Karam Sebelum Berlayar

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari ini menyimak isi beberapa media cetak maupun online, bahkan media yang kita baca inipun juga mewartakan bagaimana banyak calon yang semula diunggulkan kemudian tidak diusung oleh partainya. Bahkan secara nasional ada upaya untuk meninggalkan sendirian satu partai, agar semua kadernya tidak bisa tampil. Namun Tuhan berkehendak lain, ternyata aturan berubah akibat permohonan peninjauan aturan kepada lembaga yang berwenang oleh sekelompok “gurem” akan suatu aturan.

Tidak terkecuali ditempat kita berpijak ini; justru korban berjatuhan termasuk pimpinan organisasi politik berlambang pohon tertua itu-pun tidak mendapat dukungan dari pusat; padahal beliau memiliki rekam jejak pengalaman memimpin daerah ini. Adalagi pimpinan organisasi politik yang dibela-belain lompat pagar untuk dapat mencalonkan diri menjadi orang nomor satu di daerah ini, ternyata kandas karena rekomendasi justru tidak untuk pak ketua. Ada lagi pimpinan teras yang semangat sekali bersosialisasi karena merasa mendapat mandat, ternyata ditengah jalan beliau dibuat “layu sebelum berkembang”. Harus terima kenyataan rekomendasi dicabut dan diberikan pada orang lain. beliau diamputasi tanpa ampun sehingga sulit untuk mendongakkan kepala.

Tampaknya negeri ini sedang dikembangkan politik “karam sebelum berlayar” atau “kalah sebelum perang”. Atas nama dinamika politik perubahan haluan, perubahan rekomendasi, perubahan dukungan; seolah-olah menjadi semacam kebiasaan baru untuk saat ini. Calon lebih sibuk mencari perahu dan mesin dorong dibandingkan mencari suara rakyat. alasan ini bisa diterima karena terlena sedikit saja, maka rekomendasi bisa terbang entah kemana.

Di sisi lain, ada pimpinan partai yang memasang palang pagar tinggi bagi orang luar yang akan “kulonuwun” , yaitu dengan satu kata “harus nurut pada pimpinan”. Model begini sah-sah saja dalam rangka memproteksi diri, terutama memproteksi anggota agar tetap “tegak lurus” kepada pimpinan. Namun bagi mereka yang memiliki “jati diri”, tentu tidak akan menggadaikan harkat martabat diri hanya demi jabatan. Karena pola seperti itu akan membangun situasi “memiliki kekuasaan, tetapi tidak kuasa”. Mereka-mereka yang berpola pragmatis-lah yang bersiap untuk menjadi “penderek” dan menggadaikan diri kepada pimpinan seperti ini.

Jangan samakan jabatan dengan pesugihan, walaupun akhir-akhir ini justru sikap itu yang berkembang. Sehingga yang terjadi “harga diri biar tergadai, asal kursi dapat dipakai”, akibat sikap seperti ini jika nanti menduduki jabatan, hidungnya bisa ditarik oleh sak pemilik partai, dan tentu cara seperti itu akan tidak sehat dalam rangka menumbuhkembangkan demokrasi yang berdaulat.
Peristiwa pembelajaran politik sekarang sedang berseliweran di muka kita, semua menarik untuk kita jadikan pembelajaran. Akan tetapi ada yang terlewatkan, semua mereka para calon tampak sekali bagaimana libido berkuasanya begitu menggebu-gebu, sampai-sampai ada diantara mereka yang lupa bahwa dirinya akan dipilih oleh rakyat. Tidak cukup, bahkan tidak jaminan dikukuhkan oleh ketua partai itu akan menang. Bisa jadi justru akibat pengukuhannyalah yang membuat dirinya tidak menang.

Ada juga diantara mereka menjadi “pelompat kijang” yang handal; mereka pertontonkan bagaimana memburu dukungan dengan lompatan-lompatan yang terkadang diluar nalar. Tetapi atas nama politik dan kekuasaan, seolah-olah apapun itu menjadi sah-sah saja; oleh karenanya lompatan demi lompatan begitu dinikmati, terlepas bagaimana hasilnya yang bersangkutan tetap lakukan itu semu demi memenuhi libido ingin menjadi penguasa.

Menit-menit terakhir masih saja kita jumpai bagaimana partai besar ragu mendayung perahu, atas nama kehati-hatian semua dilakukan. Padahal secara filosofis ragu-ragu dengan hati-hati itu perbedaannya sangat tipis sekali, bahkan tidak jarang tertukar keduanya. Kita tidak mengetahui apa yang ada dibalik itu, hanya Tuhan dan mereka saja yang memahami. Bahkan di menit terakhir ada juga bakal calon yang diledakan agar supaya gagal maju, dengan cara dibenturkan kepada pelanggaran kode etik partai. Entah juga kode etiknya seperti apa, hanya kita yang menonton terpaksa harus menahan tawa. Padahal jika tidak tertawa memang menggelikan, jika tertawa takut dikira mengejek; paling aman kita tinggal buang muka.

Mereka tidak sadar bahwa “sandiwara” yang mereka semua pertontonkan kepada publik bisa sangat membahayakan, sebab jika tumbuh sikap apatisme, maka bisa jadi banyak orang enggan datang ke tempat pemungutan suara; dan ini menunjukkan tingkat partisipasi rendah. Itu berarti juga pendidikan politik yang dilakukan partai selama ini dapat disebut gagal. Semoga hal itu tidak terjadi, namun jika keadaan itu yang muncul, maka malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman