Cocokologi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu mendapat kiriman caption dari sahabat lama, mantan Kepala Musium terkemuka di daerah ini; isinya bagaimana penyebutan bilangan dalam bahasa jawa memiliki makna filosofis yang dalam. Karena menarik dan tertarik, atas ijin beliau caption tadi penulis kirimkan kepada seorang doktor matematika alumni dari satu universitas besar di negeri Paman Sam. Beliau memberi komentar memang itu masuk kategori rumpun ilmu cocokologi, dan orang jawa khususnya dan Indonesia umumnya paling ahli mencocok-cocokkan seperti itu, bahasa khasnya …..“Nggathuk ke sing ora gathuk”….. (terjemahan bebasnya mencocokan yang tidak cocok). Akhirnya kalimat terakhir sohib alumni Amerika itu menginspirasi tulisan ini dengan memberi judul di atas, mengingat sekarang sedang musimnya orang mencocok-cocokkan; sekalipun sesuatu tidak cocok, bila perlu dipaksa untuk cocok.
Sebelum lebih jauh membahas tentang cocokologi maka dilakukan penelusuran digital tentang ini, dan ditemukan pemahaman ringkas bahwa: cocokologi dikenal sebagai “pseudoscience” dalam bahasa Inggris, adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pendekatan atau teori yang tampaknya ilmiah tetapi sebenarnya tidak didasarkan pada metode ilmiah yang sah. Dalam konteks budaya populer di Indonesia, istilah ini sering digunakan secara humoris atau kritis untuk menggambarkan praktek atau teori yang menghubungkan fakta-fakta atau kejadian-kejadian yang tidak terkait secara ilmiah. Ciri-ciri Cocokologi: Pertama, Korelasi tanpa Kausalitas: Menghubungkan dua atau lebih kejadian yang kebetulan terjadi bersamaan, tetapi tidak memiliki hubungan sebab-akibat yang jelas. Kedua, Kurangnya Bukti Empiris: Tidak didukung oleh data atau bukti empiris yang dapat diverifikasi. Ketiga, Spekulasi Berlebihan: Berdasarkan spekulasi atau asumsi yang berlebihan tanpa dasar ilmiah yang kuat. Keempat, Tidak Dapat Diuji atau Diverifikasi: Teori atau hipotesis yang diajukan tidak dapat diuji atau diverifikasi melalui eksperimen atau pengamatan yang terkontrol. Kelima. Penggunaan Bahasa Ilmiah yang Salah: Sering menggunakan terminologi ilmiah atau teknis yang salah atau tidak pada tempatnya untuk memberikan kesan ilmiah. Oleh sebab itu seorang Jurnalis senior memberi label cocokologi dengan “Othak-athik gathuk”, terjemahan bebasnya membuat yang tidak cocok dipaksa cocok.
Ketidakcocokan yang dipaksa cocok itu sekarang sedang berkembang di mana-mana, terutama saat membicarakan kekuasaan atau kewenangan. Terutama saat berpasangan maju menjadi calon pimpinan, apakah itu daerah, partai atau apapun yang berkaitan dengan kekuasaan dan diharuskan memiliki pasangan atau wakil; maka ilmu cocokologi dimainkan. Korban ilmu cocokologi ini sudah banyak, mesra di awal bubar di jalan adalah ciri khasnya. Bisa dibayangkan sebelum maju mencalonkan diri tampak mesra bersama bagai lem prangko; namun begitu menang dan dilantik, maka mulai tampak tanda-tanda bubar jalan.
Berpasangan karena kepentingan sesaat, tampaknya menumbuhsuburkan ilmu cocokologi; akibatnya banyak pasangan kepala pemerintahan hanya berusia seumur jagung. Saling telikung di tengah jalan merupakan hal biasa, sehingga membingungkan para pendukungnya. Kejadian seperti ini selalu berulang setiap pemilihan, termasuk pemilihan kepala daerah baik tingkat satu maupun tingkat dua; bisa dibayangkan usulan menjadi kepala dinas yang semula disepakati wakil kepala daerah memiliki hak beberapa persen; ternyata saat penentuan akhir semua usulan wakil diabaikan. Akhirnya mereka menjadi “pecah kongsi” hanya karena tamak akan dunia; bahkan tidak jarang dalam perjalanannya kepala daerah menjadi pemimpin daerah pemain tunggal.
“kawin paksa” model sekarang dalam pemilihan kepala daerah memiliki dampak luas setelah pemenangan terjadi. Tidak segan-segan kepala daerah pemenang justru program pertamanya adalah bagaimana mendepak wakil untuk tidak banyak berperan dalam kepemerintahannya. Cara yang ditempuh bisa dengan halus, maksudnya mengeliminaasi secara perlahan tapi pasti. Atau dengan cara prontal terang-terangan dengan menunjukkan ketidaksukaan, kemudian disertai tindakan mengamputasi wakil secara terbuka dan terang-terangan. Wakil yang cerdas akan menggunakan langkah jurus “anak manis”; maksudnya diam seribu bahasa, yang penting tiap ada pembagian cuan harus dapat entah berapapun besarnya. Namun ada yang menggalang kekuatan secara diam-diam untuk pada waktunya mencalonkan diri melawan petahana, istilah ini sering disebut dengan “mbalelo”. Tetapi ada juga yang secara terang-terangan memukul genderang perang untuk melawan dengan caranya.
Dibanyak tempat dan jabatan dinegeri ini nyaris selalu ditemukan mencocokkan yang tidak cocok dengan berakhir pecah kongsi, tidak terkecuali di lembaga pendidikan tinggi sekalipun yang konon gudangnya para cerdikcendikiwan. Ini menunjukkan bahwa jabatan yang pada sisi lain merupakan gula, ternyata sisi lainnya adalah racun. Barang siapa yang tidak cermat maka akan berakhir kiamat.
Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!