Tukang Sapu
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu saya datang ke kampus sedikit lebih pagi dengan perkiraan agar mendapatkan tempat parkir yang teduh. Selesai meparkir kendaraan di tempat yang rindang. Seaat beranjak mau meninggalkan kendaraan ternyata tidak jauh di sana ada seorang ibu petugas kebersihan sedang melaksanakan tugas. Ibu yang sudah tidak muda lagi itu dengan telaten menyapu areal parkir yang cukup luas dengan beberapa temannya.
Terbayang pukul berapa mereka harus bangun pagi, karena hari baru pukul 7.30 WIB areal parkir nyaris sudah bersih semua. Luar biasa etos kerja mereka: bekerja dengan tulus tanpa beban. Saat disapa dan diajak sedikit dialog ternyata beliau-beliau ini adalah pejuang subuh yang tangguh. Setiap hari kerja harus bangun pagi sekali, untuk menyiapkan makan keluarga dan dibawa sedikit bekal. Itu pun jika ada. Kemudian menuju tepi jalan raya guna menunggu kendaraan yayasan yang menjemput mereka. Betapa hebatnya mereka bekerja dalam diam, dan berserah diri pada Tuhan dalam menjemput rejekinya hari ini. Menggunakan metoda depth interview, ternyata banyak data kita peroleh dari mereka, tentunya tidak untuk diumbar pada laman ini.
Sebelum lebih jauh membahas profesi tukang sapu, kita dalami dulu hal hal yang berkaitan dengan profesi ini. Berdasarkan informasi yang berasal dari jejak digital, sejarah profesi tukang sapu berhubungan erat dengan perkembangan peradaban manusia dan kebersihan lingkungan. Berikut adalah beberapa titik penting dalam sejarah tukang sapu:
Pertama, Zaman Kuno: Di Mesir Kuno, ada bukti bahwa tukang sapu sudah ada. Patung dan lukisan menunjukkan pekerja yang membersihkan jalan dan rumah. Di Roma Kuno: Kota Roma memiliki sistem kebersihan yang cukup maju. Mereka memiliki sekelompok pekerja yang bertugas membersihkan jalan dan membuang sampah. Mereka disebut “famuli.”
Kedua, Abad Pertengahan. Pada periode ini, kebersihan kota menurun, dan banyak kota-kota Eropa yang sangat kotor. Namun, di beberapa tempat, seperti di dalam istana atau tempat ibadah, tukang sapu tetap berperan penting. Hal ini menunjukkan bahwa tugas mereka tetap merupakan skala prioritas pada jaman itu.
Ketiga, Revolusi Industri. Pada abad ke-18 dan ke-19, dengan munculnya kota-kota besar dan peningkatan populasi, kebersihan kota menjadi perhatian utama. Kota-kota mulai merekrut lebih banyak tukang sapu untuk menjaga kebersihan jalan-jalan dan tempat umum. Mereka seolah menjadi semacam pembuka jalan sebelum pihak lain melewati jalan itu.
Keempat, Abad ke-20 dan ke-21. Perkotaan Modern: Pada abad ke-20, profesi tukang sapu menjadi lebih terorganisir. Banyak kota besar memiliki departemen kebersihan kota yang bertanggung jawab untuk mempekerjakan dan mengatur tukang sapu. Seiring dengan kemajuan teknologi, peralatan yang digunakan oleh tukang sapu juga mengalami perubahan. Dari sapu tradisional, mereka sekarang menggunakan alat-alat modern seperti penyapu jalan mekanis, mesin pembersih vakum, dan alat-alat lainnya.
Profesi tukang sapu sering kali dianggap rendah, namun peran mereka sangat vital untuk menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan. Banyak kampanye modern yang bertujuan meningkatkan penghargaan terhadap pekerjaan mereka. Seiring dengan peningkatan kesadaran akan pentingnya kebersihan lingkungan, peran tukang sapu semakin dihargai dan dilihat sebagai bagian penting dari sistem kota yang sehat dan bersih.
Dalam filsafat sosial, istilah “tukang sapu” bisa dianalisis dan dipahami melalui berbagai perspektif yang menyangkut peran sosial, struktur kelas, serta makna simbolis dalam masyarakat. Berikut hasil dari penelusuran digital ternyata ada beberapa cara untuk memahami “tukang sapu” dalam konteks filsafat sosial.
Pertama, Simbol Kelas Sosial. Dalam banyak masyarakat, pekerjaan sebagai tukang sapu sering kali dikaitkan dengan kelas sosial bawah. Filsafat sosial dapat menggunakan istilah ini untuk menggambarkan bagaimana pekerjaan tertentu mencerminkan dan memperkuat struktur kelas dalam masyarakat. Tukang sapu bisa dilihat sebagai representasi dari kelompok masyarakat yang melakukan pekerjaan yang dianggap “rendah” namun sangat penting bagi kelangsungan dan kebersihan sosial.
Kedua, Teori Marxian. Menurut teori Karl Marx, pekerja seperti tukang sapu mungkin dianggap sebagai bagian dari proletariat – kelas pekerja yang menjual tenaga kerja mereka dalam sistem kapitalis. Mereka adalah bagian penting dari infrastruktur ekonomi, meskipun sering kali tidak mendapat penghargaan atau kompensasi yang adil untuk kerja keras mereka.
Ketiga, Teori Peran Fungsionalisme. Dalam perspektif fungsionalis, setiap peran dalam masyarakat, termasuk tukang sapu, memiliki fungsi yang penting untuk menjaga keseimbangan dan keteraturan sosial. Tukang sapu membantu menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan, yang pada gilirannya memungkinkan masyarakat berfungsi dengan lebih efektif dan efisien.
Keempat, Penghargaan dan Pengakuan. Dalam filsafat sosial, ada juga diskusi tentang penghargaan dan pengakuan terhadap pekerjaan yang sering dianggap “rendah.” Para filsuf seperti Axel Honneth menekankan pentingnya pengakuan sosial terhadap semua bentuk pekerjaan. Pengabaian terhadap pekerjaan tukang sapu dapat dilihat sebagai bentuk ketidakadilan sosial.
Kelima, Moralitas dan Etika Kerja. Dari sudut pandang moral dan etika kerja, tukang sapu bisa menjadi simbol dari dedikasi dan kerja keras yang sering kali tidak mendapat pengakuan yang layak. Mereka mewakili nilai-nilai seperti ketekunan, kejujuran, dan pengabdian terhadap tugas, yang seharusnya dihargai lebih dalam masyarakat.
Keenam, Pembersihan sebagai Metafora. Dalam konteks filosofis, aktivitas menyapu bisa dilihat sebagai metafora untuk pembersihan moral atau sosial. Tukang sapu membersihkan kotoran fisik, tetapi konsep ini bisa diperluas untuk mencakup pembersihan “kotoran” sosial atau moral, seperti korupsi, ketidakadilan, atau kesenjangan sosial.
Ketujuh, Dehumanisasi dan Alienasi. Dalam beberapa teori sosial, pekerjaan yang monoton dan tidak dihargai seperti menyapu dapat menyebabkan alienasi dan dehumanisasi pekerja. Mereka mungkin merasa terasing dari hasil kerja mereka dan dari masyarakat yang tidak menghargai kontribusi mereka.
Dengan demikian, tukang sapu dalam pengertian filsafat sosial dapat dilihat sebagai lebih dari sekadar profesi, tetapi sebagai simbol yang mencerminkan berbagai aspek dari struktur sosial, keadilan, dan moralitas dalam masyarakat.
Tak terbayangkan bagaimana kumuhnya suatu wilayah jika tidak ada yang mau menyandang profesi ini. Dan ternyata profesi ini juga tidak kalah pentingnya dengan profesi lain. Bahkan profesi lain itu justru kelancaran dan kerapiannya dalam tampilan, sangat tergantung kepada profesi tukang sapu.
Apa pun nama kantor dan siapapun yang ada di sana, serajin apa pun dia, tetap saja tukang sapu adalah orang pertama yang datang di sana. Menjadi sesuatu yang membanggakan sekaligus haru, Universitas swasta sebesar ini justru mempekerjakan para tukang sapunya adalah rata-rata mereka para orang tua tunggal yang harus menghidupi keluarganya. Sungguh mulia hati pemilik yayasan ini yang mau peduli dengan mereka yang kurang beruntung dalam kehidupan ini.
Sayangnya, “tukang sapu” untuk beberapa hal sering dikonotasikan pada hal yang kurang baik, misalnya tukang sapu rejeki orang, tukang sapu proyek, tukang sapu jabatan. Akhirnya pekerjaan mulia itu dinodai oleh mereka yang selalu merasa kurang akan rezeki dari Tuhan. Salam waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman