Abu Nawas dan Ahli Falak

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menukil “dongeng” tentang Abu Nawas tidak pernah ada hentinya, karena banyak sekali cerita-cerita menarik yang ditampilkan. Salah satu daya tariknya adalah karena ada pesan moralnya. Salah satu diantaranya adalah kisah Abu Nawas berhadapan dengan orang yang mengaku sebagai ahli ilmu falak.

Suatu hari, seorang ahli ilmu falak terkenal mendatangi istana Raja Harun Al-Rasyid. Ia mengaku mampu membaca bintang dan mengetahui masa depan.
Raja yang selalu ingin mengetahui hal-hal gaib merasa tertarik. Ia berkata, “Wahai ahli falak, tunjukkan kehebatanmu! Jika benar, aku akan memberimu hadiah besar.”

Ahli falak itu berkata dengan penuh percaya diri, “Tuanku, aku mampu membaca takdir seseorang hanya dengan melihat wajahnya dan posisi bintang di langit.”

Mendengar itu, Raja memanggil Abu Nawas, yang sering menjadi penasihatnya, untuk menguji kebenaran klaim tersebut. Ketika Abu Nawas datang, Raja berkata, “Abu Nawas, orang ini mengaku bisa membaca masa depan. Aku ingin kau mengujinya.”

Abu Nawas tersenyum dan berkata kepada ahli falak, “Baiklah, jika kau benar-benar ahli dalam membaca bintang, tolong jawab pertanyaanku. Berapa banyak rambut di kepalaku?”
Ahli falak itu terkejut mendengar pertanyaan Abu Nawas yang aneh. Namun, untuk menjaga wibawanya, ia menutup mata dan berpura-pura menghitung. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Jumlah rambut di kepalamu adalah 100.023 helai.”

Abu Nawas tertawa terbahak-bahak. “Luar biasa sekali! Tetapi bagaimana kau bisa begitu yakin? Padahal aku baru saja mencukur sebagian rambutku kemarin!”. Ahli falak tidak memahami jika kepala Abu Nawas yang dibalut oleh surban itu ternyata sudah dicukur gundul sebelum menghadap raja saat itu.

Raja Harun Al-Rasyid pun tertawa mendengar kecerdikan Abu Nawas. Ia segera menyadari bahwa ahli falak itu hanyalah seorang pembual. Raja berkata, “Jika menghitung rambut saja kau salah, bagaimana aku bisa mempercayaimu untuk membaca masa depan?”. Ahli falak itu tidak bisa berkata apa-apa dan pergi dengan wajah malu.

Apa hikmah yang dapat kita ambil dari cerita di atas. Yaitu cerita ini mengajarkan kita untuk tidak mudah percaya pada orang yang mengaku mengetahui hal-hal gaib atau masa depan tanpa bukti yang jelas. Abu Nawas, dengan kecerdasannya, menunjukkan bahwa pengetahuan sejati haruslah berdasarkan fakta, bukan sekadar klaim kosong.

Dari kisah Abu Nawas dengan ahli ilmu falak, ada beberapa filosofi dan hikmah lain yang bisa kita ambil: Pertama, berpikir kritis terhadap klaim besar. Kisah ini mengajarkan pentingnya berpikir kritis terhadap klaim yang tampaknya tidak masuk akal. Abu Nawas menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh langsung percaya pada sesuatu tanpa bukti atau logika yang jelas. Hal ini relevan dalam kehidupan modern, di mana banyak informasi palsu atau klaim berlebihan beredar.

Kedua, pengetahuan sejati lebih berharga daripada kepura-puraan. Ahli ilmu falak dalam cerita ini menjadi simbol kepura-puraan atau “keahlian” yang tidak berdasar. Filosofinya adalah bahwa pengetahuan sejati, meskipun sederhana, jauh lebih berharga daripada mengaku tahu segala hal hanya demi pujian atau keuntungan pribadi.

Ketiga, kebijaksanaan mengalahkan kesombongan. Ahli falak terlalu percaya diri dengan “kemampuannya” dan merasa tidak akan ditantang. Namun, kebijaksanaan dan kecerdikan Abu Nawas membuktikan bahwa kesombongan sering kali menjadi kelemahan. Bersikap rendah hati dan terbuka terhadap kritik jauh lebih bijaksana.

Keempat, kebenaran tidak bisa dimanipulasi. Dalam upayanya menjawab pertanyaan Abu Nawas, ahli falak mencoba memanipulasi dengan jawaban yang dibuat-buat. Namun, kebenaran tidak bisa disembunyikan, dan akhirnya kebohongannya terungkap. Filosofi ini mengingatkan kita bahwa kejujuran dan transparansi akan selalu lebih unggul daripada kebohongan.

Kelima, kecerdasan dan humor sebagai alat edukasi. Abu Nawas menggunakan kecerdasannya dengan cara yang lucu dan menghibur, tetapi tetap mendidik. Filosofinya adalah bahwa cara menyampaikan kebenaran tidak harus keras atau penuh konfrontasi; dengan humor dan kelembutan, pelajaran bisa lebih diterima dan mudah diingat.

Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah kisah ini menjadi pengingat bahwa akal sehat, kejujuran, dan kecerdikan adalah senjata terbaik untuk menghadapi tantangan hidup, termasuk menghadapi orang yang terlalu percaya diri atau manipulatif. Jangan sampai “kail hanya sejengkal, dalam laut hendak diduga”.
Kemudahan media sosial saat ini ternyata memunculkan “ahli falak dadakan” di semua lini. Menganalisis semua persoalan dengan satu senjata “pandai bicara”; walhasil sekelas menteri-pun bisa menjadi ahli falak, dan begitu tidak terbukti apa yang “di-falak-kan”, dengan ringan menjawab “itu kecelakaan saja”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman