Kapan Matinya

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada suatu sore duduklah sepasang lansia mengitari meja makan, mereka berdua selisih usia terpaut cukup jauh, suami lebih tua sepuluh tahun dari istrinya yang juga sudah tidak muda lagi, namun gurat-gurat kecantikan masa lalunya masih tampak nyata. Entah sedang membincangkan apa mereka berdua, yang jelas mereka sering salah memaknai masing-masing kehendak karena mereka berdua sudah sama-sama kurang pendengaran. Manakala mereka selisih paham sering hanya soal sepele, namun menjadi serius karena kepikunan masing-masing yang melanda mereka. Saat itu entah sedang kesal atau sedang tidak enak rasa, istri yang dicintainya bertahun-tahun itu berbisik ditelinga sang suami yang renta dengan satu potong kalimat …”Kapan sampean matinya”…

Sontak sang suami tersenyum, beliau tidak marah karena saking cintanya pada istri dan paham betul tabiatnya. Justru ucapan istrinya tadi mengingatkan beliau akan peristiwa perang Barathayuda dengan cerita Bisma Gugur yang sering dia dengar dan liat di media sosial kesukaannya; pada waktu itu Resi Bisma tergeletak di Padang Kurusetra dengan tusukan seribu panah di badan, yang berasal dari busurnya Dewi Srikandi, istri Arjuna yang memang ahli dalam memanah. Resi Bisma ditanya dengan pertanyaan yang serupa istri sang kakek tadi: oleh anak kembar Putra Prabu Pandu yang juga lima Pandawa. Bisma menjawab …”nanti menunggu sinar matahari masuk keperaduan”… Kakek renta yang mendapat pertanyaan dari nenek lincah tadi juga segera menjawab dengan tangkas karena terinspirasi Bisma, dengan jawaban …”tanyakan pada Sang Dalang”… Tentu saja sang istri jadi bingung mendengar jawaban tadi, karena dia ingat persis bahwa Sang Dalang Wayang Kulit tetangga desanya sudah lama meninggal dunia. Lalu kenapa suaminya meminta dirinya bertanya kepada orang yang sudah lama meninggal. Dengan bersungut-sungut si nenek menjauh dari si kakek sambil ngedumel entah apa yang diucapkan karena yang mendengar juga tuli. Sementara Sang Kakek tersenyum dikulum dalam keompongan giginya yang sudah mulai habis dimakan usia.

Sepenggal cerita kehidupan di atas meninggalkan sejuta tanya apa sebenarnya yang terjadi manakala manusia sudah berada pada batas maksimal kemampuan raganya menerima beban ruh yang ada di dalam badan wadag (jasmani)-nya. Ternyata hiasan diri seperti pakaian mewah, harta berlimpah, jabatan tinggi, dan asesoris duniawi lainnya; pada titik kulminasi tertentu sudah tidak berguna sama sekali, sekalipun masih berada di dunia ini, dan itu menunjukkan kefanaan. Bisa jadi panjangnya usia, justru menjadi beban bagi raganya sendiri, atau bisa jadi juga menjadi beban sosial bagi orang lain.

Tampaknya Tuhan berskenario yang semula manusia diberi usia sangat penjang, bahkan mencapai 900 tahun, dan akhirnya diberi 62 tahun saja; menunjukkan ada tugas sosial dimasing-masing periode yang diberi takaran untuk diselesaikan. Periodesasi bisa panjang, bobot tugas sosial-individual bisa ringan. Atau sebaliknya periodesasi bisa singkat, namun tugas sosial kemsyarakatan dan individual bisa berat. Dan, yang paling sengsara jika usia diberi panjang, juga berikut beban sosial dan individual yang tidak ringan. Jadi pilihan akan doa minta panjang usia seyogyanya juga disertai sehat yang bermanfaat baik bagi dirinya, utamanya untuk orang lain.

Jika kita mengingat ini semua, tentu akan menumbuhkan kesadaran pribadi bahwa apa yang dipesankan orang bijak terdahulu bahwa..”hidup ini sekedar bermain sebelum nanti akan pulang”… atau orang jawa bilang ….”urip mung sak dermo mampir ngombe” (sekedar mampir minum)… Oleh sebab itu kehidupan dunia yang seolah panjang sejatinya sangat singkat, karena kita tidak lebih hanya singgah sejenak untuk minum. Konsep hidup seperti ini dalam budaya jawa sudah dinukil oleh para pujangga masa lalu di dalam serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha, yang mengandung nilai-nilai filosofi sejalan dengan makna “urip sadermo mampir ngombe.” Karya-karya itu ditulis oleh pujangga dan raja-raja Jawa, seperti Ranggawarsita dan Mangkunegara IV, yang mengajarkan pentingnya kesadaran akan kefanaan hidup.

Apakah ajaran ini yang menginspirasi pedesaan orang jawa pada masa lalu yang sering meletakkan kendi (tempat air minum dari tanah liat) ada di depan rumah, sehingga siapa saja yang lewat dan merasa haus boleh meminumnya. Belum ada penelitian yang dapat ditelusuri, sampai budaya itu sekarang sudah punah. Namun hakekat ..”mampir ngombe”…tampaknya diejawantahkan dalam perilaku sehari-hari.
Akan tetapi ada juga pendapat mengatakan karena tidak mengetahui kapan kematiannya akan datang-lah barang kali maka manusia menjadi sangat rakus akan kehidupan dunia, dan lupa bahwa kita hanya sekedar singgah sebentar untuk minum. Bisa dibayangkan semua mengetahui bahwa tidak akan kita bawa harta yang berlimpah saat kita dikuburkan; namun begitu rakusnya sampai-sampai melakukan korupsi berukuran unlimited.

Bagi mereka yang sadar akan makna kehidupan yang hanya sekedar …“mampir ngombe”.., justru ketidaktahuan akan waktu kematian itu digunakan untuk mengumpulkan amal sholeh, paling tidak dengan selalu berbuat baik kapanpun dimanapun dengan siapapun. Walaupun saat ini berbuat baik sering disalah tafsirkan menjadi sesuatu yang berbeda dari makna hakikinya.
Salam Waras (gil/humasmalahayatinews)

Editor: Gilang Agusman

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply