Rumah Kedua Kita
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Udara siang itu cukup panas menerpa lantai lima tempat berkantor sehari-hari, ditambah lagi mesin pendingin diruangan terganggu; maka sempurnalah kegerahan itu. Terpaksa demi menjaga stabilitas pekerjaan, maka hari itu mengungsi keruangan lain yang memiliki pendingin ruang lebih baik.
Namun semua itu tidak menghalangi untuk berkontemplasi diri merenungkan hasil pembicaraan pagi tadi. Saat sebelum jam kerja tiba, kami semua para wadyabala sudah hadir di gedung megah ini. Satu diantara mereka nyeletuk bahwa ada suasana kebatinan yang beberapa waktu lalu hilang, kini hadir kembali, yaitu kalimat yang bergaung “jadikan rumah kedua kita tempat bekerja ini”.
Jujur, penulis memang dimana mana bekerja selalu menganggap bahwa tempat bekerja itu diposisikan sebagai rumah kedua. Sebab secara kurun waktu lama di tempat kerja dengan di rumah perbandingannya lebih lama di tempat kerja. Di rumah efektif hanya tiga jam perhari, kecuali hari libur, sementara di tempat kerja delapan jam produktif perhari.
Penasaran dengan “aura magis” yang menyelimuti diksi itu, maka dicarilah tahu makna hakiki dari pernyataan tadi.
Ternyata dalam jelajah digital ditemukan informasi jika diringkas akan bermakna secara filosofi “jadikanlah tempat ini rumah kedua kita” menekankan pentingnya menciptakan hubungan yang erat, rasa kepemilikan, dan kenyamanan di tempat tersebut, entah itu di kantor, sekolah, atau komunitas lain. Beberapa poin yang terkandung dalam filosofi ini adalah:
Pertama, Kenyamanan dan Keterbukaan: Tempat tersebut diharapkan menjadi ruang di mana orang merasa aman, nyaman, dan bebas mengekspresikan diri. Seperti rumah, tempat itu menjadi lingkungan yang mendukung pertumbuhan pribadi dan profesional.
Kedua, Rasa Memiliki dan Tanggung Jawab: Menganggap tempat itu sebagai “rumah kedua” mendorong seseorang untuk lebih peduli, merasa memiliki, dan bertanggung jawab dalam menjaga serta merawat lingkungan tersebut, baik dari segi fisik maupun hubungan interpersonal.
Ketiga, Kebersamaan dan Dukungan: Filosofi ini menekankan pentingnya membangun rasa kebersamaan. Sama seperti di rumah, tempat tersebut harus menjadi ruang di mana orang dapat mendukung satu sama lain, baik secara emosional maupun profesional.
Keempat, Kehangatan dan Keterlibatan Emosional: Tempat yang dianggap sebagai “rumah kedua” mendorong rasa kebersamaan, kehangatan, dan keterlibatan emosional. Ini mengarah pada hubungan yang lebih erat dengan rekan-rekan di tempat tersebut, menciptakan iklim yang positif.
Kelima. Ruang untuk Pertumbuhan dan Kesejahteraan: Di “rumah kedua,” seseorang tidak hanya bekerja atau belajar, tetapi juga berkembang. Filosofi ini mendorong untuk menjadikan tempat itu sebagai ruang yang mendukung kesejahteraan mental, fisik, dan emosional.
Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka kita akan lebih mudah menganggap tempat kerja sebagai rumah kedua di mana kita dapat tumbuh, bekerja dengan nyaman, dan merasa dihargai. Konsep filosofi tadi akan menjadi lebih baik lagi jika semua unsur yang ada didalamnya atau yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, memahami akan visi dan misi kelembagaan. Karena jika keduanya terimplementasi secara baik sebagai pemandu berperilaku dalam organisasi, maka Insya Allah apa yang menjadi tujuan dari lembaga tadi akan tercapai.
Persoalannya adalah, seberapa paham kita akan misi dan visi yang ada pada lembaga tempat kita bekerja. Banyak penelitian menyebutkan bahwa tidak begitu banyak orang paham dengan ini semua, bahkan tingkat pendidikan tidak menjamin pemahaman kita akan hal tersebut.
Mengerikan lagi jika calon pemimpin yang diperoleh dari pemilihan langsung-pun tidak memiliki visi dan misi; yang penting menang dulu lain-lainnya urusan nanti. Jika ini yang terjadi akan lebih banyak proyek mangkrak di masa depan; tinggal rakyat yang sengsara sepanjang masa. Ruang kantornya bukan menjadi rumah keduanya akan tetapi tempat berpikir untuk mendapatkan modal pemilihan dirinya agar segera kembali.
Menyadari kondisi seperti ini, dapat dipahami jika ada pemikiran untuk jabatan Gubernur sebaiknya ditunjuk oleh Presiden, sebab Gubernur adalah perpanjangtangan dari presiden dalam rangka mewujudkan visi dan misi pemerintah pusat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah memilihnya melalui pemilihan langsung. Sementara Bupati/Walikota dapat dipilih oleh rakyat secara langsung karena langsung berhadapan dengan hajat hidup mereka.
Tentu saja pemikiran itu masih sangat prematur, perlu ada kajian mendalam dan menyeluruh oleh para ahlinya. Namun paling tidak berpikir “out of the box” seperti itu sah-sah saja dalam rangka menemukenali persoalan, terutama untuk diperdebatkan secara filosofis akademik guna menemukan kesahihan suatu konsep. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman