Kawal Terus HBM, Jangan Sampai Pak Guru Gabut Karena Warisan Cucuk Cabut

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Semula, saya membaca berita di media yang kita baca ini tentang pencabutan hibah tanah kepada satu organisasi Islam. Awalnya, biasa-biasa saja, tidak menimbulkan “greget” untuk menyimaknya.

Namun, setelah pimrednya, HBM memilih kosakata judul untuk kebijakan hibah tanah itu dengan istilah “cucuk cabut”, saya akhirnya tertarik untuk mengkajinya. Ada apa gerangan?

Kilas balik sedikit, “kelakuan” pejabat kita yang terhormat kadang membuat sakit perut. Bagaimana tidak, ketika Kota Baru digagas dan dimulai pembangunannya era kepemimpinan Sjacroedin ZP.

Begitu pergantian kepala daerah estafet dari Sjachroedin ZP ke M. Ridho Ficardo langsung mangkrak hingga masa kepemimpinannya lima tahun. Bangunan-bangunan kantor rusak dan halamannya memblukar.

Begitu Ridho lengser digantikan Arinal Djunaidi yang “dekat” dengan Sjachroedin, alih-alih dilanjutkan pembangunannya, Kota Baru kembali tidur panjang dan makin menjadi bak Kota hantu.

Bahkan, ketika Covid-19, korban awal wabah tersebut dimakamkan di kawasan Kota Baru.

Sekarang, muncul ternyata lahan kota baru yang sudah dikapling-kapling era M. Ridho Ficardo buat stakeholder, termasuk ormas Islam terbesar, yakni NU, dicabut di era Arinal Djunaidi.

Ketika viral, petinggi yang berwenang berkilah kebijakan pencabutan bertujuan “penataan ulang”. Ada yang aneh, kenapa organisasi itu saja. Yang lain, Unila yang pernah memberikan gelar doktor kepada Arinal Djunaidi lancar jaya mendapatkan hibah tanah.

Kami sebagai rakyat menjadi bingung, bagaimana negeri ini mau maju jika dikelola dengan cara “menafikan yang dahulu”, dengan kata lain yang lalu biarkan berlalu, sekarang kita buat baru.

Pertanyaannya untuk apa ada lembaga Badan Perencanaan Daerah jika setiap pergantian pejabat selalu memutar film “Biarkan Musim Berganti” karya sutradara Wim Umboh.

Sementara jargon maju berkelanjutan tinggal di lapangan saat latihan baris berbaris.

Sedangkan Samsudin, pejabat gubernur saat ini yang ditunjuk dengan tugas utamanya adalah mempersiapkan pemilihan kepala daerah dapat warisan mengurus mengurus pekerjaan yang “salah urus”.

Pj gubernur yang seorang guru mau tak mau akan memanggil semua “siswa-siswanya” untuk dimintai keterangan guna menemukenali persoalan. Tentu saja, sang guru harus tetap mengedepankan urat sabarnya.

Dengan kepemimpinan yang seumur jagung, sang guru tentu tidak dapat mengurai semua persoalan yang telah bertahun kusut masai. Namun, terlihat, walau tak lama, Samsudin paling tidak telah berusaha agar akhiri masa tugasnya kelak ada torehan sejarah yang dibuat untuk daerah yang pernah membesarkannya.

Tinggal kami rakyat apakah juga akan menonton “Drama Korea” atau “Film India” ini? Entahlah, kami tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah berakhirnya masa tugas Samsudin dan digantikan kepala daerah definitif.

Namun, sebagai rakyat, kami hanya sangat berharap siappun pemenangnya dan apapun partainya, bagi kami yang penting jangan membuat kekusutan baru di atas kekusutan yang sudah ada.

Prioritaskanlah pembangunan jalan provinsi yang menjadi penghubung antarwilayah. Kami sudah capek melalui jalan kubangan, kami sudah capek dengan janji. Kami hanya perlu bukti akankah hari esok akan lebih baik dari hari ini.

Bisa dibayangkan pemimpinnya sibuk pindah ruang dan kursi untuk rapat dari hari kehari, sementara kami harus menari-nari setiap pergi diatas jalan yang lubang dan selokan sudah tidak ada pembeda lagi.

Terkadang, kami harus menahan malu dengan daerah sebelah yang pemimpinnya menjadi “raja jalanan” untuk memuluskan jalan antardaerahnya.

Sementara kami hanya melihat sang pemimpin terlihat peduli rakyat saat kampanye saja untuk kemudian setelah terpilih tak pernah muncul lagi.

Menyedihkan lagi, turun dari kursi kekuasaannya yang bersih hanya mejanya, sementara pekerjaannya disisakan untuk pengganti.

Hubungan antara “cucuk-cabut” dan “benang kusut” dari hasil penelusuran digital ditemukan informasi, meskipun kedua istilah ini tidak secara langsung terkait, dalam beberapa konteks, gaya kerja “cucuk cabut” bisa memperburuk situasi yang “benang kusut”.

Misalnya, pekerjaan yang dilakukan secara serampangan (cucuk cabut) dapat meninggalkan masalah yang belum selesai atau kurang terselesaikan dengan baik, sehingga menciptakan kekacauan yang sulit diatasi (benang kusut).

Selanjutnya keputusan cepat tanpa perencanaan matang bisa berakibat pada masalah yang semakin rumit di masa depan, seperti kebingungan dalam koordinasi atau konflik di tim.

Sebaliknya, “benang kusut” juga bisa menyebabkan seseorang bekerja dengan pola “cucuk cabut” sebagai upaya untuk keluar dari situasi yang membingungkan.

Kedua istilah ini bisa menjadi cerminan dari tantangan dalam dunia kerja dan kehidupan sehari-hari, baik terkait gaya kerja yang kurang terstruktur maupun masalah yang kompleks dan sulit dipecahkan atau sengaja dibuat sulit untuk agar tidak mudah dipecahkan.

Semoga Pak Guru PJ Gubernur Samsudin diberi kesehatan untuk mengurai benang kusut dan kerja cucuk cabut yang diwariskan kepadanya.

Semoga dengan waktu yang tersisa paling tidak bisa memberikan solusi yang solutif; tidak menimbulkan kekusutan baru dan cucuk cabut baru adalah target minimal paling tidak yang bisa dilakukan.

Kepada HBM terus kawal Pak Guru agar beliau merasa di sekolahnya sendiri. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman