Para Pemimpin Tak Boleh Banyak Meriang Ketimbang Sehatnya

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Tubuh senja seperti saya ini ternyata sudah susah dikondisikan, pagi segar bugar siang jelang sore meriang, mriang dalam Bahasa Jawa, bidapan dalam Bahasa Sumatera Selatan; maring dalam Bahasa Lampung.

Ternyata, usia di atas kepala tujuh, masalah kesehatan sama dengan cuaca, tidak bisa diprediksi alias tidak menentu.

Akan tetapi semua itu alami, usia biologis beriring dengan turunnya daya tahan tubuh. Jadi wajar, jika lamon maring ne jak sihat ne (banyak sakitnya ketimbang sehatnya).

Berbeda dengan pemimpin, harus dibalik: lamon sihat ne jak maring ne. Jika tidak demikian, maka akan terjadi seperti saat ini, antarpimpinan jawabannya berbeda bahkan bertolak belakang.

Seorang pemimpin mengatakan ada pelanggaran, satunya menjawab belum ada laporan, lainnya mengatakan sudah ada ijin. Lebih parah lagi, pemimpin menjawab: saya tidak tahu, kok tanya saya.

Kita menjadi bingung, mereka dalam satu garis komando yang sama tetapi memiliki jawaban yang berbeda. Sebagai contoh kasus pagar laut, antarpejabat saling lempar bola panas seolah melempar tanggung jawab.

Kebiasaan seperti ini menjadi lebih parah lagi jika berlindung pada alasan “saya baru diangkat, jadi belum paham persoalan, nanti akan saya tanyakan pada staf”. Tampak sekali “kemaringan” pejabat model begini, karena menunjukkan tingkat adaptasinya rendah, kemampuan menemukenali persoalan juga parah.

Seolah pejabat seperti ini hanya mau menikmati fasilitas jabatannya, tetapi enggan akan beban kerja, dan tanggung jawab bidangnya.

Bentuk kemaringan yang lain dipertontonkan sebagai contoh adalah sangat terlambatnya informasi yang menjadi tugas dari pejabat berkaitan dengan bencana.

Kota yang kita tinggali ini baru saja ditimpa musibah dengan adanya banjir di hampir semua wilayah. Namun sampai tulisan ini dibuat, siaran resmi dari pemerintah wilayah mana saja yang terkena langsung, terdampak, dan apa yang akan mereka lakukan untuk rakyat dalam jangka panjang semua mak jelas. 

Langkah konferhensif dan koordinatif yang ditunggu tidak pernah terwujud sehingga masing-masing jalan sendiri-sendiri. Akibatnya, tak satu langkah dengan program diperorah programnya sendiri tidak jelas.

Belum lagi masalah penguasaan lahan sampai laut oleh pemilik modal yang sempat bermain mata dengan pejabat. Jika tidak dimuat di media masa secara berseri. Bahkan cenderung jika tidak dimuat berseri semua seolah aman terkendali.

Padahal pagar laut sudah dibentang, pagar tinggi sudah dipasang. Begitu diinvestigasi jurnalis dan dimuat, semua meriang; mulai jurus “saling tunjuk” dilakukan demi penyelamatan.

Tampaknya musibah selalu membawa hikmah itu benar adanya; dengan cara-Nya Tuhan menunjukkan sesuatu kepada mahluk-Nya di dunia ini. Keteledoran yang ditutup-tutupi selama ini akhirnya terkuak bahkan seolah “ditelanjangi” oleh waktu.

Hanya saja, apakah semua pemangku kepentingan mau menyadari, atau tetap asyik berlindung pada “lebih baik maring dari pada sihat”.

Sepertinya harus ada evaluasi menyeluruh kepada sistem pemerintahan yang terbangun sepuluh tahun terakhir, sebab indikasi “pembusukan” dari dalam tampaknya terus terjadi.

Apakah ini penanda bahwa kekuasaan yang diperoleh dengan cara yang tidak patut, akan berakibat hanyut; hanya Tuhan Yang Maha Mengetahui.

Mari dengan waktu yang ada ini, kita dang lamon ga cawa tapi lamon kerja se helau ini. Namun bukan berarti kita tidak boleh cawa sebab lamun mak cawa tian seago-ago.

Killu maaf lamun wat salah-salah, sebab salah sina pakaian manusia”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman