Kemerdekaan itu untuk Siapa?

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu, seperti sudah menjadi rutinitas setiap pukul tujuh tigapuluh pagi saat hari kerja, posisi selalu sudah berada di perempatan jalan raya yang harus berhenti sejenak, karena lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Perjalanan ini dipertontonkan Tuhan untuk melihat bagaimana anak-anak kecil yang badannya dicat warna putih metalik, berdiri di samping jalan yang padat kendaraan. Mereka meminta sedikit uang kepada setiap pengendara yang berhenti menunggu lampu lalu lintas berubah berwarna hijau.

Di kejauhan sana ada wanita setengah baya mengawasi mereka. Matanya sedikit terbelalak jika anak-anak tadi aksinya kurang berkenaan di batinnya. Ini berlangsung sepanjang hari. Anehnya, di negeri ini ada Departemen Sosial yang salah satu tuasnya memberikan perlindungan pada anak-anak, tetapi entah ke mana beliau-beliau itu.

Saat menemani istri berbelanja dapur untuk beberapa hari ke depan di suatu pasar tempel, karena lokasinya menempel di antara rumah dan jalan raya, para pedagang kecil berhimpitan berjualan sayuran dan semua perlengkapan masak-memasak. Usia mereka umumnya sudah tidak muda lagi. Mereka mengais rezeki dari sedikit kemurahan hati emak-emak yang berbelanja pagi.

Sejurus kemudian ada laki-laki setengah baya meminta uang kepada mereka semua pedagang. Saat ditanya uang apa itu, dengan ketus laki-laki paro baya menjawab untuk uang keamanan. Entah siapa yang diamankan dan apa yang diamankan. Padahal, ibu penjual di sudut sana dari tadi belum satu pun dagangannya laku. Ia kelihatan lelah dan pucat. Mungkin ia belum makan. Dia tidak memerlukan pengamanan karena dagangannya berupa daun singkong muda dipetik dari kebun sendiri kemudian dibawa ke pasar ini.

Nun jauh di sana, di gedung mewah berpendingin udara yang sangat sejuk, makanan lezat tertata rapi di meja. Katanya mereka sedang melangsungkan rapat organisasi dengan acara memilih pimpinan tertinggi. Mereka yang datang semua berdasi pakai jaket lambang organisasi. Pidato kampanye dimula. Semua calon bersemangat ingin membangun negeri. Namun dari belakang sudah beredar amplop berisi cuan. Bagi yang menerima untuk memilih yang memberi. Mulut berkata demokras, berantas korupsi. Namun suara bisa dibeli. Penerima bersenang hati karena dapat “rejeki”. Si pemberi bergembira karena bisa membeli.

“Demokrasi” begitu gaduh di negeri ini. Untuk meraih kekuasaan, kegaduhan harus disertai cuan. Cuan yang banyak. Itu pun belum jadi jaminan kekuasaan bisa didapatkan. Seperti yang dialami seorang sahabat saya misalnya. Ya, dalam pesta demokrasi kemarin ia mencalonkan diri untuk menjadi wakil rakyat. Ia sebenarnya sudah diberi tahu bahwa untuk lolos jadi wakil rakyat harus punya modal guna membeli suara.

Dasar orang muda yang masih idealis, dengan gagah perkasa dan penuh semangat memaksa diri menjual yang ada untuk menggapai cita cita membangun negeri. Cuan pun banyak dia keluarkan. Hasilnya: ia gagal karena suaranya tidak mencukupi untuk meraih satu kursi. Uang sekarung sudah terhambur, tetapi suara tidak terkumpul. Selidik punya selidik, ternyata sohib tadi dikadali oleh “kadal gurun” yang memang haus akan cuan. Tidak peduli apa itu saudara atau siapa. Uang memang lebih kuasa dari segalanya.

Juga atas nama demokrasi, baru saja terjadi tokoh partai paling tua di negeri ini mengundurkan diri. Padahal selama ini ia termasuk pemimpin partai yang sukses. Suara dari balik layar (yang sejatinya yang jauh lebih faktual dibanding yang diberitakan televisi dan media online), pemimpin partai itu terpaksa harus menyerah karena diduga “separo badannya” sudah tersandera pihak eksternel. Tak lain tak bukan, ialah orang superkuat yang bisa menghitam-putihkan hukum dan tatanan. Demi nama baik keluarga dan partai, ia harus mengalah. Menepi. Ia mungkin masih bisa tertawa lepas dengan orang kuat di ruang dan meja yang sama. Tapi tidak ada yang tahu betapa pedih sebenarnya hatinya.

Yang ini terjadi di Indonesia. Ya, Indonesia yang sedang menyiapkan hari kemerdekaan di ibu kota negara yang baru (maksudnya, ibu kotanya yang baru). Berita mengejutkan datang lagi: detik-detik menjelang upacara kenaikan Bendera Pusaka, petugas putri yang menggunakan busana keagamaa, demi keseragaaman harus melepaskan hijabnya. Ternyata negeri ini sudah bisa membatalkan hukum Tuhan hanya demi kekuasaan. Atas nama keseragaman semua disamakan. Padahal negeri ini adalah plural. Bhineka. Dan Tuhan menciptakan mahluk-Nya pun tidak seragam. Berani benar mereka yang hanya sekadar kuasa, lalu berbuat semena-mena. Setelah nitizen goyangkan media sosial…buru-buru…larangan ditarik…seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Ibu Pertiwi saat ini berduka melihat tingkah polah kita semua. Penguasa merajalela. Rakyat terus dibuat sengsara. Lalim terus bersahabat untuk membabat semua yang terlihat. Kekuasaan menjadi mutlak hanya untuk para kerabat. Pekik merdeka hanya sesaat, agar terlihat oleh rakyat. Ironisnya lagi, sementara pejabat upacara pakai anggaran negara, rakyat mau buat hiburan demi kemerdekaa harus mengemis cari dana keman-mana.

Negeri ini sudah tua, 79 tahun. Dewasa. Semestinya ia sudah matang untuk menjadi. Namun isi negeri ini masih suka untuk berilusi, sehingga sibuk menyusun kursi untuk anak dan istri. Dulu saat reformasi semua ingin terbebas dari korupsi dan kolusi. Ironisnya (atau paradoksnya!), kini kita menjad lebih ganas dari yang tempo hari. Korupsi, kolusi, dan nepotisme dipertontonkan di muka orang ramai dengan tanpa rasa malu. Nepotisme yang dulu menjadi ancaman dan harus dijauhi, sekarang dimaklumi dengan sejumlah embel-embel permakluman.

Sudah 79 tahun kita merdeka. Kegembiraan lomba lari dengan kelereng di sendok yang digigit bocah-bocah lugu pun terasa hambar. Lomba tarik tambang pun sudah tidak bisa kita lakukan karena semua “tambang” sudah habis dibagi. Panjat pinang pun tidak bisa kita lakukan karen sebelum dipanja semua kursi sudah “dipinang” duluan oleh yang bercuan.

Walaupaun didera aneka cobaan, negeri ini tetaplah negeri kita. Siapa pun penguasanya, ia tetapkan negeri yang kita cintai. Dirgahayu Indonesiaku! (SJ)

Editor: Gilang Agusman