Lewat Jalan Sebelah

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu atas dasar panggilan kepedulian terhadap dunia pendidikan, maka pagi menjelang siang melakukan edukasi kepada masyarakat bagaimana pentingnya memperhatikan pendidikan siswa kelas sepuluh di Sekolah Lanjutan Atas pada wilayah perbatasan provinsi. Oleh karena ini menyangkut aspek pemahaman dan pendampingan dari orang tua, maka sasaran edukasi adalah orang tua siswa, yang rata-rata mereka banyak belum memahami bagaimana karakteristik anak-anaknya. Peran serta mereka untuk berpartisipasi baik material maupun non-material kepada keberlangsungan pendidikan sangat diperlukan.

Bisa dibayangkan satu Sekolah Menengah Atas yang seorang siswa ditanggung oleh negara hanya satu koma lima juta, sementara pemerintah sendiri menetapkan bahwa per-siswa diperlukan alokasi dana sebesar lima koma empat juta untuk biaya pendidikan; kemudian upaya sisanya diserahkan kepada sekolah bersama masyarakat. Bersamaan dengan itu pemerintah sendiri mencanangkan pendidikan gratis.

Tentu ini membuat kepala sekolah dan komite harus putar otak bahkan main akrobat; satu sisi pendidikan dituntut harus bermutu, disisi lain tidak boleh memungut biaya; padahal biaya standard pemerintah sendiri menetapkan. Kekurangannya pemerintah angkat tangan bahkan cenderung tutup mata. Belum lagi ada aturan dari kementerian lainnya yang melarang penggunaan dana bantuan untuk keperluan kesejahteraan. Ironisnya lagi jika meminta bantuan partisipasi masyarakat orang tidak paham menjadi sok paham dan akhirnya gagal paham.

Sebelum acara inti dimulai, maka ada semacam pertemuan informal dengan para guru; tidak sengaja pertemuan itu menjadi acara reuni kecil pascasarjana, sebab hampir semua mereka adalah alumni pascasarjana yang pernah menjadi asuhan penulis. Ada yang menarik dari mereka adalah, ada diantara mereka saat menuju ketempat tugas di sekolah wilayah perbatasan, ternyata untuk mencapai lokasi harus pergi terlebih dahulu ke provinsi tetangga, kemudian baru masuk ke wilayah tugasnya. Waktu dikonfirmasi mengapa harus melakukan itu, ternyata jalan provinsi yang masuk ke wilayah kerjanya hancur. Selama yang bersangkutan dinas di wilayah itu belum pernah ada pihak provinsi yang mengunjungi apalagi untuk memperbaiki. Lebih parah lagi jika kondisi itu musim hujan, maka perjuangan semakin berat. Waktu didesak dengan pertanyaan apakah selama pergantian gubernur berkali-kali tidak ada perhatian sama sekali dengan infrastruktur jalan; yang bersangkutan tidak menjawab dengan kata akan tetapi dengan senyum khas dengan seribu makna.

Dalam konteks filsafat, “jalan sebelah” bisa merepresentasikan metode atau perspektif yang kurang konvensional atau kurang umum dibandingkan dengan yang biasa diambil oleh orang-orang pada umumnya. Filsafat sering kali menantang kita untuk memikirkan hal-hal dari sudut pandang yang berbeda, menemukan makna di luar yang terlihat jelas.

Ternyata aplikasi mata kuliah Filsafat Ilmu pada konteks berkarya pada masyarakat sangat membantu untuk mengambil sudut pandang cara berfikir. Beberapa hal menjadi semacam panduan berfikir praksis keilmuan yang muncul, diantaranya: Pertama, pendekatan non-konvensional, yaitu menghadapi kehidupan dengan cara yang berbeda dari norma atau tradisi umum. Misalnya, seseorang mungkin memilih jalur kehidupan yang tidak mengikuti standar sosial biasa (seperti karier tradisional, gaya hidup mapan, dll.), tetapi tetap menemukan makna dan kebahagiaan dengan cara mereka sendiri.

Kedua, pikiran terbuka, yaitu menerima banyak perspektif dan tidak terpaku pada satu cara berpikir. “Lewat jalan sebelah” bisa berarti membuka diri terhadap filosofi, ideologi, atau pandangan hidup yang mungkin berbeda atau asing bagi mayoritas orang. Ketiga, fleksibilitas dan adaptasi. Ini juga bisa berarti cara pandang yang fleksibel, di mana seseorang siap untuk berubah dan menyesuaikan diri tergantung pada situasi yang dihadapi. Alih-alih memaksa diri melalui jalan utama yang mungkin penuh tantangan, seseorang memilih jalan lain yang lebih sesuai dengan keadaan dan tujuan mereka.

Keempat, kreativitas dalam pemecahan masalah hidup. Kadang-kadang, “jalan sebelah” bisa menggambarkan solusi yang lebih kreatif atau out of the box. Dalam menghadapi kesulitan hidup, individu mungkin menemukan cara-cara baru untuk mengatasi masalah, yang pada akhirnya membentuk pandangan hidup yang lebih dinamis.

Pandangan seperti ini mengajarkan bahwa hidup tidak selalu harus dihadapi dengan cara yang sudah ditetapkan, melainkan ada banyak “jalan” yang bisa diambil, dan setiap jalan menawarkan pandangan yang unik. Termasuk Pak Guru dan Ibu Guru yang nun jauh diperbatasan sana; mereka berjuang mendidik anak-anak bangsa ini dengan segala macam keterbatasan, baik dalam pengertian sarana-prasarana, juga keterbatasan pemahaman orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Mereka bekerja dalam sepi tetapi mengabdi dalam kekhusukan, berterima akan rezeki dengan kelapangan. Mereka tidak butuh akan pujian, apalagi sanjungan, tetapi mereka bekerja tetap dalam ketulusan. Oleh karena itu jika kita dalami secara filsafat maka filosofi bekerja dalam sepi menekankan pada konsep bekerja dengan fokus, tekun, dan tidak mencari pengakuan atau perhatian dari orang lain. Ada beberapa makna mendalam yang terkandung dalam filosofi ini: Pertama, fokus pada proses, bukan hasil. Orang yang bekerja dalam sepi cenderung lebih menghargai proses daripada hasil akhirnya. Mereka mengerjakan tugas-tugas dengan sepenuh hati tanpa terlalu banyak mengejar pengakuan eksternal, karena bagi mereka, kepuasan batin datang dari kesempurnaan usaha, bukan dari pujian.

Kedua, kesederhanaan dan keikhlasan. Bekerja dalam sepi mencerminkan kesederhanaan dalam bertindak dan ketulusan dalam bekerja. Tidak ada dorongan untuk menonjolkan diri atau menunjukkan hasil kerja secara demonstratif. Hal ini mengajarkan bahwa pekerjaan yang baik tidak selalu perlu dipublikasikan, tapi cukup dinikmati secara pribadi atau dalam lingkup yang terbatas.

Ketiga, ketenangan batin dan disiplin. Dengan bekerja dalam sepi, seseorang belajar untuk tetap tenang dan fokus meskipun tanpa pengawasan atau pujian. Ini mengembangkan disiplin diri, di mana motivasi berasal dari dalam diri, bukan dari dorongan eksternal.

Keempat, peningkatan kualitas diri. Bekerja dalam sepi juga sering dikaitkan dengan pengembangan diri yang mendalam. Karena tanpa gangguan dari luar, seseorang lebih mampu untuk merenung dan memahami dirinya sendiri. Ini memberikan kesempatan untuk terus belajar dan memperbaiki kualitas pekerjaan serta karakter diri.

Kelima, kebijaksanaan dan keteguhan. Filosofi ini mengajarkan bahwa kebijaksanaan sering kali lahir dari kesunyian, dari ruang untuk berpikir dan mendalami makna pekerjaan. Keteguhan hati untuk bekerja meskipun tidak ada sorotan melatih ketangguhan mental dan ketekunan.

Bekerja dalam sepi mengajarkan nilai bahwa hasil terbaik sering kali lahir dari upaya yang tulus, konsisten, dan tidak bergantung pada validasi eksternal. Sekalipun harus melewati jalan sebelah dalam pengertian wilayah orang lain, tetapi karena dorongan kemulyaan pekerjaan yang dipandang sebagai ibadah, maka keberkahan akan menanti dari setiap langkah. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman