Wajah Berkriteria

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi menjelang siang disalah satu ruang kuliah lantai lima Gedung Rektorat dijadikan tempat ruang kerja sementara dalam rangka akreditasi salah satu program studi di universitas kebanggaan ini. Kebetulan hari itu salah seorang dosen ada yang ulang tahun, acara sederhana makan nasi bakar bersama digelar; tentu diiringi dengan riuh rendah suara laskar terkuat di dunia (untuk gelar pasukan emak-emak). Dan, ada acara wajib bagi mereka jika sudah berkumpul yaitu berswafoto. Moment inilah yang membuat makin serunya suara laskar ini dengan segala gaya ditampilkan, salah satu komentar yang ditulis pada alat gaget saat menatap wajah mereka adalah seperti judul di atas. Tentu diikuti derai tawa yang lepas seolah tanpa beban, padahal mereka sedang berjuang dan mengerjakan pekerjaan yang sangat berat secara institusi.

Kita tinggalkan keriuhan pasukan sakti tadi, dan melihat daftar nama dan setumpuk berkas orang orang muda yang konon akan masuk list sebagai pasukan inti pada satu lembaga di negeri ini, yang kebetulan penulis dimintai pertimbangan dengan membaca kurikulum vitae mereka. Tentu sebagai seorang ilmuwan yang tanpa beban dan kepentingan, membaca semua itu dengan kepala dingin; karena yakin pertimbangan akademik untuk saat ini akan kalah dengan pertimbangan kepentingan politik dan kekuasaan. Hanya karena menghormati teman yang meminta bantuan, pekerjaan sukarela tadi dilakukan dengan sebaik-baiknya; serta sudah diwanti-wanti oleh penulis, jika pekerjaan itu dihargai dengan rupiah maka mohon cari orang lain saja. Saat melihat daftar ada nama “Bayu ……… (lanjutannya tidak ditulis, demi menjaga kode etik).”; dan begitu dibaca asalmuasal kedua orang tua, ternyata Bapak dari Kota Baturaja, ibu dari Kota Sekayu; maka anaknya diberi nama “Bayu” singkatan dari Baturaja-Sekayu, dan saat menatap foto yang ada mirip dengan putra jawa kelahiran sumatera. Peristiwa ini mengingatkan nama daerah transmigrasi yang pernah kami survai bersama Prof. Muhajir Utomo saat kami masih sama sama menjadi mahasiswa pada tahun 1977 guna menyiapkan lahan pemukiman; daerah antara Baturaja-Martapura, sehingga daerah ini diberi nama “Daerah Transmigrasi Bartumarta”. Maka sempurnalah apa yang dikatakan oleh pasukan emak-emak di atas bahwa nama dan wajah memiliki kreteria tersendiri.

Pantas saja teman yang meminta tolong untuk membuat rekomendasi sedikit mengalami kesulitan dalam membaca wajah, nama, dan latarbelakang keluarga; manakala hanya menggunakan referensi tertentu saja. Hal ini juga mengingatkan peristiwa dua puluh tahun yang lalu saat menjadi anggota senat universitas negeri ternama didaerah ini; menghadiri acara wisuda, dan pimpinan perguruan tinggi yang duduk disamping bebisik…”mas…nama mu dan nama ku…dua puluh tahun yang akan datang tidak ada lagi diperedaran”…. Beliau sambil tertawa tetapi serius. Dan guyonan beberapa puluh tahun lalu itu, saat ini benar adanya.

Pada saat sekarang secara diam tetapi begerak, ada team yang sedang bekerja menyiapkan kabinet bersama orang-orangnya. Team ini terdiri dari para pendukung berat pemenangan saat pemilihan umum yang lalu. Mereka sedang menjaring dan menyaring orang yang diajukan oleh para simpatisan, terutama dari partai politik pendukung; dengan menyertakan kurikulum vitea serta foto wajah berikut riwayat hidup singkat tapi lengkap. Team inilah yang sekarang sedang memandang wajah dengan penuh kreteria; tentu kreteria sesuai selera dan harapan mereka.
Kita hanya bisa berharap semoga team ini bisa mencermati Singa berbulu Domba, karena yang seperti ini baik tampaknya, rakus sifatnya. Sebelum menjadi tampak alim setelah menjadi seperti serigala lapar, semua mau di korupsi dan menjadi sangat lalim. Hal seperti ini kita dapat belajar dari masa lalu berapa banyak menteri, dirjen, direktur, rektor, kepala daerah yang masuk penjara karena korupsi. Terlepas apakah korupsinya itu terencana atau sengaja. Semua semula tampak baik baik, bahkan alim bahkan santun, namun ternyata rakusnya bukan main, bisa dibayangkan korupsi berjamaah dengan angka 18 digit. Anehnya lagi begitu tertangkap dan menghadiri persidangan, mereka menggunakan baju koko berkopiah layaknya santri alim; padahal sebenarnya mereka zalim.

September mendatang kita akan menemukenali wajah berkreteria yang berubah menjadi wajah penuh makna. Semoga mereka dapat membawa negeri ini kepada yang lebih baik; soal perbedaan itu merupakan kewajaran, namun kebersamaan adalah sesuatu keharusan. Negeri ini dibangun tidak dengan waktu satu malam seperti Bandungbondowoso membangun candi Jonggrang; tetapi memerlukan waktu dan proses yang lama, penuh luka dan air mata; walau juga diselah ada tawa dan gembira. Salam Waras.

Editor: Gilang Agusman

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *