Memiliki yang Bukan Milik Kita
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menjelang dzhuhur semua aktivitas dihentikan karena akan mempersiapkan diri pergi ke Musholah. Namun siang itu ada hal yang tidak seperti biasa; suasana sepi bahkan cenderung senyap. Aktivitas perkuliahan yang biasanya ramai, hari itu tampak tidak ada kegiatan yang berarti. Namun diskusi batiniah saat itu sedang berjalan ramai, karena baru bertemu dengan penjaga kamar kecil yang berkata “hanya beda tanggal saja Prof, karena kita memiliki yang bukan milik kita”. Penggalan kalimat terakhir ini terasa ada sembilu yang ditarik dalam hati, karena itu membawa pesan langit yang hanya bisa dirasakan mereka yang memiliki dawai rasa yang sangat peka.
Sentuhan kalimat “karena kita memiliki yang bukan milik kita” jika direnungkan akan kita dapatkan bahwa: Pada dasarnya, kalimat ini mengundang kita untuk berpikir lebih dalam tentang apa arti memiliki, apa yang benar-benar kita miliki, dan bagaimana kita seharusnya hidup dalam dunia yang penuh dengan keterikatan terhadap hal-hal yang mungkin sebenarnya bukan milik kita.
Dalam filsafat, kalimat “memiliki yang bukan milik kita” dapat diinterpretasikan sebagai sebuah refleksi tentang kepemilikan, tanggung jawab, dan makna kehidupan. Beberapa makna yang bisa diambil dari perspektif ini adalah: Pertama, Keterikatan terhadap hal-hal sementara: Filsafat sering mengajarkan bahwa banyak hal yang kita anggap sebagai “milik” kita sebenarnya bersifat sementara. Misalnya, materi atau bahkan orang lain. Pada akhirnya, segala sesuatu bisa hilang, dan kita tidak benar-benar “memiliki” apapun secara abadi.
Kedua, Kehidupan sebagai pinjaman: Dari sudut pandang spiritual atau eksistensial, hidup dan segala yang ada di dalamnya mungkin dianggap sebagai sesuatu yang dipinjam atau titipan. Apa yang kita miliki, baik harta, waktu, atau kesempatan, bisa dianggap sebagai sesuatu yang harus kita kelola dengan bijak, bukan sesuatu yang benar-benar kita miliki.
Ketiga, Kepemilikan ilusi: Beberapa filsuf, seperti Jean-Paul Sartre dalam eksistensialisme, mungkin berpendapat bahwa manusia sering terjebak dalam ilusi kepemilikan—bahwa kita mencoba memproyeksikan diri kita ke dunia melalui objek-objek eksternal. Namun, hal ini justru bisa membuat kita terjebak dalam makna yang salah tentang eksistensi kita sendiri.
Keempat, Tanggung jawab moral: “Memiliki yang bukan milik kita” juga bisa merujuk pada tanggung jawab terhadap hal-hal yang berada di luar kendali kita atau tidak secara langsung “milik” kita, seperti lingkungan, komunitas, atau bahkan nilai-nilai moral. Dalam konteks ini, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hal-hal yang mungkin tidak kita miliki secara pribadi tetapi memiliki dampak besar pada kehidupan kita dan orang lain.
Memiliki yang bukan milik kita dalam pandangan tasauf adalah sisi lain dari mencintai yang tidak mencintai. Karena dalam ajaran tasawuf, cinta bukan hanya tentang perasaan manusiawi, tetapi tentang sebuah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Juga merupakan upaya melatih diri dalam kesabaran, keikhlasan, dan ketulusan yang membawa kepada kesadaran yang lebih tinggi tentang cinta yang hakiki.
Kepemilikan yang hakiki itu adalah manakala kita merasa tidak memiliki apa-apa, karena apa yang kita miliki itu sejatinya ada pemilik yang hakiki. Demikian halnya cinta yang sejati adalah cinta yang tidak memerlukan pengakuan, timbal balik, atau kepemilikan. Ini bisa menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang dalam tasawuf dipandang sebagai sumber cinta yang sesungguhnya. kedua situasi tersebut dapat dilihat sebagai ujian yang membantu kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan melepaskan keterikatan pada dunia.
Memiliki yang bukan milik kita adalah sebuah ilusi kepemilikan, karena semua yang ada di dunia ini hakikatnya adalah milik Allah. Kesadaran bahwa kita hanya pengelola sementara membawa kita pada sikap zuhud. Mencintai yang tidak mencintai mengajarkan keikhlasan dan ketulusan. Cinta dalam tasawuf diarahkan pada Allah sebagai cinta yang murni dan sejati, yang tidak tergantung pada balasan atau pengakuan dari manusia. Secara umum, kedua konsep ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu terikat pada dunia, baik dalam hal kepemilikan materi maupun cinta yang bersifat manusiawi, dan lebih fokus pada aspek spiritual yang lebih tinggi.
Sayangnya pada tataran aplikasi banyak pihak yang seharusnya menyadari akan tanggungjawabnya terhadap “kepemilikan”; ternyata mengingkari, atau paling tidak menganggap sepi akan kepemilikan itu. Bisa jadi penjaga toilet di atas merasakan kesepian akan kepemilikan itu; sehingga dia hanya bisa pasrah pada kalimat “bukan penundaan akan tetapi beda tanggal”. Semoga mereka yang berada pada posisi “beda tanggal” dalam keadaan sehat dan terus bersyukur akan karuniaNYA. Dan, bagi mereka yang berada pada posisi menunda tanggal, selalu mendapat jalan keluar dari persoalan yang mungkin sedang dihadapi. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman