Hikayat Romo Tambak versus Tambak Laut
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Satu episode cerita Ramayana versi pedalangan Jawa berjudul “Romo Tambak” bisa diaktualkan secara kontradiktif saat ini. Kisah ini sesungguhnya bersumbu kepada kekuatan cinta Rama kepada Sinta. Terkesan sepele, tetapi dalam perjalanan dan perjuangannya begitu sarat makna.
Judul pada tulisan ini sengaja dibuat konfrontatif karena ada peristiwa aktual yang mungkin saja terinspirasi dari dongeng Ramayana ini. Judulnya Pagar Laut. Saya yakin, awal kisah ini juga bersumbu dari cinta, lebih tepatnya cinta kepada dunia.
Romo Tambak mengangkat perjuangan Prabu Ramawijaya (Rama) bersama para sekutunya dari bangsa Wanara (kera), dalam membangun jalur menuju Alengka untuk menyelamatkan Dewi Sinta. Di tangan para pujangga Jawa, cerita ini diperkaya dengan narasi dan tambahan tokoh dan nuansa kearifan lokal.
Alur kisah diawali dengan kabar baik yang datang dari Anoman kepada Rama. Kethek (kera) putih ini membawa berita bahwa Dewi Sinta, kekasih Rama berada di Taman Argasoka di Kerajaan Alengka. Kabar ini A-1, kata Anoman. Mendengar itu, rasa rindu Rama yang amat dalam kepada kekasih hatinya tak terbendung. Rama memutuskan untuk menjemput Dewi Sinta yang saat itu dalam penguasaan Rahwana. Ia mengatur siasat, menggalang dukungan, dan mempersiapkan penyerangan.
Pasukan sudah siap, perjalanan dimulai, dan satu dua rintangan diatasi. Namun, pada suatu titik, mereka dihadapkan pada kendala besar, yakni lautan luas yang memisahkan wilayah tempat Rama berada (biasanya digambarkan di kawasan India Selatan) dengan Pulau Alengka.
Rama bersemedi di tepi laut, memohon restu kepada Bethara Baruna (dewa penguasa lautan) agar memberikan jalan bagi pasukannya untuk menyeberang. Pada awalnya, Samodra Raja tidak memberikan tanggapan. Rama, dalam kemarahannya, berniat menembakkan panah pusaka untuk mengeringkan lautan. Ketegangan ini membuat Bethara Baruna akhirnya muncul dan memberikan saran kepada Rama agar membangun tambak (bendungan) dengan bantuan para monyet.
Dengan perintah Rama, para wanara mulai membangun tambak menggunakan batu-batu besar yang diambil dari gunung dan hutan. Dalam versi Jawa, proses ini dipenuhi dengan adegan heroik dan humor, karena para kera sering digambarkan memiliki karakter unik. Mereka dibagi tugas spesifik. Anoman menjadi pemimpin utama, ia mengatur pembagian tugas dengan sigap. Sugriwa dan Subali diberi mandat memimpin pasukan dengan kekuatan besar untuk membawa batu. Anggada, Jembawan, dan para wanara lainnya memiliki peran mempercepat pembangunan tambak.
Dalam beberapa versi pedalangan, Rahwana mencoba menggagalkan pembangunan tambak dengan mengirimkan pasukan raksasa atau menciptakan badai. Namun, para munyuk berhasil menghalau gangguan tersebut dengan bantuan Hanoman dan Rama yang melindungi pekerjaan mereka.
Setelah usaha keras, tambak akhirnya selesai dan jalur menuju Alengka terbuka.
Tambak ini sering disebut sebagai Romo Tambak. Romo bermakna ayah atau pemimpin, merujuk pada Rama sebagai pelindung dan pembimbing dalam perjuangan ini. Untuk kata “Romo” sampai hari ini melekat pada keluarga Jawa panggilan kepada ayah atau orang yang dituakan dan sangat dihormati.
Seperti potongan video, cerita Romo Tambak ini dipotong sampai di sini dulu. Sebab, pesan yang ingin disampaikan dalam konteks ini adalah makna moral tentang bagaimana sesuatu yang semula dianggap mustahil bisa terwujud dengan kerja keras dan kebersamaan. Dan nilai-nilai itu sangat melekat dalam budaya Jawa.
Nilai-nilai itu adalah, pertama, semangat gotong royong. Kesuksesan pembangunan tanggul tambak yang membelah laut menuju Alengka adalah simbol kerja sama yang sangat kuat. Para wanara yang bekerja tanpa pamrih mencerminkan nilai gotong royong yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Jawa.
Kedua, keimanan pada kekuatan Ilahi. Keajaiban batu yang mengapung karena nama Rama menggambarkan kekuatan doa dan keimanan. Nama Rama sebagai lambang kebaikan dan keadilan menjadi kekuatan spiritual yang mengatasi batas-batas fisik.
Ketiga, keseimbangan alam dan manusia. Hubungan antara manusia, alam, dan dewa (Samodra Raja) mencerminkan pandangan kosmologis Jawa yang menekankan harmoni.
Kita tinggalkan dulu cerita Romo Tambak yang memang berbasis dongeng. Namun, tampaknya ada yang mengadopsi dongeng ini ke dalam realita kita berbangsa. Bukan Romo Tambak, tetapi Tambak Laut atau lebih dikenal dengan sebutan pagar laut. Celakanya, kisah nyata ini memiliki makna yang kontradiksi dengan nilai yang disampaikan melalui kisah Ramayana.
Bisa dibayangkan ternyata “menambak Laut” yang semula ditafsir sebagai tindakan kepahlawanan, ternyata di alam nyata justru sebaliknya. Bahkan menjadi perusak ekosistem yang ada, dengan berkedok untuk kepentingan yang lebih besar.
Selama sepuluh tahun kita ternina bobok dengan tampilan yang sederhana seolah tanpa dosa, ternyata lautpun bisa dipagar sampai tiga puluh kilometer; bahkan itu tidak hanya di satu tempat. Di beberapa tempat di negeri ini laut sudah berpagar, dan tanpa ada protes dari manapun.
Lembaga Swadaya Masyarakat yang selama ini dikenal garang, ternyata bisa abai dengan pagar laut yang terus bertambah dan merebak di mana-mana.
Atas nama reklamasi, pengamanan wilayah, dan entah apalagi; semua bisa dilakukan; bahkan surat resmi dari negarapun ada. Setelah terbuka dan diambil tindakan; tidak satupun pejabat yang mau bertanggungjawab. Padahal mereka sudah terima “cuan” saat itu entah dengan atas nama “uang apa”. Dan, anehnya ada pejabat tinggi saat menjabat mengeluarkan surat izin resmi, begitu di tanya, jawabannya ringan bagai kapas “saya tidak tahu”. Seolah berlaku hukum sosial kalau tanggung jawab sifatnya ke bawah, kalau uang sifat ke atas.
Kita tinggal tunggu apakah “langit” di negeri ini sudah juga disertifikatkan, karena bisa jadi nantinya orang memiliki lahan tidak berikut langitnya. Atau menjual langitnya saja, tidak berikut lahan atau bangunan dibawahnya; karena negeri ini sudah mendekati menjadi “negeri dongeng”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman