Tambang

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menurut KBBI ada berbagai arti dari kata tambang. Salah satunya adalah sebagai kata benda yang berarti lombong (cebakan, parit, lubang di dalam tanah) tempat menggali (mengambil) hasil dari dalam bumi berupa bijih logam batu bara, dan sebagainya. Makna menjadi berubah jika diberi kata tali, yaitu: Tali Tambang, adalah tali yang terbuat dari serat. Banyak jenis serat yang berbeda, dari tanaman atau plastik, yang dipilin menjadi satu untuk membentuk benang. Sejumlah benang kemudian dibuat menjadi untaian, dan tali akhirnya terbuat dari sejumlah helai. Berbagai kegunaan tali tambang nilon untuk industri di antaranya: transportasi, otomotif, pertambangan, perkapalan, fabrikasi, minyak dan gas, perkebunan (logging), perikanan, konstruksi (crane), bongkar muat dan lainnya dengan berbagai ukuran tali tambang.

Tambang dan Tali Tambang ternyata memiliki makna ontologi yang berbeda, baik hakekat, peran, maupun fungsi. Namun pada saat ada pada wilayah axiology kedua kata itu saling berkelindan peran dan fungsinya, sebab Tambang akan selalu memerlukan Tali Tambang, dan atau Tali Tambang sangat diperlukan untuk daerah Tambang. Menjadi lebih lengkap lagi Tali Tambang selalu diperlukan untuk menambang, dan atau saat menambang kita memerlukan Tali Tambang.

Kedua kata itu sekarang sedang beradu mesra di dunia perpolitikan negeri ini, karena penguasa negeri sedang menawarkan kepada organisasi keagamaan untuk ikut menambang; tentu saja dengan sejumlah persyaratan yang saling mengikat sebagaimana hakekatnya tali tambang. Dengan makna lain; satu sama lain saling metalitambangkan dalam wujud perjanjian kerjasama, dan atau apapun namanya. Ternyata organisasi keagamaan yang selama ini berkiprah dalam pembinaan umatnya masing-masing dengan caranya, tentu saja mengalami “gegar budaya” karena harus mengurusi tali tambang didunia pertambangan, yang tentu saja tidak memiliki kaitan langsung dengan visi dan misi keorganisasian selama ini.

Terlepas dari mereka yang menolak atau yang menerima, pada bahasan ini tidak akan dikaji karena wilayahnya berbeda. Namun ada persoalan filosofis mendasar yang perlu diperhatikan secara seksama, karena arah panduan filosofis ini bisa menjadikan sudut pandang yang berbeda dalam menelaah persoalan. Prinsip-Prinsip Filsafat manusia yang Relevan dapat dijadikan pijakan diantaranya adalah: Pertama, Utilitarianisme: Mengukur manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak, termasuk dampak positif ekonomi yang dihasilkan oleh pertambangan. Kedua, Deontologi: Tindakan pertambangan harus mengikuti aturan moral tertentu, seperti tidak merusak lingkungan atau tidak mengorbankan kesejahteraan individu demi keuntungan ekonomi. Ketiga, Ekosentrisme: Menempatkan nilai intrinsik pada alam dan lingkungan, sehingga aktivitas pertambangan harus mempertimbangkan hak-hak alam dan tidak semata-mata berfokus pada keuntungan manusia.

Dengan mempertimbangkan berbagai aspek ini, dunia pertambangan dapat dianalisis melalui lensa filsafat manusia untuk menciptakan praktik yang lebih etis, berkelanjutan, dan bertanggung jawab secara sosial.

Oleh karena itu tidak salah jika ada pendapat yang mengatakan hubungan antara pertambangan dan organisasi keagamaan adalah kompleks dan melibatkan berbagai aspek sosial, etis, dan lingkungan. Secara keseluruhan, hubungan antara pertambangan dan organisasi keagamaan dapat bersifat kolaboratif maupun konfrontatif, tergantung pada konteks dan praktik yang dilakukan oleh perusahaan tambang. Namun, pada intinya, organisasi keagamaan sering kali berfungsi sebagai penyeimbang moral dan etis, mendorong operasi pertambangan yang lebih adil dan berkelanjutan. Pertanyaan lanjut mampukah organisasi keagamaan yang memiliki beda keahlian untuk mewujudkan hal tersebut. Tentu saja jawabannya tergantung kepada kepentingan mana yang akan di bela, sebab pembelaannya menjadi benar semua karena dikondisikan untuk berbeda sudut pandang dari awal.

Akhirnya organisasi keagamaan harus menentukan sikap, apakah tetap pada jalur memberdayakan umat untuk menjadi mandiri, atau memilih jalur biar tergantung asal beruntung. Di sini diperlukan pemimpin yang arif bijaksana dalam menentukan langkah dalam mengajak umat untuk keluar dari kubangan persoalan duniawi. Mereka sudah beribu kali mengatakan kepada anggotanya bahwa jangan sampai terjebak pada permainan dunia. Pada posisi ini para pemimpinnya dihadapkan dengan realita bahwa mereka masih ada di dunia, namun juga akan mempersiapkan diri dengan memperbanyak amal guna kehidupan akhir kelak. Jika salah dalam melangkah atau mengambil keputusan, maka tidak menutup kemungkinan mereka akan terjebak dalam taman sesat yang sangat mungkin untuk tidak ketemu jalan kembali.

Mari tali tambang yang ada kita tambatkan kepada ajaran agama yang kita yakini kembenarannya; tidak perlu meragukan akan rezki dan nasib; karena semua sudah ditetapkan sebelum kita dilahirkan. Hak upaya betul ada pada kita, namun upaya dimaksud bukanlah menciderai apalagi membelakangi ajaran agama yang kita yakini.

Editor: Gilang Agusman

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply