Fajar Demokrasi di Perguruan Tinggi

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat ramai pemanggilan sejumlah tokoh sebelum pelantikan kabinet di kediaman Presiden terpilih, tampak sosok tinggi besar berambut putih berkemeja batik, berkelebat di layar TV. Agak sedikit terkejut dengan penampilan sosok ini yang sudah lama tenggelam dari percaturan saat beliau selesai bertugas sebagai seorang Dirjen Dikti.

Sosok ini tidak begitu dikenal oleh para awak media masa kini, oleh sebab itu tidak disodori mikrofon saat orang lain dikerubuti seperti gula dirubung semut. Tidak heran karena memang dari zaman dulu “adik kelas Pak Ansori Djausal” ini tidak suka menonjolkan diri di muka kamera. Namun beliau dikenal seorang Dirjen yang keras dan tegas pada zamannya. Kali ini beliau ditugasi presiden untuk menjadi Menteri Pendidikan Tinggi Sain dan Teknologi (Mendiktisaintek) yang memang dunianya, sehingga bagai katak kembali kekubangan.

Gebrakan pertama yang beliau lakukan sesaat setelah dilantik menjadi menteri adalah membatalkan surat rektor salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa yang membekukan Badan Eksekutif Mahasiswanya, karena memasang karangan bunga dengan kalimat menurut mereka kurang sopan. Tentu saja mereka yang seusia penulis tidak kaget karena itu memang watak demokratis asli Pak Sat (itu panggilan akrab saat beliau Dirjen), yang pernah ditampilkan pada saat menjadi Dirjen Dikti.

Gebrakkan lain, beliau diminta sesuai aturan untuk memberikan suara saat pemilihan pimpinan satu Politeknik Negeri di Wilayah Timur Indonesia, dengan ala beliau justru dijawab “Silahkan pilih, Menteri tidak menggunakan suaranya”, sekalipun itu haknya. Ini terobosan baru yang sudah seharusnya menjadikan pemikiran para petinggi di perguruan tinggi negeri untuk tidak seenaknya menggunakan hak pilih untuk memilih dekan, ketua jurusan dan seterusnya. Dengan cara menolak menggunakan haknya, maka Menteri sebenarnya telah mendorong demokrasi untuk tumbuh kembang sebagaimana yang diharapkan. Kapan hak istimewa itu digunakan, tentu tidak sembarang tempat dan waktu, karena jika dipakai selalu, maka hak itu tidak istimewa lagi. Dan, ini adalah filosofi seorang Satriyo.

Jadi ingat saat beliau menjadi Dirjen, kami para Dekan FKIP Negeri Se-Indonesia pada waktu itu, tidak puas dengan kebijakkan beliau, maka saat pertemuan Bali digagaslah satu Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Kependidikan se-Indonesia, yang kemudian di deklarasikan di Solo dengan nama Forum Komunikasi Dekan FKIP Negeri se-Indonesia. Saat dilaporkan kepada beliau tentang keberadaan organisasi ini melalui Direktur kelembagaan Prof. Dr. Sukamto, yang kami kira akan berang; ternyata dengan senyum khas yang tipis di bibirnya dengan satu kata “Silahkan, demi kemajuan pendidikan di Indonesia”.

Organisasi itu sampai hari ini masih tetap berdiri, semoga generasi penerus dapat menangkap pesan ini guna mengundang beliau bicara di tengah forum seperti tahun 2006 lalu. Begitu juga saat beliau diundang saat pertemuan puncak di FKIP Uiversitas Bengkulu, beliau mengutus khusus Direktur Kelembagaan untuk hadir dan memberikan arahan.

Ada satu hal yang menonjol pada seorang Prof. Satriyo Sumantri Brodjonegoro ialah gemar berdebat jika ada ide baru. Manakala kita mampu menyodorkan fakta dan data ilmiah yang tak terbantahkan, saat itu pula beliau akan menyetujui. Sebaliknya, jika data dan fakta serta argumentasinya lemah, selesai juga saat itu akan beliau bantai habis. Namun ternyata beliau tidak pendendam, selesai debat minum kopi bersama dan tertawa bersama adalah biasa.

Beliau juga adalah penggagas Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH), dan beliau sangat menguasai filosofi serta seluk beluknya. Oleh sebab itu beliau sangat mendorong kemandirian perguruan tinggi. Namun disisi lain beliau menentang jika ada kenaikan “pungutan” kepada mahasiswa baru. Tentu dilema seperti ini harus menjadikan pimpinan perguruan tinggi kerja keras dan keras usaha dalam memenuhi kekurangan anggaran di lembaganya. Maju tanpa harus jadi kapitalis seolah menjadi prinsip beliau.

Kedepan, beliau akan mengoreksi alur penelitian dosen yang publikasinya seolah diarahkan menjadi kacamata kuda. Beliau akan membongkar itu, dan tentu dengan konsep yang lebih kredibel. Kebermanfaatan bagi orang banyak menjadi semacam prinsip utama kerja-kerja para insan akademik. Namun, kerja penelitian akan menjadi semacam kewajiabn utama setelah pendidikan pengajaran. Oleh sebab itu bagi dosen muda yang inovatif pada masa periode ini akan mendapat angin segar. Sementara bagi dosen yang malas, dan tidak pernah menulis apalagi meneliti; maka pada era ini akan semakin tereliminasi.

Sementara publikasi akan beliau luruskan agar tidak mendewakan satu kreteria penerbitan yang membuat menjamurnya sistem kapitalis di dunia perguruan tinggi, karena semua selama ini bisa diatur dengan rupiah, dan sistem “pengupahan” karya ilmiah. Beliau menengarai untuk menjadi Guru Besar bisa menggunakan cara-cara yang tidak akademis, bahkan menyimpang dari norma-norma kepatutan. Oleh sebab itu beliau akan mengembalikan lagi maruwah Guru Besar kepada jalan yang benar dan bermartabat. Tentu untuk ini Satriyo harus siap-siap berhadapan dengan Mafioso yang menggurita dari atas sampai bawah.

Namun Satriyo tetap manusia biasa, bukan setengah dewa. Oleh sebab itu beliau juga punya kekurangan sekaligus keunggulannya yaitu memiliki kemauan yang sangat keras, dan jika memiliki kemauan akan diperjuangkannya sampai titik akhir. Tidak ada kata mundur apalagi gagal pada konsepnya sehingga berkecenderungan sedikit otoriter itu adalah cirinya. Namun mendengar kritik bukan tabu baginya, tetapi “apa kata orang” bukan tipenya langsung percaya. Karena beliau akan berargumen silahkan kata orang, tetapi saya punya hak apa kata saya.

Mengajak benar kepada orang yang benar, maka hasilnya akan menjadi benar, itu adalah pekerjaan benar; namun demikian mengajak benar kepada mereka yang tidak benar-pun ternyata itu juga perbuatan benar. Semoga angin segar yang dibawa oleh Menteri Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi akan membawa negeri ini ke alam demokrasi kampus yang lebih terang dan dinamis.

Otoritarian kekuasaan seharusnya bisa digantikan dengan otoritas akademik yang menjadi laku utama para ilmuwan dalam menapaki kebenaran. Oleh karena itu kedepan institusi Senat di Perguruan Tinggi begitu berperan dalam menentukan semua kebijakkan akademik di lembaganya.

Orang bijak pernah berpesan: Sambut yang datang, ikhlaskan yang pergi. Hargai yang berjuang lupakan yang menyakiti. Mari berdamai dengan hal-hal yang tidak bisa diubah. Mari mengikhlaskan hal-hal yang sudah terjadi, dan mari melanjutkan kehidupan dengan versi terbaik yang kita miliki. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman