Yang Kuat Menopang yang Lemah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari saya lalu mendapat undangan dari satu lembaga pendidikan di sebuah kabupaten di Lampung.
Kabupaten hasil pemekaran beberapa tahun lalu memiliki landscap dataran dengan komoditas andalan hasil pertanian perkebunan. Sebelum acara utama dimulai, saya sempat berbincang dengan tokoh masyarakat.
Daerah ini memiliki slogan “yang kuat menopang yang lemah” dengan gerak sandi tangan kanan menopang tangan kiri berbentuk huruf “T”.
Dalam berbagai tradisi filsafat, konsep bahwa yang kuat memiliki tanggung jawab untuk menopang yang lemah merupakan tema yang muncul secara konsisten, baik dalam konteks moralitas, keadilan sosial, maupun kebajikan individu. Filosofi ini ternyata mengandung makna yang sangat dalam dan berakar dari budaya setempat itu, juga ditemukan pada era filsafat Yunani kuno (era Plato dan Sucrates), sampai pada era filsafat modern (era Jean-Jacques Rousseau, John Rawls).
Lebih lanjut berdasarkan penelusuran digital dapat disimpulkan sebagai berikut:
Makna dari filosofi “yang kuat menopang yang lemah” adalah sebuah prinsip etika atau moral yang mengajarkan pentingnya solidaritas, empati, dan tanggung jawab sosial. Filosofi ini menekankan bahwa mereka yang memiliki kekuatan, baik dalam bentuk fisik, mental, ekonomi, atau posisi sosial, memiliki kewajiban untuk membantu dan mendukung mereka yang lebih lemah atau kurang beruntung.
Dalam konteks sosial; filosofi ini mengajak kita semua untuk menciptakan keseimbangan di dalam masyarakat dengan cara menghindari penindasan dan ketidakadilan, serta memastikan bahwa setiap individu mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang.
Secara spiritual, ini bisa dianggap sebagai nilai kemanusiaan yang universal, di mana kepedulian terhadap sesama menjadi pilar utama dalam hubungan antarmanusia. Inti dari filosofi ini adalah bahwa kekuatan sejati bukan hanya terletak pada kemampuan untuk mendominasi atau menguasai, tetapi juga dalam kemampuan untuk melindungi, mendukung, dan memperkuat orang lain.
Oleh sebab itu dapat dijelaskan dari beberapa aspek:
Pertama dari segi Etika dan Moralitas, yang memiliki unsur (1) Tanggung Jawab Sosial: Filosofi ini mengajarkan bahwa individu atau kelompok yang lebih kuat, baik secara fisik, ekonomi, atau intelektual, memiliki tanggung jawab moral untuk membantu yang lemah. Ini mengarah pada prinsip bahwa kekuatan yang dimiliki tidak seharusnya digunakan untuk penindasan, melainkan untuk kebaikan bersama. (2) Kebaikan Hati:
Mengajarkan pentingnya empati dan belas kasih terhadap sesama. Orang yang kuat seharusnya peka terhadap kebutuhan orang lain dan siap untuk memberikan bantuan ketika diperlukan. (3) Keadilan: Ada elemen keadilan di sini, di mana ketidakadilan sering terjadi ketika yang kuat memanfaatkan yang lemah. Filosofi ini menekankan perlunya keadilan dalam hubungan sosial, di mana yang kuat mendukung yang lemah agar semua orang memiliki kesempatan yang setara.
Kedua dari segi Sosial dan Komunitas, yang memiliki unsur (1) Solidaritas:
Dalam komunitas, filosofi ini memperkuat konsep solidaritas sosial. Masyarakat yang sehat adalah yang anggotanya saling menopang, dengan yang kuat membantu yang lebih rentan. Ini bisa berupa bantuan material, emosional, atau dukungan sosial. (2) Kesetaraan: Filosofi ini juga mempromosikan kesetaraan.
Dengan menopang yang lemah, yang kuat membantu menyeimbangkan ketimpangan dalam masyarakat dan membantu memastikan bahwa semua individu memiliki akses ke peluang yang sama. (3) Kebersamaan: Filosofi ini menekankan pentingnya kebersamaan dan kolaborasi. Dalam menghadapi tantangan, sebuah masyarakat yang baik adalah yang bersama-sama mengatasi kesulitan, dengan mereka yang memiliki kekuatan membantu mereka yang membutuhkan.
Ketiga dari segi Spiritualitas dan Agama, yang memiliki unsur (1) Nilai Kemanusiaan: Filosofi ini mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan universal yang sering ditemukan dalam ajaran agama dan spiritualitas. Banyak tradisi agama mengajarkan bahwa membantu mereka yang lemah adalah perwujudan dari kasih sayang dan kebaikan yang mendalam. (2) Kedermawanan: Dalam ajaran spiritual/ agama, kedermawanan dan memberi kepada yang membutuhkan sering dilihat sebagai tindakan yang diberkahi. “Kuat bukan hanya berarti memiliki, tetapi juga berbagi dengan mereka yang kurang beruntung”.
Keempat dari segi Ekonomi dan Politik, yang memiliki unsur (1) Redistribusi Kekayaan: Dalam konteks ekonomi, filosofi ini bisa diterjemahkan ke dalam kebijakan redistribusi kekayaan, di mana yang lebih kuat (kaya) membantu yang lemah (miskin) melalui pajak progresif, program sosial, dan jaminan kesejahteraan. (2) Perlindungan Sosial: Pemerintah yang kuat diharapkan melindungi warganya yang rentan, seperti dengan menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial.
Kelima dari segi Psikologis dan Individu, yang memiliki unsur (1) Pengembangan Diri: Filosofi ini juga bisa diterapkan pada pengembangan pribadi. Seseorang yang kuat secara emosional atau mental diharapkan membantu mereka yang sedang mengalami kesulitan, baik melalui dukungan moral, bimbingan, atau hanya dengan menjadi pendengar yang baik. (2) Peningkatan Hubungan Antarpribadi: Dalam hubungan interpersonal, ini berarti mereka yang memiliki lebih banyak pengalaman, kekuatan emosional, atau stabilitas seharusnya membantu pasangan, teman, atau keluarga mereka yang lebih lemah dalam aspek-aspek tertentu.
Keenam dari segi Lingkungan dan Ekologi, yang memiliki makna secara luas, filosofi ini juga bisa diaplikasikan pada hubungan manusia dengan lingkungan. Manusia, sebagai spesies yang kuat, memiliki tanggung jawab untuk melindungi alam dan spesies lain yang lebih lemah, menjaga keseimbangan ekosistem agar kehidupan di bumi tetap berkelanjutan. Dengan kata lain intinya adalah panggilan untuk menciptakan harmoni dan keseimbangan di semua aspek kehidupan.
Kekuatan sejati bukan hanya dalam kekuasaan atau dominasi, tetapi dalam kemampuan untuk mendukung dan mengangkat orang lain yang lebih lemah. Oleh sebab itu menekankan pentingnya gotong royong, keadilan sosial, dan kebaikan hati dalam membangun kehidupan yang lebih baik bersama.
Wajar saja daerah tingkat dua ini memiliki “keguyuban” warga sangat baik, indikator yang dapat digunakan salah satu diantaranya adalah terjalinnya harmonisasi antarwarga yang berada di daerah ini, dan nyaris tidak pernah terdengar adanya konflik sosial. Justru yang sering mengusik adalah adanya konflik politik saat terjadinya kontestasi politik kepemilihan seperti saat ini.
Akibatnya justru menimbulkan konflik antaranggota keluarga besar akibat dari adanya hasrat bersama untuk meraih kursi nomor satui. Ternyata betul apa yang dikemukakan oleh para pendahulu bahwa syahwat untuk berkuasa itu bisa merusak tatanan yang ada, termasuk keharmonisan keluarga jika tidak disikapi dengan arif bijaksana. (SJ)
Editor: Gilang Agusman