Politik Belum Sudah

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Sore itu saat penulis berbaring  karena tidak sehat badan, mendapat kiriman berita dari teman karib jurnalis senior di daerah ini. Isinya ada pengukuhan penetapan bakal calon pimpinan daerah yang acaranya mulur sampai dua jam lebih. Ternyata penyebabnya saling–silang mengenai siapa yang akan memberikan rekomendasi dan siapa pemberi rekomendasi.

Beda lagi berita dari timur daerah ini: seorang pejabat kepala daerah yang sudah sukses membesarkan partainya sebagai pengusung, bahkan mencatat sejarah menjadi pemenang dengan kursi terbanyak di dewan; ternyata tidak kunjung dapat rekomendasi dari partai malah kabar terakhir beliau sebagai kepala partai justru dipecat.

Menyimak berita yang di sini lain lagi: ternyata incumbent yang berhasrat maju lagi untuk periode dua sudah ada pada posisi “maju lancar”, sebab semua partai mendukungnya. Walaupun ada suara-suara sedikit sumbang, namun tidak mempengaruhi semua itu. Pasangan yang selama ini sudah ada akan diteruskan karena “serasi”.

Ada lagi ketua sudah dari jauh hari menyatakan diri siap maju menjadi orang nomor satu di daerah ini, bahkan baliho sudah dipasang, genderang sudah di tabuh sejak lama. Beliau yakin betul akan mendapat rekomendasi dari pusat untuk maju dan siap menjadi pemenang. Berbekal pernah menjadi orang nomor satu dua periode di kota ini; dan persiapan jauh-jauh hari sudah dilakukan. Ternyata rekomendasi keluar justru jatuh kepada rival yang akan turun digelanggang. Kabar terakhir beliau bersama sekretaris menuju Ibu Kota untuk melakukan klarifikasi, pendekatan dan entah apa lagi.

Beda lagi petahana orang nomor satu daerah ini yang juga ketua organisasi politik tertua di negeri ini: semula juga tidak mengantongi rekomendasi untuk maju. Karena rekomendasi jatuh pada orang lain, tentu si penerima dengan semangat empat lima berkeliling kabupaten kota untuk menyatakan kesiapan diri. Dalam perjalanan waktu ternyata surat tugas jatuh ke petahana yang semula sudah harap-harap cemas. Jadilah ada matahari kembar di sana. Tentu saja penerima pertama bisa-bisa sakit perut dibuat kondisi seperti ini.

Dunia maya akhirnya mendiskusikan apa perbedaan rekomendasi dan surat tugas; sementara nitizen seperti menonton pertandingan Tenis Wembeldon. Mata harus jeli melihat bola akan jatuh kemana dan dipukul siapa. Sampai tulisan ini dibuat diskusi itu masih berlangsung dan semakin seru: berarti permainan “Belum-belum sudah sedang berlangsung”.

Akan lebih seru lagi: bisa jadi yang menang tidak dilantik, yang dilantik bukan yang menang; atau sudah dilantik di persoalkan, dan atau yang kalah juga ikut dipersoalkan. Tampaknya semua ini membenarkan adagium tidak ada teman yang abadi dalam dunia politik, yang ada adalah kepentingan abadi; sehingga kalau tidak cair itu bukan politik, menurut pandangan salah satu aliran filsafat manusia. Perubahan itu bisa kapan saja terjadi bahkan dalam hitungaan detik semua bisa berubah.

Kodisi seperti ini sekarang sudah menjadi semacam kecenderungan (trend). Sebab, tidak hanya melanda organisasi politik, bisa juga terjadi di organisasi masa, atau bahkan organisasi profesi tidak terbebas dari kondisi itu. Lebih seru lagi jika diselah-selah itu ada bau tidak sedap karena ada politik uang ikut bermain di sana. Walaupun hal itu sangat sulit dibuktikan karena dia tidak lebih sama dengan angin yang keluar dari belakang, tidak ada wujud tapi ada bau, dan bau itu terkadang lebih menyengat jika dibandingkan dengan besaran yang diterima. Semua ini semakin menyempurnakan “politik belum-belum sudah”: belum-belum sudah kasih perintah, belum-belum sudah rugi, belum-belum sudah marah, belum-belum sudah sakit hati, belum-belum sudah mundur, belum-belum sudah curang, belum-belum sudah terima uang, belum pemilihan sudah menang. Dan masih banyak lagi perilaku yang muncul, akibat dari “belum-belum sudah”.

Menyimak hal-hal di atas, ternyata banyak di antara kita yang terjebak pada situasi “belum-belum sudah”. Maksudnya, belum apa-apa sudah diapakan. Dengan kata lain soal goreng menggoreng ternyata bisa juga dilakukan oleh teman seiring, apa lagi kawan sekapal yang mungkin masih aman hanya teman sebantal.

Walaupun tesis ini terbantahkan dengan kasus kepala daerah terpaksa harus berseberangan dengan teman tidur, bahkan berpisah karena beda selera dan pilihan hidup. Bisa dibayangkan sudah bertahun beriring satu biduk dalam rumah tangga; ternyata racun kekuasaan begitu kejamnya; sehingga semua harus bubar karena mengejar bayang-bayang belum-belum sudah. Diksi “racun kekuasaan” dapat menggambarkan kekuatan destruktif yang bisa dimiliki kekuasaan, mirip dengan bagaimana racun bisa merusak tubuh seseorang. Ini adalah peringatan bahwa kekuasaan harus digunakan dengan bijaksana dan dengan kesadaran akan tanggung jawab yang melekat padanya. Orang bijak mengatakan “racun itu jika dosisnya tepat jadi obat, namun jika over dosis menjadikan nyawa melayang”.

Seiring dengan itu tampaknya sekarang ada peristilahan baru yang muncul dalam politik keseharian yaitu istilah “politik prank” merujuk pada tindakan atau lelucon yang biasanya dilakukan untuk mengelabui, mempermalukan, atau menipu seseorang, sering kali dengan cara yang lucu atau mengagetkan. Namun, dalam lingkungan politik, “prank” sering kali memiliki konotasi yang lebih serius atau kontroversial, karena dapat melibatkan manipulasi atau pemalsuan informasi untuk mempengaruhi opini publik atau merusak reputasi seseorang.

Ternyata tingkat kehati-hatian para bakal calon apapun jabatan di negeri ini harus memiliki indra ke Sembilan, karena harus mampu membaca situasi kondisi dan keadaan setiap detik dari situasi perpolitikan yang bisa dengan cepat berubah, kecuali kalau memang sudah diniatkan dari awal untuk ikut bermain, sehingga Kendang sudah disetel dari awal agar bisa menari sesuka hati karena semua sudah dibeli. Namun perlu diingat jangan sampai semua peristiwa itu kelak dikemudian hari menjadi “Indah untuk dikenang, pahit untuk diulang”. Salam waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman