Selamat yang Menyelamatkan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Akhir pekan lalu, ketka penulis sedang bersiap mematut diri mau menghadiri undangan shib yang menikahkan putranya, mendadak gawai berdering. Ternyata orang nomor satu di lembaga penulis berada sudah ada di seberang sana. Beliau mengatakan bahwa ada yang mencari. Ternyata sohib lama sudah ada di sana sebagai panitia resepsi pernikahan. Tentu saja membuat persiapan keberangkatan harus disegerakan, karena harus mengantar cucu terlebih dahulu pulang ke rumahnya, sebelum menghadiri acara.

Begitu tiba di tempat acara hampir semua panitia ternyata yunior-yunior dahulu yang ikut berjuang di lembaga terdahulu. Tentu sebagai lazimnya orang timur, kami bersalam-salaman dengan mengucapkan kata sapa yang tidak pernah tinggal adalah kata “Selamat”. Saya bergegas menimpali saya mencari Pak Selamat; ternyata beliau ada di kumpulan itu dengan berucap “selamat”. Benar-benar ucapan selamat yang melekat sebagai nama, membuat keberkahan tersendiri pada beliau yang sudah mencapai guru besar. Sangat berbeda di luar sana, ucapan selamat disalahgunakan untuk ucapan kesuksesan jika dapat membuat celaka atau kerugian lawan.

Bisa dibayangkan seorang membusungkan dada karena bisa menjatuhkan lawannya, yang itu adalah saudaranya sendiri, paling tidak saudara seiman, hanya karena beda keinginan. Kemudian yang bersangkutan mendapatkan ucapan selamat karena sudah menjadi “hero” bagi kelompoknya. Lebih edan lagi ucapan selamat yang hakikatnya agung untuk hal-hal yang baik, ternyata ditabalkan kepada mereka yang telah sukses melakukan politik pecah belah. Yang lebih menyedihkan yang di pecah dan di belah seolah ihklas untuk diadu domba-kan dengan teman sehabatatnya.

Ternyata ucapan selamat pada saat ini berkecenderungan menjadi tidak netral lagi, karena harus dipahami dipakai oleh siapa, untuk kepentingan apa, gunanya untuk apa. Drama kehidupan seperti ini sekarang sedang mendapatkan panggung, sehingga tidak jarang banyak diantara kita menjadi demam panggung. Sampai-sampai merudakpaksa-pun mendapatkan ucapan selamat, walaupun tidak selamanya disertai sukacita.

Demikian halnya dengan kondisi saat ini, ketika pembenaran terhadap sesuatu yang tidak benar bisa terjadi. Itu pun diberi ucapan selamat atas keberhasilan membenarkan sesuatu yang nyata-nyata tidak benar. Dalih yang paling aman adalah dengan melambungkannya ke ranah normatif, sehingga tidak dapat dijangkau dengan kebenaran teknis; sekalipun pembenaran substantif dikorbankan.

Kebutuhan akan kebenaran yang menyelamatkan adalah kebutuhan transidental; namun manakala berhadapan dengan keinginan, semua akan berubah menjadi sementara karena wilayah ini membuat kita hanyut akan rasa haus yang tidak berkesudahan akan dunia. Oleh karena itu tidaklah berlebihan manakala orang-orang bijak mengingatkan kepada kita untuk mencari keselamatan itu bukan hanya untuk hari ini, atau hanya untuk esok saja; akan tetapi harus keduanya kita raih, yaitu untuk hari ini, disini; dan untuk hari esok, di sana.

Demikian juga halnya dengan kita memilih sesuatu, apapun yang kita pilih harus dipahamkan betul apa, siapa, untuk apa sesuatu itu kita pilih. Karena bisa jadi yang kita pilih itu bukan wilayah kebutuhan, tetapi ada pada wilayah keinginan. Lebih parah lagi jika keinginan itu hanya karena membantu memuaskan keinginan pihak lain. Namun, ada juga yang kerjaannya hanya mencari selamat, dalam arti menyelamatkan diri sendiri dari persoalan apa pun, termasuk persoalan bangsanya.

Tipe seperti ini banyak sekarang ada di sekitar kita. Ciri atau karakter penyandang mencari selamat sendiri ini adalah: tidak mau mengambil risiko dan selalu mengambil posisi aman untuk dirinya. Bila perlu yang bersangkutan menampilkan muka seribu, dalam arti berhadapan dengan siapa pun dia akan menampilkan muka yang diminta. Jangan ditanya soal kepribadian, karena yang bersangkutan memang memiliki pribadi jamak. Jika berhadapan dengan pilihan, maka yang dipilih adalah yang mendapatkan keuntungan bagi dirinya saat ini. Soal nanti itu persoalan lain.

Mari kita simak labolatorium sosial sedang bekerja d isekitar kita. Terserah kita masing-masing menyikapinya. Hanya satu pesan selamatkan negeri ini dari kehancuran dengan cara apapun. Karena, itu pesan pendiri bangsa ini di kala lal yang jika diamnya kita membuat selamatnya negeri ini, maka itu juga pilihan terbaik. Jika doa adalah pilihan, maka lakukanlah dengan ikhlas.

Salam waras. (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *