026 Universitas Malahayati
Pengisian KRS merupakan tahapan penting dalam proses perkuliahan. Oleh karena itu, diharapkan seluruh mahasiswa dapat mengisi KRS secara tepat waktu dan cermat agar tidak mengalami kendala dalam proses akademik di semester mendatang.
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Universitas Malahayati Borong Prestasi di POMPROV Lampung 2025 Cabang Panjat Tebing
Salah satu sorotan utama datang dari Dinda Cantika (22370030), mahasiswi Program Studi Psikologi yang berhasil meraih Juara 2 kategori Lead U-23 Putri dan Juara 2 kategori Speed Classic U-23 Putri. Dengan semangat dan dedikasi tinggi, Dinda membuktikan bahwa ketekunan tak pernah mengkhianati hasil. Dalam wawancaranya, Dinda mengungkapkan,
“Dari setiap jatuh saya belajar bangkit, dari tiap dinding yang tinggi saya belajar percaya diri. Juara bukan tujuan akhir, tapi bukti bahwa usaha itu nyata.”
Di kategori putra, Arizal Fikri (23110019) dari Program Studi Teknik Sipil juga menunjukkan performa gemilang. Ia berhasil menyabet Juara 2 kategori Lead U-23 Putra dan Juara 2 kategori Speed Classic U-23 Putra. Tak hanya mengandalkan kekuatan fisik, Arizal juga membawa filosofi kuat dalam perjuangannya.
“Jangan cepat puas dalam suatu hal. Teruslah berkarya sampai orang lain mengakui hasilnya. Dindingnya memang tinggi, tapi mimpiku lebih tinggi.”
Tak kalah membanggakan, Tasya Patriot Yogaswari (23220508), mahasiswi Program Studi Manajemen, turut mempersembahkan prestasi dengan meraih Juara 3 kategori Lead U-23 Putri. Ia menegaskan bahwa panjat tebing bukan hanya soal kekuatan tubuh, tapi juga ketangguhan mental dan strategi.
“Saya sangat bersyukur dan tentunya bangga dengan pencapaian ini. Lomba ini tidak hanya mengandalkan fisik, tapi juga soal mental, teknik, dan ketekunan.”
Sementara itu, di sisi putra, Febri Anata (24220049) dari Program Studi Manajemen berhasil membawa pulang Juara 3 kategori Lead U-23 Putra. Dalam pernyataannya, Febri menekankan pentingnya kemauan untuk terus mencoba.
“Prestasi ini bukan soal bakat, tapi kemauan untuk terus mencoba. Semua orang punya potensi, tinggal mau atau tetap diam di bawah.”
Capaian luar biasa ini menjadi bukti bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tak hanya unggul dalam bidang akademik, tetapi juga mampu bersinar dalam bidang olahraga. Keberhasilan mereka dalam ajang POMProv 2025 diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk terus berprestasi dan mengharumkan nama kampus di kancah regional maupun nasional.
Selamat kepada para juara! Teruslah menapaki dinding-dinding tertinggi dan gapailah puncak impianmu! (gil)
Editor: Gilang Agusman