Bersama Tapi Berpisah

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

MITRA Sebentar lagi Pemilu Kada akan berlangsung dan setiap calon merupakan pasangan yang terdiri dari satu figure utama dan satu sebagai wakil figure utama. Saat mereka maju bersama sangat kelihatan kompak dan serasi; sehingga tampak tanpa celah, bahkan bagai “dwuet maut” yang tak terpisahkan. Apalagi saat kampanye mereka begitu tampak saling bahumembahu guna meraih simpati masa. Namun berbeda setelah mereka menang, seperti pepatah Jawa mengatakan “nek susah guyup, nek mukti congkrah” terjemahan bebasnya kalau susah akur tetapi begitu senang mereka perang. Contoh soal sudah banyak terjadi dimana-mana, baik untuk level provinsi sampai bupati/walikota semua berpotensi ini terjadi.

Ada cerita di balik cerita saat seorang kepala daerah provinsi begitu dilantik saat menyusun kabinet para kepala dinas, nota dari wakil yang berisi untuk mempertimbangkan orang-orangnya dapat dijadikan kepala dinas atau wakil kepala dinas. Sang kepala daerah terpilih langsung menukas dengan pongah berkata “abaikan itu, saya yang kuasa”. Beliau lupa kursinya itu juga disumbang suaranya oleh simpatisan wakilnya, bahkan mungkin jumlahnya lebih besar.

Ada lagi yang miris di satu kabupaten, sebelum maju mereka membuat surat semacam perjanjian bersama jika menang untuk melakukan beberapa hal bersama, siapa mengerjakan apa. Begitu pelantikan satu minggu kemudian surat perjanjian tadi sudah dilanggar dengan alasan satu kata “sesuai perkembangan perpolitikkan”. Tentu saja sang wakil gigit jari dan menahan sakitnya hati bagai biduk hilang kemudi.

Adalagi di salah satu kota juga pernah terjadi antara orang nomor satu dan nomor duanya saling gebrak meja hanya karena memperebutkan kewenangan dan mengikuti nafsu kuasa. Atas nama ketersinggungan mereka pecah kongsi, yang akhirnya terjadi kepemimpinan “one man show”, karena sang wakil memilih mengundurkan diri. Dan, sebenarnya ini yang dicita-citakan “sang raja” agar tidak diganggu oleh wakil. Sempurnalah jadinya pimpinan tanpa wakil, apakah ini yang kemudian Tuhan tidak merestui yang bersangkutan maju kegelanggang yang yang lebih tinggi lagi dengan tidak mendapat restu dari pemilik partai, hanya Tuhan yang maha tahu.

Beda lagi di sana nun jauh diperbatasan, awalnya tampak mesra antara wakil dan komandan, mereka sebiduk bersama. Sang wakil pegang pengayuh, sang komandan pegang kemudi. Namun entah setan mana yang merasuk kedua orang itu, akhirnya sang wakil merasa lelah pingin juga rasanya pegang kemudi. Maka sang wakil menyusun kekuatan pada pemilukada berikutnya menantang sang petahana. Mereka bertarung sambil saling buka kartu untuk diumbar ditengah masa. Ternyata mereka selama ini bersama, tapi sebenarnya berpisah.

Beda lagi dinegeri sono pimpinan yang baru dilantik, orang nomor satu masih berdiskusi dengan para kabinet barunya dalam rangka menyatukan visi dan misi. Ternyata sang wakil sudah kebelet ingin popular sehingga meninggalkan pertemuan untuk sekedar pergi kepasar membeli kacang goreng dan ubi rebus, agar kelihatan merakyat seperti pendahulunya. Sikap seperti ini tentu sangat tidak patut, karena seolah dari awal sudah ingin pisah. Beliau lupa wakil itu diatur dalam perundang-undangan harus duduk manis menunggu instruksi dari yang diwakili, bukan mendahului apalagi sokpandai.

Tampaknya kejadian bersama tapi berpisah ini akan terus ada sampai kapanpun, sebab hal seperti ini adalah merupakan satu konsekwensi kebersamaan antara sesama manusia. Oleh sebab itu jika ada pasangan kepemimpinan yang mampu menjaga kekompakkan sampai akhir, dan saling menutupi kelemahan; apalagi jika mereka berlanjut pada periodesasi berikutnya. Maka hal seperti ini perlu diapresiasi, sebab memelihara kebersamaan dalam perbedaan itu diperlukan tingkat kesabaran yang berlebih. Juga diperlukan upaya dan komitmen dari setiap individu sebagai pelaku, terutama dalam rangka memfilter pembisik yang sering bersifat negatif.

Sikap saling menghargai, toleransi, komunikasi yang baik, dan kerja sama adalah kunci utama yang harus dijaga dan dikembangkan. Dengan demikian, sekalipun berbeda dapat hidup harmonis dan saling melengkapi satu sama lain. Namun sayangnya semua ini dalam tataran idealistik atau konsep; pada kenyataannya sangat sulit untuk mengaplikasikannya. Ini dapat kita lihat dan analisis; unit terkecil dari masyarakat yaitu keluarga, itupun bisa terserang kondisi ini.  Hanya karena pertimbangan keilahian, kedewasaan, bahkan kesabaran tingkat tinggilah semua dapat diatasi dan dilalui; namun betapa banyak yang gagal hanya karena terkena kerikil kecil kehidupan, sekalipun dapat menghindar gunung yang besar sebagai penghalang.

Banyak faktor yang menjadi penghalang untuk terciptanya kondisi “bersama untuk tidak berpisah”, walaupun pura-pura bahagia itu butuh drama.  Salah satu kunci diantaranya dan ini paling utama bahwa hidup itu sudah ada yang mengatur dan aturan itu adalah bernama kodrat. Pesan orang bijak bahwa Tuhan tidak akan mengubah akhir dari tujuan kita. Tuhan  hanya memberi jalan yang berliku kepada setiap kita; agar ada cerita setiap perjuangan kita. Tidak harus lima ditambah lima itu sepuluh, bisa jadi jalannya delapan dikali tiga dibagi empat ditambah tujuh di kurang lima. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman