Si Mata Satu
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari itu agak kesiangan menuju kampus karena ada urusan domestik yang harus diselesaikan, setelah menghadap atasan untuk lapor prihal keterlambatan, sebagai tatakrama yang harus dijunjung tinggi, baru lah masuk keruangan dan sedikit menghentakkan diri untuk duduk melepas lelah.
Sejurus kemudian kedatangan tamu salah seorang staf di lembaga ini dengan tampilan muka agak kurang ceria, bahkan lebih cenderung murung. Tampilan seperti ini tidak biasanya beliau tampilkan yang terkenal riang; apa gerangan yang terjadi pada beliau. Ternyata setelah sedikit cair suasana karena diisi guyon-guyon segar, beliau memajukan kursi seraya berkata ..”Prof..saya ingin mengutarakan sesuatu untuk minta pencerahan dan bagaimana saya harus bersikap”… Tentu saja dengan senang hati mau mendengarkan ungkapan kata dari sang tamu.
Ternyata beliau tadi pagi ada selisih pendapat dengan yang di rumah, dan saat beliau mau menuju kantor mendengar umpatan yang keluar dari mulut orang yang dicintainya itu dengan satu kata ..”dasar Dagjjal”.. Kalimat itu membuat beliau berjalan terhuyung, dan sampai di tempat ini meminta pendapat dan pencerahan. Ringkas cerita beliau mau menerima nasehat yang intinya sejauh kita masih bermata dua, maka kita masih manusia. Andai mendapat julukan si mata satu-pun tidak apa-apa kalau mata yang dimaksud adalah menuju pada satu keharibaan illahi. Kata kucinya adalah sabar, walaupun terkadang sabar dimaknai sama dan sebangun dengan takut. Dan, satu kata itu mudah dan enak mengucapkannya, tetapi sangat sulit, dan perlu upaya untuk melaksanakannya. Hanya orang-orang pilihan yang mampu melakukannya.
Selepas beliau pamit undur diri, maka terbayanglah makna hakiki dari diksi tadi; akhirnya tergerak untuk menelusurinya secara digital apa sejatinya makna itu dari sudut lain. Dajjal biasanya digambarkan dalam teks agama sebagai sosok yang membawa ujian besar bagi umat manusia, di mana ia memperdaya banyak orang dengan kekuatan dan kedigjayaannya. Dalam konteks teori sosial atau filosofis, istilah ini dapat merujuk pada entitas atau konsep yang merepresentasikan keburukan dalam bentuk yang sangat mempengaruhi masyarakat luas.
Ternyata jika kita cermati dengan jeli para dajjal itu sudah ada sekarang. Dan tidak perlu menunggu nanti, hanya saja dalam bentuk wujud yang berbeda. Bisa dibayangkan jika penimbunan BBM terbakar marak dimana-mana, tetapi tak satupun dapat diusut dari mana bahan itu, siapa penimbunnya, untuk apa dan sebagainya. Karena penyidik dan yang disidik mata-nya sama-sama satu, maka sangat sulit untuk diungkap, bahkan tidak akan mungkin terungkap. Karena satu mata yang mereka miliki mampu mengalahkan banyak mata yang melihatnya.
Contoh lain bisa dibayangkan jika ingin mencalonkan diri menjadi pemimpin nomor satu, ternyata berijazah palsu, lalu apakah negeri yang mau dipimpinnya juga palsu. Anehnya lagi jika tidak dikejar oleh netizen, peristiwa ini juga akan selesai dengan bermata satu, sebab kenapa baru pencalonan sekarang itu dipersoalkan, lalu selama ini waktu periode lalu apa pemeriksanya bermata satu.
Belum lagi sekala yang lebih luas, bagaimana calon pemimpin yang minta dipilih, tetapi saat dipanggung menggunakan satu mata, sehingga yang terjadi “Panggung Srimulat Tanpa Pelawak”. Semua pertanyaan yang diajukan dan dipertajam oleh moderator selalu dicurigai; akibatnya sifat aslinya tampak dan tentu sangat merugikan diiirinya karena yang selalu emosian jadi begitu kentara.
Nun jauh di sana beda lagi, calon tersangka keburu ditangkap; ternyata bukti belum kuat. Terpaksa menggunakan mata satu untuk membenarkan kelakuannya, sampai-sampai ada yang mempertanyakan “sekolahnya dimana”. Sementara yang ditersangka-kan senyum-senyum tipis karena dirinya memegang kartu truf jika nanti dipersidangan akan dibuka seterang-terannya. Tentu saja itu belum seru, yang hebat lagi departemen yang mengurusi informasi malah jadi sarang penjudi. Lebih gila lagi uangnya bagai Lagu Bengawan Solo…”uangnya mengalir sampai jauhhh”….
Di tengah sana beda cerita, guru honor dibidik dengan pasal penganiayaan bocah kecil anak didiknya, dan bu guru diperas sejumlah uang, jadi bulan-bulanan penegak keadilan. Anehnya semua bermata satu yaitu hanya melihat uang dan uang; begitu terbuka secara nasional, buru-buru mau cuci tangan, sayang sabunnya sabun cair sehingga keburu meleleh kemana-mana.
Lalu, apakah “si mata satu” itu mahluk atau sifat. Jika mahluk memang belum tampak batang hidungnya, tetapi ika itu ditengarai sebagai sifat, rasanya sifat-sifat itu sudah mulai muncul dimana-mana. Tinggal parameter apa yang akan kita pakai untuk mengukur dan menimbangnya, sebab bisa jadi terukur tapi tak tak berat; atau berat tapi tak terukur. Apakah negeri ini menjadi negeri para badut…semoga itu tidak terjadi, karena Tuhan pasti memiliki skenario akan semua ciptaan-Nya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman