Badai Pasti Berlalu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Badai Pasti Berlalu adalah sebuah film drama Indonesia yang dirilis pada tahun 1977. Film ini disutradarai oleh Teguh Karya yang diangkat dari novel berjudul sama karangan Marga T, terbitan Maret 1974. Novel ini sempat pula dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas dari tanggal 5 Juni 1972 hingga 2 September 1972. Film ini dibintangi oleh Christine Hakim, Roy Marten dan Slamet Rahardjo.

Sinopsis Film ini berkisah tentang Siska (Christine Hakim) yang patah hati karena tunangannya membatalkan perkawinan mereka dan menikah dengan gadis lain. Siska yang kehilangan semangat hidup memutuskan keluar dari pekerjaannya dan hidup menyendiri. Leo, sahabat Jhonny, kakak Siska, mendekatinya untuk memenangkan taruhan dengan teman-temannya untuk menaklukkan Siska. Leo yang ’Don Juan’ berhasil membangkitkan semangat hidup Siska yang sudah terlelap dalam apati dan beku bagaikan gunung es, tetapi ia sendiri benar-benar jatuh hati kepada gadis itu.

Kesalahpahaman terjadi diantara mereka, menyebabkan mereka tidak bisa bersatu. Lalu, muncul pula Helmi, seniman pegawai klub malam, seorang pemuda yang lincah, perayu, dan licik. Badai demi badai yang hitam pekat melanda hati Siska. Namun, memang badai akhirnya pasti berlalu.

Kita tinggalkan film layar lebar yang berjaya pada masanya; lalu apakah badai itu berlalu. Ternyata kota yang kita tinggali ini dua hari berturut-turut yang lalu dilandai hujan badai yang cukup dahsyat. Kota dikepung banjir dari segala penjuru, dengan tingkat intensitas hujan yang cukup tinggi. Warga yang terkena bencana kebingungan karena selama hidup mereka ada yang tidak pernah mengalami musibah demikian parah.
Warga mulai merasakan bagaimana kecerobohan tata kota yang dilakukan oleh pemerintah kota, mereka menuai hasilnya.

Daerah hutan kota disulap jadi hutan beton, saluran air tidak ada pemeliharaan yang terencana, belum lagi perilaku masyarakat sendiri yang tidak bertanggung jawab akan lingkungannya; maka sempurnalah bencana banjir kali ini untuk “mencuci” kota ini dengan lumpur.

Jika ini ditanyakan kepada pemerintah kota jawaban normatif yang selalu muncul dari mereka; tidak pernah ada solusi teknis. Aneh lagi, wakil rakyat sekarang tenggelam ditelan banjir karena mereka ada yang banjir air mata kalah dalam pemilu; tetapi ada juga yang banjir bahagia karena memperoleh suara; namun tidak ingat akan tangis air mata bagi mata pilihnya.

Bahkan ada teman seorang anggota partai senior, saking kesalnya beliau berkata “biarkan air mencari jalannya sendiri, kecuali kalau masuk rumah, baru kita kasih keluar dia”. Bahasa satir begini memang memerahkan telinga, tetapi bagi mereka yang memiliki hati nurani, kalimat ini adalah pukulan telak bagi mereka yang masih waras.

Musim hujan tidaklah bisa disamakan dengan musim durian, sebab musim durian peluangnya kecil untuk menjadi bencana. Sementara jika musim hujan maka banjir yang akan kita tuai manakala pembangunan fisik dilakukan secara ugal-ugalan, tanpa memperhatikan lingkungan.

Belum kering rasanya bibir membicarakan dibabatnya hutan kota yang tidak ada solusi komprehensif dari pemerintah kota. Datang pembuktian dari alam dengan hujan deras selama dua jam, maka sekitar wilayah itu terkena dampaknya. Belum lagi bicara penimbunan resapan air di Rajabasa yang akan dijadikan Mall; ternyata peringatan masa lalu itu dianggap angin lalu. Bukti alam menunjukkan kemurkaannya atas keserakahan manusia. Jalan Trans Sumatra pintu masuk ke kota ini dilibas air bah karena tidak ada lagi penampungnya. Belum lagi daerah Sukadanaham yang awalnya merupakan daerah resapan air, sekarang sudah berdiri banyak perumahan, dan tentunya menjadi hutan beton yang siap menggelontorkan air hujan ke wilayah kota.

Menghadapi bencana tidak bisa dengan metoda “datang, pandang, beri mie instan, pulang”. Tetapi lebih utama bagaimana pencegahan jika bencana itu berulang, atau malah sebelum terjadi. Tentu pekerjaan seperti ini juga tidak bisa menggunakan cara Bandung Bondowoso saat membuat Seribu Candi dalam semalam. Perlu perencanaan yang matang serta melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk partisipasi masyarakat.

Semoga bencana ini menjadi pembelajaran bagi kita semua termasuk para pemimpin, tidak waktunya lagi untuk mencari siapa yang salah; apalagi berdalih hanya untuk menghindar dari tanggung jawab. Meminjam istilah Prof.Bujang Rahman bahwa keberhasilan pembaharuan yang dilakukan oleh pemimpin itu bukan banyaknya orang yang dapat disingkirkan, akan tetapi seberapa banyak peningkatan pelayanan yang dimudahkan oleh sistem itu. (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply