Pejuang Kehidupan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Sebagai warga baru yang berdinas di lembaga ini menginjak tahun ke dua, selesai purnatugas di tempat lama yang diarungi selama 43 tahun, tentu saja banyak hal saya masih harus belajar dan memahami kondisi dan situasi mulai dari tidak tahu apa untuk menuju tahu tentang apa.

Ada kebiasaan usia senja yang menjadi semacam “pekerjaan rutin”, yaitu harus sering pergi ke kamar kecil. Karena jarak antara ruang kerja dengan kamar kecil cukup jauh, tentu saat menuju kamar kecil harus lari-lari kecil. Hal ini merupakan salah satu bentuk olah raga gratis yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh lansia.

Karena sering  melakukan rutinitas itulah penulis menulis jadi begitu hafal dengan sosok seorang perempuan yang tidak muda lagi yang bertugas membersihkan kamar kecil. Ia  sudah bertugas selama tiga belas tahun semenjak suami meninggal karena kecelakaan kerja. Ia harus menghidupi dua putra yang waktu itu masih kecil-kecil. Ia  merasa sangat beruntung sebagai orang tua tunggal dapat bekerja  di lembaga ini. Menurutnya,  teman-temannya juga yang rata-rata semua harus menghidupi anak yatim seperti dirinya. Ia dan teman-temannya sangat bersyukur ada orang baik yang peduli dengan mereka untuk mempekerjakan mereka. Pemilik yayasan berkali-kali disebut oleh ibu ini sebagai “juru selamat anak-anak yatim”.

Para petugas ini setiap pagi mereka dijemput dengan kendaraan yayasan. Pulang pun diantar menggunakan kendaraan yang sama. Dengan kata lain, mereka tidak harus mengeluarkan biaya transportasi. Sementara jika sakit tidak bisa masuk kerja uang gaji tidak dipotong. Menurutnya, ada satu pengalaman temannya sakit sampai delapan bulan. Namun pihak yayasan dengan sangat perhatian tidak memecat yang bersangkutan, bahkan gajinya tetap dibayarkan. Untuk hal ini, katanya,  merupakan anugerah yang tak terukur.

Dari hidup hemat, ia bisa  membesarkan kedua putranya. Yang sulung setamat SLTA sudah bekerja sebagai pegawai di salah satu perusahaan ekspedisi, sementara si bungsu sekarang sedang menyelesaikan kelas tiga SLTA-nya. Ia menceritakan bagaimana jika tidak bekerja di lembaga ini. Entah sudah menjadi apa keluarganya. Hal serupa juga bagi para teman-temannya, juru taman dan juru tatalaksana kebersihan. Semua sangat merasakan kemurahan pimpinan yayasan.

Dari peristiwa ini terjawablah sudah pertanyaan selama ini yang menggantung di pikiran penulis saat melihat upacara wisuda. Para wisudawan diwajibkan menyantuni anak yatim dengan menggandengnya bersama orang tua wisudawan saat upacara kebesaran itu berlangsung.

Penulis sudah melanglang buana di negeri ini menghadiri upacara wisuda, hanya Universitas Malahayati-lah yang mewajibkan penyantunan pada anak-anak yang kurang beruntung bagi wisudawannya dengan menyertakan dalam rangkaian acara.

Esensi dari semua ini adalah menyadarkan kepada para wisudawan bahwa ada orang lain yang tidak seberuntung dirinya, oleh karena itu patut bersyukur manakala mendapatkan kebahagiaan, untuk juga berbagi kepada sesama akan kebahagian itu agar mendapatkan keberkahan dari Sang Maha Pencipta. Atas peristiwa ini mengingatkan pada salah satu ayat yang sering diulang dalam Ar-Rahman “nikmat mana lagi yang kau dustakan”.

Berbekal informasi ini, maka dilakukan penelusuran lebih jauh kepada beberapa petugas yang datang sangat pagi. Satu kata kunci yang mereka berikan dari sejumlah wawancara yang dilakukan: mereka merasa sangat dibantu oleh pemilik yayasan ini yang sudah mengangkat derajat mereka baik lahir maupun batin. Hal menarik lainnya: diantara mereka yang secara struktur hirarkhi kepegawaian ada di level sangat bawah,  namun karena kerajinannya, kedisiplinannya, dan etos kerjanya sangat baik, yang bersangkutan sering dipekerjakan ke universitas milik yayasan di tempat lain selama kurun waktu tertentu. Ternyata di yayasan ini bukan hanya mengenalkan dosen terbang tetapi juga “office boy terbang”, karena bentuk penghargaan bukan memandang status tetapi kinerja.

Setelah didalami dan dilakukan dept interview ada satu nilai luhur yang dimiliki sang karyawan ini adalah istiqomah dan pasrah kepada Allah serta bersyukur bisa bekerja ditempat ini. Dengan kata lain, yang bersangkutan memandang bekerja di tempat ini adalah bernilai ibadah. Ini dibuktikan dari satu jawaban yang sangat dalam makna filosofinya saat wawancara dilakukan, dan ini sangat mendasar secara logika walaupun mungkin tampak sederhana, yaitu “lebih capek mencari kerja dibandingkan dengan capek-nya saat bekerja”.

Saat didesak dengan pertanyaan tentang kecukupan akan pendapatannya, juga “jawaban langit” keluar dari mulutnya:  “Biarkan Allah yang mencukupkannya”. Tentu jawab ini biasa-biasa saja untuk mereka yang ada pada level lain. Namun bagi mereka yang ada pada level tertentu, jawaban langit ini sangat mengguncang hati bagi orang-orang yang bertakwa. Ternyata pimpinan yayasan secara tidak langsung mengajak kepada semua elemen yang ada untuk bertasbih kepada Sang Khalik dengan selalu ingat pada Surah Al-Wakiah: “Maka, bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahaagung”. Tentu saja dalam situasi apa pun, di mana pun dan dalam keadaan apa pun.

Pesan untukmu semua pejuang kehidupan: Semoga bahumu kuat, hatimu tabah, jiwamu tegar, hari-harimu sabar, rezekimu berkah dan melimpah. Serta jangan lupa berdoa karena rezki itu datang dari mana saja, melalui siapa saja yang Allah kehendaki, dan tidak harus berupa harta.

Semoga yayasan yang sudah menjadi “talang air” bagi kehidupan semua para yatim ini, selalu mendapatkan kelipahan rahmat dan keberkahan dari-Nya. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply