Membersihkan Jalan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Siang itu begitu terik dan baru bisa masuk kekampus setelah menghadiri upacara pelantikan organisasi profesi guru terbesar di negeri ini.  Tentu saja dengan bercucuran keringat harus mencapai lantai lima tempat berkantor.  Dalam perjalan mencapai ruang kerja melihat ke bawah nun jauh di sana tampak petugas kebersihan sedang membersihkan jalan. Mereka tidak peduli dengan teriknya matahari tampak raut wajah ihlas dalam melakoni kehidupannya dengan penuh kesungguhan.

Merenungkan kejadian itu melihat tukang pembersih jalan yang mengerjakan pekerjaannya dengan melangkah mundur, bukan maju. Ternyata jika dipahami secara mendalam peristiwa itu mengandung maksud bahwa semua didunia ini kejadiannya selalu merupakan “pembersihan jalan untuk dilalui oleh peristiwa lainnya”. Hal ini menbuat pertanyaan banyak orang karena berpersepsi peristiwa yang lalu itu sering di posisikan baik dan tidak baik. Jelas ini adalah jalan berfikir yang keliru; yang benar adalah peristiwa kemudian itu selalu menjadi pengkoreksi atau pelengkap, bisa jadi berkesinambungan dari peristiwa sebelumnya. Sama halnya tukang sapu yang selalu berjalan mundur karena beliau harus menyisihkan, menghimpun semua hal yang dianggap kotor atau diposisikan kotor.

Agar lebih paham, maka kita bisa menelisiknya dari ranah filsafat ; ungkapan “membersihkan jalan” dapat memiliki makna yang mendalam dan simbolis. Filsafat sering dianggap sebagai disiplin yang berupaya menggali dan mengklarifikasi konsep-konsep, asumsi, dan cara berpikir yang tersembunyi atau tidak disadari. Berikut adalah beberapa cara bagaimana makna “membersihkan jalan” bisa dipahami dalam filsafat:

Pertama, Membersihkan Jalan dari Prasangka dan Dogma: Salah satu fungsi utama filsafat adalah mempertanyakan asumsi dasar yang sering diterima begitu saja oleh masyarakat atau individu. “Membersihkan jalan” dalam konteks ini berarti menghilangkan prasangka, kepercayaan dogmatis, atau keyakinan tanpa dasar yang menghalangi jalan menuju pemikiran kritis dan independen. Seorang filsuf, seperti Descartes, dalam metode keraguannya, mencoba “membersihkan” segala asumsi yang tidak bisa dipastikan agar bisa menemukan dasar kebenaran yang lebih kuat.

Kedua, Menyederhanakan Kerumitan: Filsafat sering kali berurusan dengan masalah yang rumit dan kompleks. “Membersihkan jalan” bisa berarti memecah masalah yang rumit menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana dan bisa dipahami. Melalui proses analisis, filsafat membersihkan jalan menuju pemahaman yang lebih baik, tanpa tersesat dalam kerumitan yang tidak perlu.

Ketiga, Mengeliminasi Kontradiksi dan Kekacauan Konseptual: Dalam filsafat analitik, misalnya, “membersihkan jalan” bisa berarti menjernihkan konsep-konsep yang tidak jelas atau bertentangan. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa argumen-argumen dibangun di atas dasar yang logis dan konsisten. Filosof seperti Ludwig Wittgenstein berfokus pada membersihkan bahasa dan pemahaman dari kekacauan konseptual yang dapat menghalangi pemahaman tentang dunia.

Keempat, Persiapan Menuju Pemahaman yang Lebih Tinggi: “Membersihkan jalan” juga bisa dimaknai sebagai tindakan persiapan mental dan intelektual. Sebelum mencapai pencerahan atau pemahaman mendalam, seseorang harus melewati tahap di mana jalan yang menuju kebenaran dibersihkan dari gangguan, kebingungan, atau asumsi yang salah. Dalam tradisi filsafat Timur, seperti Zen, membersihkan pikiran dari pemikiran yang terikat ego adalah bagian penting dari perjalanan spiritual menuju pencerahan.

Kelima, Memfasilitasi Dialog Filosofis yang Terbuka: Filsafat juga melibatkan dialog yang jujur dan terbuka. “Membersihkan jalan” dalam konteks ini dapat berarti membangun ruang bagi percakapan yang tidak terhalang oleh kesalahpahaman, manipulasi, atau argumen yang tidak jujur. Filosof berusaha membersihkan komunikasi untuk memungkinkan pertukaran ide yang murni dan berbobot.

Dalam semua konteks ini, “membersihkan jalan” dalam filsafat pada dasarnya mengacu pada upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang mencegah seseorang mencapai pengetahuan yang lebih jelas, kebijaksanaan, atau pencerahan moral dan intelektual. Sementara dalam filsafat Islam yang dimaksud dengan “membersihkan jalan” dapat dipahami dalam konteks pencerahan intelektual dan spiritual yang memberikan panduan bagi seseorang untuk menjalani hidup sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan kebenaran. Dalam filsafat Islam, “membersihkan jalan” bisa merujuk pada proses pemurnian hati, pikiran, dan perilaku melalui pengetahuan, logika, dan ajaran moral yang berdasarkan pada wahyu Ilahi dan pemikiran rasional.

Beberapa pemikir dalam tradisi filsafat Islam, seperti Al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Al-Ghazali, menekankan pentingnya pengetahuan sebagai sarana untuk mencapai kebijaksanaan dan kebenaran. Pengetahuan ini berfungsi untuk “membersihkan” pikiran dari kesalahan atau pandangan yang salah, serta membimbing seseorang menuju kehidupan yang lebih etis dan harmonis dengan tujuan hidup yang lebih tinggi, yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan.

Secara spiritual, “membersihkan jalan” juga bisa dikaitkan dengan konsep tasawuf (sufisme), di mana pembersihan hati dan jiwa dari hasrat duniawi adalah langkah penting menuju kedekatan dengan Tuhan. Dalam konteks ini, filsafat Islam berperan sebagai panduan intelektual dan spiritual dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan kata lain, filsafat Islam mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan dan kebenaran sejati, seseorang perlu membersihkan jalannya—baik melalui peningkatan pemahaman rasional maupun melalui disiplin spiritual. Jadi, secara filosofis, “membersihkan jalan” bukan sekadar tindakan fisik, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai ketekunan, kejelasan, tanggung jawab, dan kesadaran diri dalam menjalani kehidupan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman