Jawaban yang Tidak Menjawab
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu dengan kondisi badan yang rapuh namun karena tanggungjawab profesi; maka diputuskan tetap berangkat memberikan kuliah di program doktor universitas negeri dengan kekhasan agama. Perjumpaan dan dialog serta diskusi dengan mahasiswa doktoral seolah bisa melupakan sejenak beban jasmani yang terasa sudah tidak kuat menopang rohani. Untuk angkatan kali ini banyak dijumpai mahasiswa cerdas dalam berfikir karena waktu yang tersedia terasa singkat digunakan berdiskusi. Keberanian mereka untuk melakukan interupsi, klarifikasi, komentar akan materi yang disajikan; menjadikan semangat hidup terasa menyala kembali. Akan tetapi karena matakuliah yang disajikan adalah matakuliah pucaknya ilmu, maka sering berfikir abstrak, kontemplatif, mendasar, dan hakiki; menjadi semacam jalan terjal yang harus ditempuh semua yang hadir di ruangan itu.
Dari semua bentangan bertanyaan, komentar, ulasan dan analisa yang dilakukan; ternyata menyisakan satu situasi dan kondisi dalam dialog adalah “jawaban yang tidak menjawab”; hal ini terjadi karena jawaban yang diberikan akan memunculkan pertanyaan baru, dalam istilah filsafat hal ini disebut dengan“thesa yang membuahkan anti thesa”. Selama ini kuliah yang mereka terima lebih banyak menerima materi baru atau lama dalam kemasan baru, tetapi dalam perkuliahan matakuliah ini mereka pulang akan terbebani oleh pertanyaan baru. Sehingga dialog-dialog imajiner terus berada dalam pikiran mereka guna menemukenali permasalahan dan sekaligus menemukan jawaban, yang sangat sering mereka bertemu dengan jawaban yang tidak menjawab, karena muncul kembali pertanyaan baru. Kecintaan akan ilmu semakin tumbuh karena dialog-dialog imajiner tadi, yang terus bergelayut pada benak mereka.
Berdasarkan penelusuran digital ditemukan keterangan bahwa dalam filsafat, hakikat jawaban yang tidak menjawab berkaitan dengan kondisi di mana suatu jawaban diberikan tetapi tidak secara substansial menangkap esensi dari pertanyaan yang diajukan. Ini bukan hanya soal ketidaktepatan jawaban, tetapi sering kali juga mencerminkan aspek lebih mendalam terkait dengan bahasa, logika, dan pemahaman. Berikut adalah beberapa pandangan filosofis yang bisa menjelaskan hakikat ini:
Pertama, Fenomena Sofisme: Salah satu bentuk jawaban yang tidak menjawab ditemukan dalam sofisme. Kaum Sofis di Yunani kuno dikenal karena menggunakan retorika yang memukau dan logika berbelit-belit untuk memberi jawaban yang tampak benar atau masuk akal tetapi sebenarnya menyesatkan atau bahkan tidak relevan. Plato dan Aristoteles mengkritik para Sofis karena mereka sering kali tidak mengejar kebenaran, melainkan kemenangan dalam debat, sehingga jawaban mereka tampak seperti solusi, tetapi sebenarnya tidak menjawab pertanyaan dengan substansi.
Kedua, Kebingungan Linguistik (Wittgenstein): Menurut filsuf Ludwig Wittgenstein, banyak masalah filosofis muncul karena penyalahgunaan atau kesalahpahaman terhadap bahasa. Dalam bukunya Philosophical Investigations, ia menunjukkan bahwa kebingungan linguistik sering menyebabkan orang memberikan “jawaban” yang tampaknya logis tetapi sebenarnya tidak memberikan klarifikasi. Jawaban tersebut tidak menyelesaikan masalah karena bentuk atau makna bahasa yang digunakan tidak benar-benar menjawab apa yang dimaksud oleh pertanyaan. Misalnya, seseorang bisa menjawab sebuah pertanyaan dalam kerangka bahasa yang berbeda atau salah sehingga tampak seperti jawaban, tetapi pada hakikatnya tidak mengatasi inti masalah.
Ketiga, Pertanyaan yang Tidak Mempunyai Jawaban Jelas (Aporetik): Beberapa pertanyaan dalam filsafat bersifat aporetik, artinya pertanyaan tersebut tidak memiliki jawaban yang jelas atau bisa dijawab dengan cara yang tidak memuaskan. Socrates dalam dialog Plato sering menggunakan metode dialektik di mana dia membuktikan bahwa banyak jawaban yang tampaknya benar sebenarnya gagal menjawab pertanyaan dengan memadai. Pertanyaan seperti “Apa itu keadilan?” atau “Apa itu kebajikan?” sering kali menerima jawaban yang ternyata salah, parsial, atau tidak lengkap, yang mencerminkan hakikat bahwa tidak semua pertanyaan dapat dijawab dengan tuntas dalam bentuk yang sederhana.
Keempat, Kontradiksi dan Dialektika (Hegel): Hegel memperkenalkan konsep dialektika, di mana sebuah jawaban bisa tampak tidak memadai atau tidak menjawab ketika dilihat dalam kerangka pertentangan ide-ide. Dalam proses dialektika, sebuah tesis akan menghadapi antitesis, dan solusi (jawaban) bukanlah respons langsung terhadap tesis atau antitesis, melainkan sebuah sintesis yang menggabungkan keduanya. Namun, jawaban dalam tahap sintesis bisa jadi tampak ambigu atau “tidak menjawab” pertanyaan awal karena sifatnya yang terus berkembang.
Kelima, Fenomena Ambiguitas atau Ketidakpastian (Deconstructionism/Derrida): Jacques Derrida dalam teori dekonstruksinya menunjukkan bahwa bahasa dan makna bersifat cair dan tidak pernah sepenuhnya tetap. Oleh karena itu, setiap jawaban yang diberikan dalam konteks bahasa selalu berada dalam kondisi ketidakpastian dan ambiguitas. Menurut Derrida, jawaban yang diberikan mungkin tidak menjawab sepenuhnya karena ada ketegangan antara apa yang dikatakan (signifier) dan apa yang dimaksud (signified). Ini menunjukkan bahwa dalam filsafat, sebuah jawaban bisa “tidak menjawab” karena keterbatasan bahasa itu sendiri.
Keenam, Eksistensialisme dan Pertanyaan tentang Makna: Dalam eksistensialisme, khususnya dalam pemikiran Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna hidup seringkali tidak memiliki jawaban final atau definitif. Sartre berpendapat bahwa manusia berada dalam kondisi “kecemasan eksistensial” karena tidak ada jawaban obyektif yang bisa diberikan tentang makna hidup. Dalam hal ini, jawaban yang tidak menjawab adalah refleksi dari absurditas dan kekosongan yang inheren dalam eksistensi manusia.
Benang merah yang dapat kita tarik dari penjelasan di atas bahwa hakikat dari jawaban yang tidak menjawab, menurut filsafat, terletak pada beberapa faktor: keterbatasan bahasa, kebingungan logis, kerumitan pertanyaan itu sendiri, serta sifat dasar dari realitas atau makna yang tidak selalu bisa dijawab dengan satu respons yang pasti. Jawaban yang tidak menjawab mencerminkan kompleksitas dalam pemahaman dan komunikasi filosofis, di mana sering kali tantangan untuk memberikan jawaban bukan hanya tentang ketepatan faktual tetapi juga tentang bagaimana pertanyaan itu dipahami dan dirumuskan.
Oleh karena itu manusia dituntut untuk belajar sepanjang hayat, sebab harus menemukenali pertanyaan-pertanyaan dunia, yang terkadang menyesatkan karena tidak ditemukannya jawaban. Bisa jadi jawabannya memang tidak mampu menjawab dari pertanyaannya, dan kemudian sudah muncul pertanyaan baru akibat dari ketidakmampuan menjawab tadi. Kondisi akhir-akhir ini ternyata banyak kita jumpai didalam masyarakat, karena antara yang memimpin dan dipimpin tidak satu lambang, sehingga memaknakannyapun berbeda. Lebih sengsara lagi jika berlambang sama tetapi diberi makna yang berbeda. Rekonstruksi berfikir seperti inilah sering membuat tersesat di jalan yang benar. Jika kita bumikan pikiran ini “ Kata pejabat jalan rusak yang salah rakyat”; sementara pada waktu bersamaan “rakyat berkata jalan rusak karena kesalahan pejabat”. Padahal obyeknya sama yaitu “jalan rusak”; namun karena perbedaan cara pandang antara rakyat dan pejabat, akibatnya jalan tetap rusak. Logika berfikir seperti ini, atau mirip dengan ini, sekarang sedang merebak dimana-mana, seiring dengan kontestasi pemilukada. Seolah mendapatkan lahan persemaian untuk tumbuh subur; walaupun pada akhirnya pembiaran paradigma seperti ini akan merugikan kita semua. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman